Pages

Sunday, May 29, 2016

Juraj Kucka, Menjadi Sosok Sentral Setelah Sempat Diragukan



Juraj Kucka. Photo: Gazzettaworld


September 2015, seorang jurnalis bernama Michael Yokhin menulis tentang Juraj Kucka. Ia menuturkan bahwa Kucka yang baru didatangkan Milan dari Genoa berpotensi menjadi pemain kejutan musim 2015-16 ini, tentunya dalam artian positif. Saat itu, mungkin saja tidak banyak pihak yang menganggap serius tulisan Yokhin. Saya termasuk di dalamnya. Pasalnya, gelandang asal Slowakia ini didatangkan sebagai kompensasi kegagalan Milan mendapatkan tandatangan Geoffrey Kondogbia, gelandang potensial yang ironisnya mendarat ke FC Internazionale dengan banderol 35 juta euro. 

Di benak Milanisti, timbul tanda tanya besar mengapa manajemen tidak mengusahakan kedatangan gelandang lain yang lebih 'punya nama', nilai jual dan kapabilitas, misalnya saja Axel Witsel, Gianelli Imbula atau Joao Moutinho yang kala itu ramai dibincangkan sebagai target alternatif Kondogbia. Datangnya seorang Juraj Kucka seperti menunjukkan niat yang setengah-setengah untuk memperbaiki kualitas lini tengah. Memangnya siapa sih Juraj Kucka?

Yokhin, yang juga seorang kolomnis di ESPN FC menggarisbawahi bahwa pemain kelahiran kota Bojnice yang dibeli dengan harga hanya 3 juta euro ini memiliki karakter permainan yang dibutuhkan lini tengah Milan, yaitu kerja keras, kengototan dan determinasi yang tinggi. Penilaian senada juga pernah dikatakan jurnalis televisi olahraga Republik Ceska, Michal Petrak. Petrak pernah mengatakan bahwa Kucka adalah gelandang dinamis yang mampu mengontrol lini tengah namun memiliki tempramen tinggi hingga mengingatkannya pada sosok Roy Keane di Manchester United. Bagi Milanisti, karakter ini juga melekat pada diri Gennaro Gattuso.

Setelah melihat performa Kucka selama semusim penuh, barulah kita menyadari ketepatan analisa dari Yokhin maupun Petrak. Tidaklah berlebihan jika Kucka dipandang sebagai pembelian terbaik Milan musim ini, jika membandingkan harga yang harus dibayar dengan kontribusi sang pemain. Sementara di lain pihak, Kondogbia yang semula menjadi target utama ternyata tampil kurang impresif di musim perdananya bersama Nerazzuri. Memang tidak adil membandingkan keduanya. Kondogbia baru datang ke Italia, sementara Kucka sudah berada di negeri Peninsula sejak 2011 bersama Genoa. Selain itu, gaya bermain kedua pemain juga berbeda, pun jika membicarakan usia, Kondogbia terpaut enam tahun lebih muda ketimbang Kucka.

Sesuai dengan julukannya, yaitu The Tank, Kucka memang begitu tangguh 'menggilas' lawan-lawannya. Situs Whoscored mencatat bahwa penyuka sup jamur ini memiliki rataan jumlah tekel dan pelanggaran terbanyak di antara seluruh gelandang Milan. Sementara untuk rataan jumlah intersep, hanya Riccardo Montolivo yang mengunggulinya. Statistik ini jelas menunjukkan betapa besarnya kontribusi defensif dari sang gelandang.

Tidak hanya berperan dalam cara bertahan Milan, kontribusi penggemar serial Heroes ini juga terlihat dalam menyerang. Ia mampu membuat tiga assist, 29 kali menciptakan peluang gol dan 46 kali melepas tendangan ke gawang lawan. Hanya Giacomo Bonaventura yang lebih unggul darinya atas tiga aspek ofensif ini.

Performa paling gemilang Kucka jelas diperlihatkan ketika partai derby melawan Internazionale yang dimenangi Milan dengan skor 3-0. Kala itu Kucka tidak hanya memutus aliran bola dari Marcelo Brozovic dan menang duel melawan Gary Medel di lini tengah lawan, tetapi ia juga kerap berlari menusuk pertahanan Inter hingga terpaksa dilanggar yang menghasilkan keuntungan bagi Milan. Pada laga final Coppa Italia melawan Juventus, Kucka yang beroperasi di sebelah kanan lini tengah juga tidak gentar menghadapi nama besar Paul Pogba dan Patrice Evra di sisi sebaliknya.

Namun harus diakui, pemain bertinggi 186 cm ini memiliki kekurangan mendasar dalam hal akurasi. Dari 46 tembakan yang dilakukan, hanya 10 yang tepat sasaran, dan itu pun tidak ada yang menghasilkan gol. Satu-satunya gol yang dibuat pemain yang mengidolakan Paul Scholes ini dibuat melalui sundulan saat menghadapi AS Roma, Januari lalu. Akurasi umpannya juga kurang menonjol, yaitu hanya 76%. Akibatnya, ia kerap menggagalkan peluang timnya sendiri meski memiliki ruang untuk memberi umpan terakhir kepada penyerang.

