Pages

Wednesday, October 28, 2015

Zaur Sadayev, Bangkitnya Sang Penyerang Nomaden

Zaur Sadayev, ketika bermain di Lech Poznan (Photo from psnfutbol,com)

Tidak ada yang terlalu istimewa dari kemampuan Zaur Sadayev sebagai pesepak bola. Sebagai penyerang, ia tidak segarang Diego Costa di kotak penalti lawan, tidak pula setajam Robert Lewandowski. Tehniknya tidak sebaik Zlatan Ibrahimovic, dribelnya juga tidak secanggih Luis Suarez, dan pergerakannya tidak seeksplosif Carlos Tevez. Namun berbeda dengan nama-nama besar tadi, Sadayev pernah menjalani salah satu karir sepak bola yang mungkin saja paling berani, unik sekaligus absurd di dunia sepak bola.

Tahun 2013 silam, Zaur Sadayev bersama rekannya, Dzhabrail Kadiev pernah bermain di klub Beitar Jerusalem, klub yang didukung oleh para peganut ekstrem kanan negara Israel. Mereka datang sebagai pemain pinjaman dari klub Rusia, Terek Grozny. Jika Sadayev dan Kadiev seorang non-Muslim, mungkin hal ini biasa saja, namun kenyataannya mereka adalah seorang Muslim tulen dari etnis Chechnya.

Perpindahan ini bukanlah keputusan mereka. Adalah kesepakatan antara Ramzan Kadyrov, sosok kontroversial pemimpin etnis Chechnya yang juga pemilik Terek, dan juga Arcadi Gaydamak di kubu Beitar yang memungkinkan hal ini terjadi. Dalam menjalankan Terek, Kadyrov berpartner dengan seorang oligarki Rusia-Azerbaijan keturunan Yahudi, Telman Ismailov. Ismailov disebut ingin membeli Beitar, dan untuk itu ia melakukan pendekatan dengan cara mengundang Beitar ke Grozny untuk memainkan laga persahabatan.

Suksesnya laga tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran Kadyrov, yang juga seorang tentara berpangkat Mayor Jenderal. Dengan kekuatannya pula, Kadyrov pernah berhasil mengundang anggota timnas Brasil yang memenangi Piala Dunia 2002 untuk memainkan laga eksebisi ke stadion Akhmat Kadyrov. Pengiriman dua pemain Terek dengan skema pinjaman kemudian ditujukan untuk semakin melicinkan kerjasama antara dua kubu yang memang sejak lama sulit bersatu ini.

“Etnis Chechen, seperti halnya Yahudi, telah menjalani masa-masa sulit dalam sejarahnya, dan telah melewati tragedi demi tragedi. Kami memiliki banyak kesamaan,” demikian rilis dari kantor Kadyrov sewaktu proyek ini berlangsung.

Sudah bisa ditebak, Sadayev dan Kadiev menjalani masa-masa yang tidak menyenangkan di Jerusalem. Bukan hanya cacian, hinaan dan teror, tapi juga kejadian yang amat absurd dan menggelikan. Pada tanggal 3 Maret 2013 dalam sebuah laga kompetisi liga domestik, Sadayev berhasil mencetak gol untuk Beitar ke gawang Maccabi Netanya. Lumrahnya, supporter merayakan gol yang dicetak pemainnya, namun justru saat Sadayev mencetak gol, ratusan suporter Beitar malah kompak meninggalkan stadion sebagai wujud ketidaksukaan mereka akan kehadiran pemain Muslim di skuat ini.

Teror demi teror pun merebak hingga ke luar lapangan, terutama dari kelompok militan La Familia. “Reaksi kami terhadap pemain Muslim bukanlah rasis,” ujar salah seorang suporter Beitar, seperti dikutip dari Independent. “Tapi eksistensi klub berada di bawah ancaman. Beitar adalah simbol bagi negara,” lanjutnya. Tidak ada yang tahan dengan ancaman seperti ini. Khawatir akan keselamatan diri, mereka memutuskan untuk kembali ke tanah air setelah bertahan hanya enam bulan di kota suci bagi agama Samawi itu.

