Trio Legenda |
Musim ini boleh jadi musim
yang kurang ideal buat AC Milan, dilihat dari hasil maupun bakal hengkangnya
para pemain senior yang selama ini menjadi tulang punggung tim.
Milan Lab seolah menjadi
lelucon karena pemain-pemain Milan seperti berduyun-duyun masuk kesana tanpa
henti. Apresiasi tetap patut dialamatkan kepada Max Allegri dan para pemainnya
yang bermain nyaris 3 hari sekali sepanjang musim. Dengan pemain yang itu-itu
saja tersebut, Milan mampu meraih posisi runner-up
seri a, menembus perempat final Liga Champions dan semi final Coppa Italia.
Musim belum berakhir, Milan
sudah dihantui kepergian para pemain senior mereka, sebagian diantaranya
berstatus legenda. Alessandro Nesta, Claerence Seedorf, Gianluca Zambrotta,
Mark Van Bommel dan Filippo Inzaghi sudah menyatakan pasti meninggalkan
Milanello musim depan. Ditambah lagi, Massimo Ambrosini, Massimo Oddo dan
Gennaro Gattuso yang nampaknya segera menyusul.
Milan adalah tim yang identik
dengan pemain-pemain senior, sebagian menyebutnya pemain-pemain tua. Orang
boleh mencibir, tapi pemain-pemain tua ini mampu mempertahankan konsistensi permainan
mereka di level tertinggi untuk waktu yang relatif lama. Bukan hanya menyangkut
kuantitas penampilan, namun kualitas senantiasa mereka pertontonkan di
lapangan, dan bukti sahih dari kualitas tersebut mereka torehkan abadi dalam
bentuk berbagai gelar juara yang Milan raih.
“We
hoped, suffered, celebrated and rejoiced. We lifted cups and won titles
together in our hearts. We have always been on the same wavelength. And no one
can ever take that away from us.” Demikian kata-kata pembuka
yang sangat menyentuh dari surat terbuka Pippo Inzaghi kepada Milan dalam
perpisahannya.
Ingatan saya beranjak kepada
momen saat Milan menggaet Alessandro Nesta sepuluh tahun lalu dari Lazio. Itu
adalah berita paling menggembirakan buat saya sebagai tifosi Milan karena Nesta
saat itu adalah bek terbaik dunia dengan usia yang masih sangat produktif, 26
tahun. Duetnya bersama Paolo Maldini di jantung pertahanan Milan membentuk
tembok yang sangat sulit ditembus, sehingga mereka sangat sulit digeser bahkan
oleh bek-bek potensial saat itu yang menjadi pelapis mereka, Fabricio
Coloccini, Roque Junior, Kakha Kaladze, Martin Laursen, Daniele Bonera hingga
Ogichi Onyewu.
Coloccini cs bukanlah pemain
jelek, namun mereka tidak memenuhi standar Milan yaitu: class. Seperti sudah tertulis dalam tinta emas klub, Milan adalah
tempatnya pemain-pemain berkelas. Mereka bukan hanya bertehnik tinggi, namun
mereka mampu menjaga konsistensi permainan dalam waktu yang lama. Perbincangan saya
dengan seorang penggila sepakbola di twitter
menyimpulkan bahwa konsistensi permainan adalah makna tersirat dari frase “form is temporary, class is permanent.”
Kehilangan para senior
adalah kehilangan kelas dan pengalaman dalam permainan. Tidak ada lagi sosok
tenang dan kalem yang mampu mengatrol mental tim saat terdesak dan berada dibawah
tekanan. Tidak akan ada lagi yang meneriaki mereka untuk bangkit saat gempuran
lawan membuat mereka grogi.
Anda boleh mencibir
Claerence Seedorf yang pada hari terburuknya sering seperti “anak hilang”
di lapangan. Tapi tidak ada yang membantah kontribusi gelarnya di ranah Eropa
dimana dia mampu memenangi empat gelar Liga Champions dengan tiga klub berbeda.
Anda juga tidak dapat
mengabaikan Pippo Inzaghi. Striker ceking ini sering mendapat cibiran akan
permainannya. Johan Cruyff secara sinis pernah berkomentar “Dia bukan pemain
bola, lihat saja cara dia menggiring bola.” Tapi bagaimanapun statistik tidak
mampu berbohong bahwa Pippo adalah salah satu striker dengan rekor gol terbaik
di Eropa. Dua golnya ke gawang Liverpool pada final Liga Champions 2006/2007 memberikan
Milan gelar ketujuh kejuaraan terbesar antar klub Eropa tersebut.
Saya telah menyaksikan klub
favorit saya ini kehilangan pemain-pemain terbaiknya baik karena pensiun,
habis kontrak maupun dijual demi keselamatan keuangan klub. Kepergian Paolo
Maldini, Alessandro Costacurta, Andriy Shevchenko, Ricardo Kaka dan Andrea Pirlo adalah momen-momen
emosional yang menyedihkan. Dan kini, Milan bukan hanya kehilangan satu atau
dua pemain juara, tapi delapan pemain.
Dalam pendapat pribadi saya,
Milan kini hanya memiliki Thiago Silva, Zlatan Ibrahimovic dan Antonio Cassano
sebagai pemain yang memiliki kelas setara dengan para legenda itu. Jika ingin
berprestasi musim depan, Adriano Galliani dan Ariedo Braida punya tugas maha
berat. Mereka perlu menggiring pemain kelas dunia ke Milanello, bukan sekadar
menjadikannya saga transfer yang berlarut-larut.
Terima kasih Nesta, Seedorf,
Zambrotta, Van Bommel, Inzaghi. Terima kasih juga kepada Ambrosini, Gattuso,
dan Oddo. Kalian boleh saja tidak berada disini lagi, namun apa yang kalian
berikan tidak akan terlupakan begitu saja.
“Thank
you Milan, thank you football. Allow me to call you my own, the people of Via
Turati, from Milanello to the offices to the phone operators to the warehouse
workers, the physiotherapists, the doctors, the cooks, from the stadium to the
changing room. Ciao to my wonderful fans who followed me the world over with
affection and passion. Ciao to my team mates from today and yesterday.”
Demikianlah kutipan
kata-kata penutup dari surat terbuka Filippo Inzaghi kepada Milan dan fansnya di
seluruh dunia. Kata-kata dari seorang pemain yang selalu memberikan segalanya
di lapangan, dengan segala kejeliannya memanfaatkan peluang di mulut gawang dan
selebrasinya yang liar. Pippo dan kawan-kawan tentunya berharap kepergian mereka bukanlah
untuk ditangisi namun menjadi pelecut lahirnya siklus baru di Milanello.
Sebuah era boleh saja
berakhir, namun seperti layaknya sebuah pohon, jatuhnya sehelai daun ke tanah
akan memberi kesempatan kepada daun baru untuk tumbuh, dan pohon itu akan tetap
berdiri. Kehidupan akan terus berjalan, gelar demi gelar akan siap direbut. Karena gelar juara adalah nafas kami di setiap musimnya.
FORZA MILAN!!
No comments:
Post a Comment