Andai saja ia memiliki akurasi tembakan dan umpan yang lebih baik, rasanya ia akan menjadi gelandang berkelas dunia. Level permainannya akan mendekati Scholes mengingat pemain yang menggemari minuman ringan Coca Cola ini juga memiliki determinasi, kesederhanaan dan kerja keras seperti sang mantan gelandang Inggris. Ini sedikit menjelaskan mengapa Kucka hanya mencetak sebuah gol musim ini bagi Milan.  

Ya, pemain yang biasa dipanggil Kuco ini mungkin belum apa-apa dibanding Scholes, Keane, atau Gattuso, tiga gelandang legendaris Manchester United dan Milan. Namun setidaknya kini ia telah menunjukkan bahwa di "Milan yang sekarang", ia menjadi sosok kunci di lini tengah, dan telah membuktikan bahwa keraguan yang dialamatkan kepadanya tidaklah beralasan. Tanpa Kucka, lini tengah Milan akan lesu dan kurang bertenaga.

Terlepas dari performa gemilangnya, masa depan pemain yang tubuhnya dirajah penuh tato ini belum pasti di klub yang bermarksa di San Siro. Di samping pencapaian Milan yang kembali buruk musim ini, yang membuat Milan bisa saja menjual para pemain termasuk dirinya, tenaga Kucka juga diinginkan oleh Sinisa Mihajlovic, mantan pelatih Milan yang kini menukangi Torino. "Kucka bagaikan tank. Ia sulit dihentikan dan selalu melancarkan tekel," ujar Mihajlovic.

Performa Milan boleh hancur-hancuran, tapi tidak dengan Kucka. Wajar saja jika kemudian muncul berita keberminatan kesebelasan lain kepada mantan penggawa Sparta Praha ini. Ia mungkin tidak lagi diminati oleh Liverpool seperti tiga tahun lalu, terlebih oleh klub idola masa kecilnya, Manchester United. Namun setidaknya jika ia masih bertahan di “Milan yang sekarang”, masih akan ada tempat untuknya.

Sunday, May 8, 2016

Debat Kusir Sepak Bola Menyerang Dan Sepak Bola Ultra Defensif



Segera setelah keberhasilan Atletico Madrid menyingkirkan Bayern Muenchen dalam semifinal Liga Champions musim 2015-16, terjadi perdebatan yang memang tak pernah usai menyoal sepak bola negatif. Oleh sebagian pengagum sepak bola menyerang, kemenangan Los Rojiblancos dipandang tidak layak. Kesebelasan asal kota Madrid ini disebut hanya menunggu lawan berbuat kesalahan, lalu melancarkan serangan balik mematikan, bagaikan kucing garong yang menunggu ibu-ibu lengah dalam mengawasi ikan asin yang akan digorengnya. Licik dan kurang bermartabat.

Ribut-ribut soal ini rasanya hampir setiap tahun terjadi, dan bukan hal yang sama sekali baru. Tidak sedikit yang mengutuk kesebelasan yang memainkan sepak bola negatif walaupun tidak sedikit pula yang membelanya.

Kalau bicara selera, saya jelas lebih menyukai sepak bola menyerang. Johan Cruyff, Gustavz Sebes, Rinus Michels, Tele Santana dan Pep Guardiola adalah sedikit tokoh pelatih atau pelaku sepak bola yang saya kagumi. Saya juga menyukai skill tinggi yang dimiliki pemain seperti Roberto Baggio, visi luar biasa dari Juan Roman Riquelme, juga kepemimpinan Socrates dan kisah Laszlo Kubala. Karena itulah blog ini bernama Classic Number 10, bukannya Center Half, Stopper atau Bek Sayap.

Sepak bola jelas tidak dapat disamakan dengan olahraga-olahraga beregu lain. Dalam olahraga bola voli misalnya, terjadi banyak angka yang tercipta dalam satu pertandingan. Begitu pula bola basket, atau bahkan futsal sekalipun yang mirip dengan sepak bola. Dalam olahraga yang perpindahan skornya terjadi begitu cepat, memang wajar saja jika upaya menggagalkan peluang mencetak angka akan diberi penghargaan lebih. Sepak bola? Dalam 90 menit pertandingan, malah begitu banyak yang berakhir tanpa satu gol pun.

Padahal, gol adalah tujuan utama sebuah kesebelasan bermain. Sebanyak apapun umpan pendek yang dilakukan, dan seberapa besar penguasaan bola yang dimiliki, tidak akan ada gunanya jika sebuah kesebelasan tidak mampu mencetak gol. Mencetak gol sebanyak mungkin semestinya menjadi tujuan utama mengapa sebuah kesebelasan bertanding sepak bola. Maka karena itulah, kesebelasan yang bermain hanya untuk melimitasi peluang lawan mencetak gol akan lebih tidak disukai.