Kadiev memutuskan untuk kembali bermain di Terek, sementara Sadayev kembali berkelana. Kali ini ia dipinjamkan ke klub Polandia, Lechia Gdansk. Di klub ini, Sadayev membukukan tiga gol dalam 12 penampilan. Musim 2014-15, Sadayev masih belum pulang kampung. Ia kemudian bergabung dengan Lech Poznan, juga sebagai pinjaman. Di klub ini, Sadayev yang mulai matang turut berandil memberi gelar juara liga. Ia tampil sebanyak 25 kali dan mencetak lima gol.

Catatan ini tidaklah buruk untuk ukuran pemain yang lebih banyak tampil dari bangku cadangan. Poznan bahkan sempat berpikir untuk membelinya secara permanen, namun sayangnya banderol 500 ribu euro yang diminta Terek tidak disanggupi Poznan. Mulai musim 2015-16 ini, Sadayev akhirnya mudik ke Terek.

Dengan pengalaman yang lebih banyak dan kemampuan yang lebih terasah, Sadayev kini meramaikan Liga Primer Rusia. Kepercayaan tampil reguler akhirnya mulai didapat sang penyerang bertinggi 182 cm, di mana pelatih Rashid Rakhimov sering menduetkannya dengan Igor Lebedenko di lini depan klub berwarna dominan hijau ini. 

Perlahan tapi pasti, Sadayev mulai membuktikan bahwa ia memang memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi penyarang handal. Dari 12 laga yang sejauh ini telah dijalani, sang penyerang nomaden berhasil menyarangkan lima gol. Dua gol di antaranya ia bukukan ke gawang Rubin Kazan, yang mengangkat namanya sebagai pencetak gol terbanyak Terek hingga kini.

Di kancah Liga Primer Rusia, kekuatan Terek Grozny memang belum mampu menyamai CSKA Moskow, Zenit St. Petersburg ataupun Spartak Moskow. Prestasi terbaik mereka pun hanya peringkat ke-8, yang didapat pada musim 2012-13. Mereka memang sempat membuat sensasi dengan mendatangkan sosok berprofil tinggi seperti pelatih Ruud Gullit, namun seiring aturan Financial Fair Play, mereka kini menjalankan klub dengan lebih hati-hati secara finansial, dengan cara mengandalkan pelatih lokal seperti Rakhimov dan juga talenta lokal seperti Sadayev.

Dilihat dari gaya permainan, Sadayev memang terbilang lamban. Ia juga tidak memiliki kemampuan duel udara yang menonjol dan tidak memiliki dribel istimewa. Namun situs Whoscored mencatat bahwa pemain ini adalah sosok pekerja keras yang memiliki tendensi untuk membantu pertahanan. Catatan intersepnya pun cukup lumayan, yaitu 0,5 kali per laga. Ia juga kerap membuat pelanggaran yang berguna untuk menghambat serangan balik lawan.

Momentum positif ini mungkin saja mengetuk pintu timnas Rusia, di mana Sadayev terakhir kali memperkuat timnas Rusia B tahun 2011 lalu. Leonid Slutsky, pelatih Rusia kini, dikenal gemar memainkan ujung tombak tunggal. Di posisi ini, ia memang sudah memiliki andalan yaitu Alexander Kokorin dan Artem Dzyuba. Level permainan Sadayev mungkin masih berada di bawah dua pemain tadi, namun jika Slutsky menginginkan sosok pemain berkarakter kuat, nampaknya ia perlu mempertimbangkan Sadayev.

Tuesday, October 27, 2015

Jon Dahl Tomasson, Sang Profesional Sejati yang Sering Dilupakan

Jon Dahl Tomasson (photo from tv3sport.dk)

"Etos kerja pemain Denmark mengejutkan saya. Mereka memberikan segalanya saat latihan. Pada umumnya, mereka juga sangat profesional dan memiliki skill tinggi. Yang selalu menampilkan yang terbaik dan berkelanjutan adalah Jon Dahl Tomasson. Ia berada pada masa sulit karena harus bersaing dengan penyerang-penyerang berkelas dunia. Situasi yang tidak mudah, tapi ia tidak pernah menyerah dan selalu memanfaatkan kesempatan yang didapat."

