Melihat sepak terjang FC Barcelona saat ini, semua orang sependapat bahwa mereka adalah tim yang memainkan sepakbola terbaik. Permainan cantik, kerjasama tim, dan kolektivitas tinggi dipadukan dengan gelimang gelar bagi klub, pemain dan pelatihnya. Dan dominasi Los Cules ini sudah berlangsung sejak Pep Guardiola menukangi The Catalan sejak tahun 2008. Berbagai pujian sebagai tim terbaik, tim impian dan tim dari planet lain sudah banyak digenggam tim rival abadi Real Madrid ini. Pelatih legendaris Cesar Luiz Menotti bahkan merasa beruntung dia masih hidup saat menyaksikan permainan FC Barcelona.
Tapi mungkin gak banyak yg sadar kalo sepakbola tiki-taka yang dikembangkan Barca adalah manifesto dari gerakan anti-Madrid mereka. Sadar tidak memiliki kemampuan finansial sebaik sang rival, Petinggi Barca sepakat untuk mengembangkan akademi sendiri dengan pembentukan sistem sedemikian rupa sehingga membentuk pola permainan tim, formasi dasar 4-3-3, gaya bermain tiki-taka dan juga mencakup mentalitas. Semua itu terdapat dalam satu paket bernama La Masia de Can Planes, atau lebih dikenal dengan La Masia. Berlokasi di sebuah residen yang berdiri sejak 1702 -sekarang sudah diperbaharui- siapa yang menyangka dari akademi ini terbentuk seorang Lionel Messi, Cesc Fabregas, Xavi Hernandez, Andres Iniesta sampai Pedro Rodriguez, Thiago Alcantara dan Isaac Cuenca. Mereka terbentuk tidaklah asal jadi, melainkan melalui program coaching dan tempaan yang sistematis.
La Masia awalnya adalah proyek yang diusulkan oleh legenda mereka yang juga legenda sepakbola Belanda, Johan Cruyff pada tahun 1979. Cruyff saat itu ingin membuat akademi "Ajax model" dengan mengacu pada sisem pembinaan pemain muda Ajax yang memang terkenal itu. Proposal Cruyff di-approve oleh Presiden klub saat itu, Josep Luis Nunez. Akademi La Masia mengadopsi permainan Total Voetball Belanda. Kolektivitas yang dipadu tehnik tinggi menjadi tiki-taka ini sudah didoktrin staf pelatih Barca di La Masia sejak pemain berusia 7 tahun. La Masia memiliki program pembinaan yang mungkin sudah lazim dijalankan klub-klub Eropa, yaitu dimulai dari usia 7 tahun. Kelas Prebenjami usia 7-8 tahun, lalu naik ke 11 kelas lagi menjadi Barcelona B yang berkompetisi di Segunda Division sampai ke Barcelona senior. Tidak heran kalau filosofi tiki-taka sudah mendarah daging dalam permainan Barcelona. Bahkan tiki-taka Barca mampu diadopsi timnas Spanyol. La Furia Roja dengan 7 personel inti Barca di Starting eleven-nya mampu merebut gelar Piala Dunia 2010 setelah sebelumnya merebut Piala Eropa 2008.
La Masia bukan melulu soal sepakbola. Para calon penghuni skuad Blaugrana itu setiap pagi diharuskan bersekolah di pendidikan formal layaknya anak-anak pada umumnya, lalu selepas sekolah mereka diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah, barulah latihan. "Disini tidak hanya soal sepakbola. Kecuali saat ada turnamen, mereka hanya berlatih 1,5 jam setiap harinya. Kami sangat concern dengan pendidikan, karena bisa membentuk intelegensia dan kepribadian pemain. Dengan cara itu pula, mereka yang gagal masuk ke dunia sepak bola profesional bisa memilih masuk universitas atau mencari pekerjaan lain” jelas Albert Capellas, salah satu staf pelatih La Masia.
Sudah kita sama-sama saksikan bagaimana Barcelona membentuk sebuah model yang awalnya bisa jadi adalah project anti-Madrid. Rival abadi mereka itu adalah tim raksasa dunia dengan kekayaan seolah tidak ada batas. "Madrid adalah rumah bagi pesepakbola-pesepakbola terbaik dunia" begitulah ungkapan Presiden Florentino Perez yang terkenal itu. La Masia adalah sebuah ide untuk menandingi kekayaan Real Madrid sekaligus menyingkirkan El Real dari singgasana La Liga. Disaat Madrid menjual kompleks latihannya senilai 250 juta euro demi mendatangkan Luis Figo, Zinedine Zidane, Ronaldo dan David Beckham dalam Project Los Galacticos, Barca tetap konsisten dengan La Masia.
La Masia sudah menghasilkan 3 nominator Ballon D'or dalam diri Lionel Messi, Andres Iniesta dan Xavi Hernandez. Serta sextuple winner pada tahun 2009 yang belum mampu disamai klub manapun di dunia. Sementara Madrid kini seolah kehilangan seluruh slogannya karena dirampas dengan kuat oleh tentara-tentara dari Catalonia. Kini Madrid yang mengalami situasi sebaliknya. Mereka terang-terangan mengusung strategi anti-Barca. Strategi transfer pemain yang masih sama, mendatangkan pelatih bereputasi super dalam diri Jose Mourinho, memainkan permainan keras dan pressing ketat sudah dijalankan, tapi Los Merengues masih belum berhasil hingga saat ini. Madrid memang masih memimpin klasemen La Liga, tapi dengan keunggulan hanya 3 angka yang bisa digeser El Barca. Mou juga kembali dibuat gigit jari di El Classico edisi terakhir di Santiago Bernabeu yang berkesudahan 3-1 untuk skuad Pep Guardiola. Kesimpulan yang terlalu prematur jika menganggap Madrid sudah gagal musim ini, tapi kekalahan itu jelas menggambarkan peta kekuatan diantara mereka. Konstelasi klasemen La Liga yang semula memisahkan Madrid dan Barca dengan 6 poin, kini hanya berjumlah 3 saja.
Madrid membutuhkan lebih dari sekedar uang untuk menghentikan Barca. The table has turned. Keadaan dimana semula Barca yang memainkan strategi anti-Madrid kini berubah menjadi Madrid yang kini mencoba cara dan formula paten anti-Barca. Jika dulu Jose bersama Inter tanpa malu hati memainkan pola "memarkir Airbus" didepan gawang, kini di Madrid situasinya berbeda. Madrid terlalu gengsi memainkan strategi demikian. Hal ini akan dimurkai Presiden Perez dan suporter Madrid, yang juga menginginkan kemenangan dengan permainan memikat. Sangat disayangkan juga talenta seperti Cristiano Ronaldo, Mesut Ozil, Ricardo Kaka dan Gonzalo Higuain dipaksakan menu bertahan. Mou masih punya banyak PR.
No comments:
Post a Comment