De Rossi, melebihi ekspektasi |
Saya beruntung menyaksikan salah satu pertandingan
sepakbola paling seru sepanjang 20 tahun lebih saya menyaksikan pertandingan
olahraga si kulit bundar ini. Pertandingan tersebut berlangsung tadi malam
tanggal 10 Juni 2012 bertempat di Arena Gdansk, Polandia antara Spanyol melawan Italia.
Pertandingan ini mempertemukan dua tim yang
memiliki tradisi juara. Spanyol adalah pemenang dua major tournament terakhir,
sementara Italia adalah salah satu negara tersukses di dunia sepakbola dengan empat
gelar Piala Dunia dan satu kali Piala Eropa. Namun begitu, publik banyak
menjagokan tim la furia roja yang juga diwakili oleh sebagian besar pemain dari
the mighty club Barcelona.
Tidak banyak yang menempatkan keyakinannya
untuk menjagokan Italia. Italia yang penuh masalah menjelang turnamen dianggap
akan rontok dengan gampang oleh supremasi tiki-taka yang dianggap sebagai lambang
tertinggi level permainan sepakbola. Siapapun yang mencoba melawan tiki-taka
akan dianggap sebagai pihak antagonis perusak sepakbola.
Cesare Prandelli awalnya memilih caranya sendiri
menghadapi sepakbola sempurna tiki-taka yang diusung Spanyol. Semula Prandelli
menyiapkan formasi klasik 4-3-1-2 untuk meredam pola 4-3-3 atau 4-2-3-1 arahan
Vicente Del Bosque. Namun cederanya bek sentral tangguh Andrea Barzagli dan
kekalahan 0-3 dari Rusia pada uji coba terakhir sebelum berangkat ke Polandia
memaksa Prandelli menggunakan cara darurat, yaitu cara Juventus.
Juventus ditangan Antonio Conte mengikuti arus sepertiga dari tim seri
a yang menggunakan skema tiga bek. Memang tidak salah juga karena dia memiliki
tiga center-back tangguh dalam diri Leonardo Bonucci, Giorgio Chiellini dan
Barzagli. Mencadangkan salah satu dari mereka atau menggeser Chiellini ke
posisi bek kiri adalah sebuah kemubaziran. Dasar inilah yang dibawa Prandelli
untuk La Nazionale, walaupun sepanjang babak kualifikasi Italia selalu
menggunakan skema empat pemain belakang.
Cederanya Barzagli diselesaikan dengan
menempatkan seorang Daniele De Rossi, yang telah beberapa kali menempati posisi
itu di AS Roma. Keraguan dijawab De Rossi dengan elegan. Pangeran baru AS Roma
itu tidak disangka mampu mengobati kerinduan penggemar sepakbola akan kehadiran
seorang libero handal, walaupun dia tidak secara murni memerankan peran libero
karena peran membangun serangan telah dipegang oleh Andrea Pirlo. Tapi
setidaknya intercept, visi permainan dan komando De Rossi menjadikan Italia
memiliki alasan untuk bersikap optimistis di sisa turnamen.
Tiga bek lawan tiga gelandang serang. Itulah
pemandangan yang sering terjadi di sepanjang babak pertama hingga ditariknya
David Silva dan Francesc Fabregas. Tiga bek Italia dihadapi Del Bosque dengan
tidak menempatkan seorang striker-pun dalam starting lineup-nya. Fabregas
sebagai false nine ditopang oleh dynamic duo Andres Iniesta dan David Silva
yang selalu membentuk kombinasi segitiga yang rapat.
Kombinasi segitiga rapat tersebut diladeni
Italia dengan tiga bek yang juga bermain rapat. Disiplinnya tiga penjagal itu
sangat menyulitkan Spanyol dalam melepas tendangan ke gawang Gigi Buffon maupun
mengirimkan final ball yang
mematikan. Kedisiplinan De Rossi dan kawan-kawan terlihat dari jumlah intersep,
blok maupun tekel yang mereka lakukan, sehingga hanya dua saja tembakan yang akhirnya
mengarah ke gawang Buffon di babak pertama.
Italia meladeni dengan pertahanan kuat, bukan
dengan bertahan. Pertahanan kokoh tersebut dibarengi dengan kejeniusan Andrea
Pirlo yang kerap membagi bola diagonal dengan eksepsional kepada Cristian
Maggio maupun Emanuele Giaccherini di kedua wing back. Kadang Pirlo juga
mengombinasikannya dengan simple passing kepada Motta dan Marchisio, dua
gelandang box to box yang dipasang Prandelli. Dinamisnya Motta dan Marchisio
sering melahirkan mara bahaya bagi Iker Casillas, yang membuat timeline twitter
mendadak diramaikan oleh kaum wanita. Dua percobaan Marchisio dan Motta membuat
kiper tangguh ini kelabakan.