Begitulah komentar dari pelatih sukses Milan, Carlo Ancelotti tentang Jon Dahl Tomasson, penyerang asal Denmark yang memperkuat Milan pada tahun 2002 hingga 2005. Komentar tersebut memang menyimpulkan perjalanan karir Tomasson selama bermain di Milan, di mana ia lebih banyak bermain sebagai pemain pengganti karena harus bersaing dengan nama-nama besar macam Andriy Shevchenko dan Filippo Inzaghi.

Nama Tomasson mungkin akan dengan mudah dilupakan oleh penggemar Milan. Larinya tidak secepat Sheva, gocekannya juga tidak semenawan Rui Costa. Namun jangan lupakan fakta bahwa selain harus bersaing dengan Sheva dan Pippo, ia juga tidak bermain di posisi idealnya semasa bermain di Rossoneri. Sebelumnya, Tomasson lebih banyak bermain sebagai gelandang serang atau penyerang kedua.

Sedikit flashback, The Next Michael Laudrup adalah julukannya ketika ia masih bermain di Belanda bersama Heerenveen. Julukan yang membandingkannya dengan gelandang serang legendaris Denmark ini merujuk pada kemampuan istimewanya dalam mengolah bola, visi bermain, dan keahliannya dalam mencetak gol-gol indah.

Dalam sebuah pertandingan saat masih bermain di Heerenveen, Tomasson pernah mencetak gol seperti yang biasa dilakukan Lionel Messi pada masa sekarang. Saat timnya melakukan serangan balik, Tomasson yang mendapat bola dari garis tengah lapangan langsung menggiringnya dengan cepat ke arah gawang lawan. Melihat kiper yang menghadang, Tomasson mencungkil bola dengan kaki kirinya melewati kepala sang kiper.

Kecemerlangan di Belanda membawanya sejajar dengan Patrick Kluivert, Gerald Sibon dan Roy Makaay dalam persaingan memperebutkan pencetak gol terbanyak. Hal ini menjadikannya diincar banyak klub, dan pada usianya yang belum genap 21 tahun, sang pemain menjatuhkan pilihan pada Newcastle United, klub yang kala itu cukup berkibar di Inggris di bawah asuhan Kenny Dalglish.

Newcastle mendatangkannya dengan mahar 3,9 juta euro. Di Toon Army, ia diproyeksikan untuk bermain sedikit di belakang bomber andalan, Alan Shearer. Segalanya berjalan begitu baik ketika dalam laga pramusim, keduanya tampak serasi. Namun kemudian Shearer mengalami cedera yang cukup parah sehingga harus lama beristirahat. Untuk menggantikan peran Shearer, Dalglish memasang Faustino Asprilla, penyerang eksentrik asal Kolombia.

Malang tidak dapat ditolak karena Asprilla kemudian menyusul Shearer ke meja perawatan. Stok penyerang Newcastle tinggal menyisakan Ian Rush, sang veteran yang telah melewati permainan terbaik. Dalglish pada akhirnya meminta Tomasson untuk bermain sebagai ujung tombak, hal yang malah menurunkan standar permainannya karena ia tidak ditunjang fisik yang mumpuni untuk menjadi penyerang tengah di Liga Inggris.

“Saat dua penyerang utama cedera, seseorang harus maju menggantikannya, dan saya adalah orang tersebut. Ini bukanlah posisi natural saya, dan hasilnya sangat terlihat jelas. Ketika bermain sebagai gelandang serang, saya mencetak gol, tapi tidak ketika menjadi penyerang. Saat Shearer kembali, saya kehilangan tempat. Lalu Dalglish menempatkan saya di bangku cadangan, bahkan kadang di bangku penonton,” ujarnya.