Kembali ke kemenangan Atletico, akan sangat wajar jika banyak yang mencaci ketimbang memuji. Kisah sukses Atleti melaju ke babak final mengulangi cerita yang mereka jalani dua tahun silam menurut pendapat saya tidak bisa disamakan dengan kisah kemenangan tim underdog. Kesebelasasn Atletico Madrid sekarang berbeda dengan FC Porto tahun 2004 misalnya, apalagi Leicester City yang memenangi Liga Primer Inggris musim 2015-16.

Sejak ditangani Diego Pablo Simeone, Atleti telah bertransformasi dari kesebelasan yang semula hanya menjadi bayang-bayang duopoli Real Madrid-Barcelona, menjadi kesebelasan dengan kekuatan yang kini nyaris setara. Kekuatan finansial mereka pun, meski masih berada jauh di bawah Madrid-Barca, namun telah berada jauh di atas level Valencia, Sevilla atau Villareal misalnya. Pendek kata, Atleti kini bukanlah kesebelasan medioker yang miskin dan teraniaya, tetapi kini mereka telah merangkak naik menjadi bagian dari golongan elit.

Sekadar menafsirkan kegusaran banyak orang, para penggemar sepak bola menyerang menyayangkan pilihan taktik Atleti yang memilih untuk bermain dengan mentalitas kucing garong dan kesebelasan gurem. Hanya menunggu lawan berbuat kesalahan, lalu melancarkan serangan balik yang efektif dan mematikan. Dengan barisan pemain-pemain ciamik seperti Koke, Saul Niguez, Antoine Griezman, hingga Fernando Torres yang tengah bangkit, para penggemar sepak bola jelas berharap Simeone menginstruksikan kesebelasannya untuk meladeni armada Pep Guardiola dengan berani dan terbuka.

Jika memang demikian, mereka mungkin lupa bahwa timnas Brasil tahun 1994 adalah timnas Brasil yang berciri defensif. Pada saat berlaga di babak final melawan Italia, mereka lebih banyak bermain aman, dan tidak lupa menjaga Roberto Baggio, pemain berbahaya Italia dengan ketat. Kesebelasan asuhan Carlos Alberto Pareira ini pada akhirnya memaksakan laga diakhiri dengan adu tendangan penalti yang akhirnya mereka menangi. 

Pareira menggelar taktik ini atas dasar kewaspadaannya pada kehebatan Italia. Namun pendekatan Pareira jelas berbeda ketika lawan yang dihadapi adalah Rusia atau Kamerun, yang kemampuannya berada di bawah mereka. Hal yang sama dapat kita lihat dari Atleti. Mereka akan mendominasi permainan saat menghadapi Rayo Vallecano atau Granada, tetapi jelas keadaannya berbeda ketika menghadapi Barcelona. Pendek kata, mau kesebelasan kita bermain seperti apa adalah pilihan mutlak yang tidak bisa dihakimi. Ini hanyalah pilihan taktik, sesederhana itu.

Kemenangan yang didapat dengan mendominasi penguasaan bola dan menghibur dengan pertunjukan skill tentu saja merupakan kemenangan yang paripurna. Tapi percayalah, kemenangan yang didapat dari kecerdikan dan kesabaran pun akan terasa tidak kalah sempurnanya. Saya pernah merasakannya saat mengalahkan tim yang di atas kertas lebih kuat dalam turnamen classmeeting SMA dulu. Ini menjadi salah satu kekayaan dari olahraga sepak bola yang tidak dimiliki olahraga lain. Dalam balapan Formula 1 misalnya, sangat jarang kita melihat pebalap tim gurem berbagi podium dengan pebalap Ferrari, Red Bull atau McLaren.

Pada akhirnya, mengatur seperti apa sepak bola harus dinikmati adalah sebuah kesia-siaan. Ini hanyalah soal selera, dan kita tidak dapat menyalahkan selera pribadi yang tentunya subjektif. Seperti halnya kita tidak bisa mencibir orang yang lebih doyan makan dada ayam penyet daripada paha ayam penyet, makan bubur ayam diaduk atau tidak diaduk, atau makan soto ayam dengan kuah dicampur atau dipisah. Mendebatkan siapa yang benar antara Guardiola dan Simeone, sepak bola menyerang melawan sepak bola ultra defensif hanyalah membuang-buang waktu. Suka atau tidak, kemenangan akan bergilir antara kesebelasan dengan gaya berbeda tersebut, namun sayangnya perdebatan mengenai siapa yang pantas menang, sepertinya tidak akan berakhir karena memang mungkin sudah sifat dasar manusia untuk merasa bahwa pilihan dan seleranya adalah yang paling benar.