Djohar Arifin dan Luis Manuel Blanco. Photo by vivanews |
Tidak ada ekspektasi tinggi saat saya menunggu pertandingan
pertama tim nasional Indonesia di babak kualifikasi Piala Asia 2015 menghadapi
Irak pekan lalu. Irak adalah juara Piala Asia 2007, dan seperti tim dari region
Asia Barat pada umumnya, mereka memiliki keunggulan dalam segala hal atas
Indonesia. Ya, tim Asia Timur juga selalu superior atas timnas Indonesia sih.
Anyway, pertandingan memang tidak berlangsung di kandang
Irak karena alasan keamanan. Venue digeser sedikit ke tenggara tepatnya ke kota
Dubai. Hal menarik dari pertandingan kemarin adalah banyaknya penonton wanita
pendukung kesebelasan Irak yang justru terlihat modis dan gaya, jauh dari kesan
tertutup yang sebelumnya terpapar. Meski stadionnya relatif kecil, hanya
berkapasitas 18 ribu penonton, dan membuat syahdunya suara adzan maghrib
menjadi terdengar membahana di tengah-tengah pertandingan.
Meski stadion Maktoum Bin Rashid Al Maktoum yang mungil itu tidak dipenuhi penonton, namun kenikmatan tersendiri tetap tersaji, baik yang menonton dari layar kaca, apalagi yang menonton langsung. Di samping “kualitas” penonton yang hadir, kualitas lapangan pertandingan juga sangat bagus. Tidak seperti saat menjalani laga uji coba lawan Yordania beberapa hari sebelumnya yang dilangsungkan di lapangan yang buruk, kualitas rumput lapangan di Stadion Maktoum Al Rashid kemarin sangat baik.
Lalu kita ke suporter. Meski berjumlah lebih sedikit, namun
suporter Indonesia tetap mampu membuat orkestrasi khas suporter “Ayo Indonesia,
kuingin kita harus menang” di beberapa momen. Menggambarkan betapa luar
biasanya suporter dari negeri kita ini, tidak peduli carut marut yang melanda
federasi.
Namun tidak ada yang lebih menarik ketimbang apa yang
diperagakan pasukan merah putih di lapangan. Ketika traumatik masih melanda
negeri ini pada pertandingan lawan tim-tim dari Timur Tengah –terlebih baru
dibantai Yordania 0-5 beberapa hari sebelumnya- laga lawan Irak ini tidak lebih
adalah laga di mana publik hanya berharap agar Indonesia tidak dibantai.
Ternyata, Indonesia memang tidak membiarkan diri
dicabik-cabik oleh Irak. Dengan segala keunggulan dari banyak sektor –tidak
hanya postur- para pemain Irak mencoba terus melambungkan bola ke kotak penalti
Indonesia. Hingga satu jam pertandingan, pertahanan Indonesia nyatanya tampil
disiplin dan sigap menghalau serangan-serangan Irak. Younis Mahmoud, striker
andalan Irak itu bahkan beberapa kali terlihat frustasi.
Jika bukan karena passing ceroboh Handi Ramdan dan Wahyu
Wijiastanto yang memang hanya segitu kecepatan larinya, Younis Mahmoud mungkin
tidak akan membawa kemenangan bagi Irak, dan Indonesia dapat membawa pulang
satu poin berharga.
Strategi bertahan yang dipilih Nil Maizar jelas pilihan
bijak. Sangat tidak rasional meladeni permainan Irak dengan permainan terbuka
padahal tim kita yang memang (lagi-lagi) bukan tim terbaik ini memang kalah
kualitas dari Singa Mesopotamia. Indonesia kalah terhormat, meski kekalahan
tetaplah kekalahan.
Sehari selepas pertandingan itu, tidak disangka-sangka
Djohar Arifin mendatangkan Luis Manuel Blanco, pelatih asal Argentina. Tidak
jelas kehadiran Blanco untuk menduduki posisi apa, yang jelas Blanco
didatangkan tanpa mekanisme rapat Exco, sebuah mekanisme prosedural yang wajib
dijalani jika ingin menunjuk pelatih tim nasional. Kedatangan Blanco banyak
diprakarsai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bulan lalu bertemu
Presiden Argentina Christina Fernandez de Kirchner. Hasil pertemuan mereka
ternyata tidak hanya membahas hubungan bilateral kedua negara, tetapi juga
membahas sepak bola.
Track record Luis Manuel Blanco tidaklah gemerlap untuk
menjadi pelatih timnasi Indonesia sekalipun. Rekan saya di Football Fandom,
Sirajudin Hasbi telah memaparkan profil Blanco di kolom olahraga Yahoo!
Indonesia dan bagaimana hal ini menunjukkan ketidakjelasan program kerja
PSSI untuk kesekian kalinya.
Belakangan, PSSI mengatakan bahwa mereka tidak serta merta
memecat Nil Maizar, pelatih timnas sekarang. Entah nantinya sebagai apa Blanco
bertugas, yang jelas penunjukan pelatih asing semacam ini seperti dijadikan
pencitraan bagi PSSI bahwa mereka memang bekerja.
Kenyataan yang terlihat ternyata tidak seperti itu. Disaat
jargon profesional mereka terus kumandangkan, pertunjukan manajemen amatiran
justru yang terbongkar. Dari blog
seorang eks Corporate Secretary PSSI, amatlah jelas bahwa orang-orang yang
sebenarnya diharapkan untuk memperbaiki sepak bola nasional bukan hanya sibuk
berpolitik dan memperebutkan kekuasaan, tapi juga bekerja seperti memanajeri
sebuah tim kampung.
Dan yang menjadi perhatian saya adalah bagaimana nasib
Blanco kemudian harinya. Meski gajinya dikabarkan akan dibayar pihak ketiga,
tidak menjamin bahwa Blanco akan dapat bekerja dengan tenang menjalankan
program-programnya jika manajemen internal PSSI tidak diurusi dengan benar
karena para pengurus sibuk dengan pencitraan dan perebutan kekuasaan.
Sudah banyak korban dari ketidakjelasan program PSSI ini
juga dari rangkaian konflik norak ini, dan mereka itu umumnya orang-orang
terbaik dan mencintai Indonesia lebih dari mereka. Timo Scheunemann, Alfred
Riedl, dan kini mungkin Nil Maizar. Belum lagi jika kita mengingat Diego
Mendieta dan Bruno Zandonadi.
Jika keadaan tetap seperti ini, Blanco mungkin akan memikul
beban entah seberat apa untuk menjuarai SEA Games 2013, Piala AFF 2014 dan yang
terdekat Kualifikasi Piala Asia 2015. Seperti yang pernah teman saya Saleh Assegaf bilang ketika ditanya
mengenai apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki sepak bola Indonesia,
marilah kita banyak berdoa saja.
No comments:
Post a Comment