Tomasson menyelesaikan musim dengan hanya mencetak tiga gol dalam 23 penampilan. Ia meminta klub untuk menjualnya, dan kebetulan Feyenoord datang mengajukan penawaran. Di kota Rotterdam, ia kembali menemukan kenikmatan bermain sebagai gelandang serang. Berkat kontribusinya, Feyenoord keluar sebagai juara Eredivisie, di mana 13 gol berhasil disumbang. Tiga musim berikutnya dijalani dengan sumbangan dua digit gol setiap musim, termasuk mengantar Feyenoord ke tangga juara Piala UEFA tahun 2002.

Usai kesuksesan ini, Tomasson menolak tawaran perpanjangan kontrak dan merasa sudah siap menjalani tantangan baru di panggung yang lebih besar. Tawaran datang dari Milan, dan ia tidak kuasa menolak kesempatan besar ini. Namun sayangnya, slot untuk gelandang serang sudah terisi penuh oleh Rui Costa, Clarence Seedorf dan Rivaldo. Ancelotti lebih menyukai ide untuk menjadikannya pelapis bagi Sheva dan Inzaghi.

Kejadian ini bagaikan deja-vu karirnya di Newcastle, namun kali ini Tomasson menolak untuk menyerah. Belajar dari pengalaman, ia dengan sabar menunggu giliran bermain, lalu mencoba memukau Ancelotti di setiap kesempatan. Kesabaran sang pemain berbuah hasil, karena meski jarang bermain penuh, ia kerap mencetak gol-gol penting. Golnya ke gawang Ajax Amsterdam pada menit terakhir babak perempat final Liga Champions menentukan kemenangan Milan, dan diklaimnya menyelamatkan Ancelotti dari ancaman pemecatan. Di tahun ini pula Milan berhasil menjuarai Liga Champions.

“Dia akan dipecat jika gagal membawa Milan ke semifinal, gol saya menyelamatkannya,” kenangnya.

Musim berikutnya, Ancelotti memberi kesempatan lebih kepada Tomasson, dan hasilnya amat positif: 12 gol di ajang Seri A, termasuk masing-masing ke gawang Juventus dan Inter Milan. Kontribusi ini turut membawa gelar scudetto pada Milan musim 2003-04. Namun sayangnya, inilah tahun terbaik Tomasson di Milan.

Musim selanjutnya, Tomasson kembali banyak menghuni bangku cadangan, terlebih saat Milan meminjam Hernan Crespo dari Chelsea. Ia akhirnya dijual ke Vfb Stuttgart dengan nilai 7,5 juta euro. Milan jelas beruntung, baik secara finansial maupun prestasi berkat Tomasson. Ia hanya semusim bermain di Stuttgart sebelum hijrah ke Villareal dan kemudian kembali ke Feyenoord, tempat mengakhiri karir.

Tomasson adalah contoh pemain dengan bakat besar yang kurang mendapat penghargaan, meski akan terlalu berlebihan pula jika kemampuannya patut dijajarkan dengan pemain seperti Rui Costa atau Shevchenko. Namun sekali lagi, pemain dengan kepribadian seperti Tomasson tidaklah mengeluh dan protes seperti anak kecil. Peran sebagai penyerang tengah pun dilakoni dengan baik, sebagai bukti bahwa ia rela berkorban untuk tim. 

Bersaing dengan nama-nama besar pun tidak membuatnya berkecil hati. Ia mampu berperan sama baik ketika menjadi 'ikan besar di kolam kecil' atau ketika terpaksa menjadi 'ikan kecil di kolam yang besar'. Sebuah sikap seorang profesional sejati yang dengan tepat telah digambarkan oleh Ancelotti dalam penuturannya di awal tulisan ini.

Lihatlah rekaman gol-gol Tomasson ketika bermain di Milan, lalu bandingkan dengan gol-golnya ketika bermain di Feyenoord atau timnas Denmark. Di Milan, gol-golnya begitu khas penyerang klasik: meneruskan bola muntah atau  menuntaskan umpan silang dengan simple tap-in, berbeda dengan gol-golnya saat ia bermain sebagai gelandang serang yang lebih bervariasi prosesnya. 