Lini depan Italia yang dihuni oleh duet mavericks beda generasi Antonio Cassano
dan Mario Balotelli tampil kurang impresif, meskipun Cassano beberapa kali
mengancam Casillas dengan tembakan-tembakannya. Balotelli yang sebenarnya lebih
diharapkan daripada Cassano yang baru sembuh dari penyakit jantung, sayangnya
bermain below par seperti anak muda yang grogi karena baru bermain dengan tim senior. Momen dimana
Balotelli terlalu lama menembak bola setelah merebut bola dari Sergio Ramos adalah
wujud nyata kelabilan striker bengal ini dalam pengambilan keputusan.
Prandelli melakukan pergantian emosional
beberapa saat setelah momen itu. Striker kenyang pengalaman Antonio Di Natale
dimasukkan untuk mengubah dinamika pertandingan. Terbukti kekhawatiran saya
salah. Di Natale, pemain tajam di kompetisi lokal bersama tim medioker Udinese
yang di dua turnamen terakhir Italia gagal bersinar, ternyata malah membuat gol
yang sangat klinis hanya 3 menit setelah memasuki lapangan. Umpan cerdas Pirlo
setelah menggiring bola melewati garis tengah lapangan diselesaikan Toto dengan
finishing yang amat berkelas.
Kekokohan pertahanan yang digalang De Rossi
bagaimanapun akhirnya jebol juga oleh umpan terobosan tipikal David Silva, yang
sudah sering dia peragakan di Manchester City. Fabregas lalu dengan cerdik menaklukkan Buffon. Skor satu sama menjadikan pertandingan
semakin menegangkan, apalagi setelah Fernando Torres dan Jesus Navas
dimainkan. Torres dan Navas yang lebih sering mendribel bola hingga ke sayap
membuat pertahanan Italia menjadi lebih renggang. Pergantian yang mengubah
total jalannya pertandingan menjadi lebih terbuka ini menghasilkan serangkaian
peluang dari kedua kubu yang membuat jantung berdebar. Hanya karena kurang jitunya penyelesaian
akhirlah yang membuat skor tidak beranjak dari satu sama.
Spanyol boleh saja menguasai ball possession dengan keunggulan 60-40,
ditambah jumlah tendangan ke gawang dan tendangan sudut yang lebih banyak. Tapi
soal ancaman nyata ke gawang lawan, Italia jelas lebih unggul. Spanyol
benar-benar kehilangan sosok David Villa. Hasil imbang dari pertandingan yang
benar-benar berimbang ini menunjukkan kepada dunia akan kehebatan mental
Italia. Jika banyak yang beranggapan masalah yang dihadapi gli azzuri melemahkan mereka, justru hal tersebut salah besar.
Italia bermain semalam tidak seperti sebuah tim yang sedang didera masalah.
Saya pribadi berharap kedua tim ini bertemu lagi di
babak final.
harapan yang tak akan terwujud karena salah satu dari 2 tim ini akan tersingkir di babak grup...entah yg mana :D
ReplyDeletesemoga dua2nya bisa ngalahin kroasia :D
Deletenice artikel mas adit, beberapa waktu lalu sempat ngobrol di bbm sm pange soal libero dan sweeper, masih ingat betul pange "udah mulai ditinggalkan dg perkembangan taktik modern" dan tadi malam sebuah posisi yang lama tak terlihat (jarang nonton liga italia hehe) muncul dan menyita perhatian hehehe
ReplyDeletehasbisy
klub-klub macam Napoli, Udinese, Genoa, Lecce udah biasa main pake tiga bek. Nah hal ini menjadi besar karena Juventus juga belakangan memakainya dan bisa scudetto tanpa terkalahkan. Emang masih agak jauh dari libero yang bagus, lebih tepat menyebut De Rossi sebagai defensive leader atau sweeper tapi De Rossi perlu pertimbangkan potensinya untuk ganti posisi.
DeletePrandelli menunjukkan bahwa posession football bisa diredam dengan menumpuk pemain pekerja keras. :)
ReplyDeletefeeling saya italia akan sukses di euro kali ini
ReplyDelete