“Ia adalah seorang pemain besar dengan kepribadian yang baik, juga seorang team player sejati,” puji Morten Olsen, pelatih yang pernah menanganinya di timnas Denmark, di mana ia berhasil menyumbangkan 52 gol dari 112 penampilan

Torehan ini sekaligus menjadikan Tomasson sebagai pencetak gol terbanyak di timnas Denmark di era sepak bola modern. Poul “Tist” Nielsen juga mencetak 52 gol, namun ia melakukannya tahun 1910 hingga 1925. Meski tidak mampu memberi gelar pada tim nasionalnya seperti Michael Laudrup, dan juga tidak memiliki reputasi setinggi sang gelandang legendaris, namun setidaknya ia mampu menulis ceritanya sendiri lewat kesuksesan di level klub, gol-gol penting yang dicetak, serta totalitasnya sebagai team player.

Monday, October 26, 2015

Mana Yang Lebih Menguntungkan: Membangun Atau Menyewa Stadion?

Rencana pembangunan stadion gagal diwujudkan AC Milan. Semula, mulai tahun 2016, proses konstruksi sudah akan dimulai. Dihentikannya proyek ini sudah dikonfirmasi presiden mereka sendiri, Silvio Berlusconi sekitar sebulan silam.

Membandingkan dengan klub lain, kepemilikan stadion disebut sebagai salah satu kunci peningkatan performa finansial Juventus, yang berujung pula pada peningkatan prestasi baik di kompetisi lokal maupun kontinental. Berkaca pada keberhasilan ini, banyak klub Italia lain seperti AS Roma, Sassuolo dan Udinese yang mengikuti langkah Si Nyonya Tua untuk membangun stadion milik sendiri.

Lalu benarkah kepemilikan stadion menjadi satu-satunya solusi untuk menggenjot pendapatan?

***
Belum lama ini, West Ham United menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah London dalam hal penyewaan stadion Olympic. Stadion ini akan mulai digunakan oleh The Hammers mulai musim depan, dengan durasi penyewaan selama 100 tahun. 

West Ham sebenarnya sudah memiliki stadion sendiri, yaitu Boleyn Ground yang telah mereka huni lebih dari seabad silam. Langkah West Ham untuk berpindah kandang milik sendiri menjadi menyewa stadion milik pemerintah sebetulnya bukan kali pertama dilakukan oleh klub sepak bola. Manchester City sudah melakukannya sejak tahun 2008 sejak mereka berpindah dari stadion Maine Road ke City of Manchester Stadium, atau yang sekarang telah dibeli hak penamaannya oleh Etihad.

Sejak pindah ke Etihad, toh City tetap memperoleh pendapatan yang cukup besar dari sisi stadion. Data yang dikumpulkan oleh Swiss Ramble menunjukkan bahwa tahun 2014, The Sky Blues memperoleh 43 juta pounds. Jumlah ini memang sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya sejumlah 47 pounds, namun hal ini disebabkan adanya renovasi yang menyebabkan menurunnya kapasitas penonton dari 47 ribu ke 45 ribu penonton. Musim ini, kapasitas stadion kembali ditingkatkan hingga 55 ribu, yang tentunya akan menambah jumlah pendapatan mereka.

Dibanding saat masih menggunakan stadion Maine Road, pendapatan City dari sektor stadion jauh lebih besar. Dilihat dari kapasitas, stadion Maine Road yang ditutup tahun 2003 ini hanya mampu menampung 35 ribu penonton. Tanpa harus menengok data yang lebih detail, sudah aman untuk menyimpulkan bahwa peningkatan pendapatan dari sektor penonton sudah didapat.

Keputusan yang diambil West Ham dan City ini tentu saja menunjukkan bahwa kepemilikan stadion sendiri bukanlah satu-satunya jalan untuk memperkuat sendi-sendi finansial. Membangun stadion, meski akan menguntungkan, namun membutuhkan biaya konstruksi yang tidak sedikit, ditambah lagi kewajiban membayar bunga bank sebagai konsekuensi hutang. Logisnya selama periode tersebut, klub kerap terpaksa menghemat anggaran yang kemudian berakibat terbatasnya belanja pemain. Contoh dari kasus ini adalah yang dialami Arsenal selama mereka membangun stadion di kawasan Ashburton Grove (yang sekarang lisensi penamaannya dipegang Emirates).

Analisa yang lebih menyeluruh tentang build or rent ini dapat dilakukan, tentunya mempertimbangkan berbagai aspek finansial yang perlu melibatkan para ahli. Namun kita sudah bisa menyimpulkan bahwa klub yang menyewa stadion pun ternyata masih dapat meraup keuntungan yang setara dengan mereka yang memiliki stadion, tentunya dengan berbagai kondisi.

“Kami pindah ke Olympic karena kapasitas yang lebih besar dan fasilitas yang lebih modern. Dengan demikian, kami berharap bisa menghimpun lebih banyak penonton dan juga menjaring penonton baru,” ujar Karren Brady, Vice President dari West Ham. Alasan yang kurang lebih senada juga diucapkan oleh petinggi City kala memutuskan pindah ke Etihad.

Baik menyewa atau membangun stadion baru, tujuannya sebetulnya sama, yaitu meningkatkan pendapatan. Yang dicari dari perpindahan stadion baru bagi sebuah klub adalah suasana baru yang tentunya akan membawa pengalaman baru bagi pendukung loyal selama ini, sekaligus menjaring penonton baru dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai pemikat.

Relokasi ini memang tidak selamanya didukung. Bagi para fans yang sudah berurat akar mendukung klub daerahnya, perpindahan stadion akan menggerus identitas dan sejarah klub itu sendiri, seperti yang dialami David Conn atau Colin Schindler yang dalam masing-masing bukunya mengisahkan rasa kehilangan yang besar pada suasana Maine Road.

Jika kita melihat sisi romantisme seperti ini, berpindah tempat memang bukan sebuah pilihan. Namun tentu saja relokasi markas tim sepak bola seperti ini bukanlah kali pertama terjadi. Sebelum bernama Manchester United yang sekarang kita kenal, klub ini lebih dulu bernama Newton Heath, begitu pula klub Milton Keynes Dones yang sebelumnya kita kenal sebagai Wimbledon. Kedua kesebelasan berganti nama seiring keputusan mereka untuk merelokasi kandang mereka.

***
Jawaban atas pertanyaan seputar mana yang lebih menguntungkan antara menyewa atau membangun stadion baru, bagaimanapun tidak dapat digeneralisir begitu saja melainkan perlu dilihat kasus demi kasus yang spesifik. Bagi Milan, misalnya, mereka tidak bisa menyewa stadion baru yang sudah jadi, karena memang tidak ada pembangunan stadion baru yang dilakukan pemerintah kota Milan. Pilihan mereka tinggal membangun stadion baru atau tetap menempati San Siro bersama Inter Milan.

Peluang untuk memilih antara menyewa atau membangun bisa didapatkan oleh sebuah klub andai terdapat penyelenggaraan event berskala nasional, yang membuat negara (atau pemerintah daerah) menganggarkan pembangunan stadion. Dari situlah klub-klub berkesempatan untuk melakukan pengajuan penyewaan, seperti yang dilakukan West Ham. Dalam proses pengajuan ini, West Ham juga harus bersaing dengan Tottenham Hotspur.

Klub-klub Liga Rusia memiliki peluang selanjutnya untuk memiliki stadion baru yang dibangun pemerintah, karena berdekatan dengan penyelenggaraan Piala Dunia tahun 2018. Spartak Moskow menikmati stadion baru, dan akan disusul Rubin Kazan. Sementara CSKA Moskow dan FC Krasnodar telah menjalankan proyek stadion baru sebelum Rusia ditetapkan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018.

Sunday, October 25, 2015

Gigi Donnarumma, Shawn Drover dan Sistem Yang Gagal

Gianluigi Donnarumma (Photo from Gazzetta)
Jelang laga Milan melawan Sassuolo, terdapat kabar yang cukup mengejutkan terkait kemungkinan diturunkannya kiper remaja berbakat, Gianluigi Donnarumma oleh pelatih Sinisa Mihajlovic. Kisah Donnarumma sedikit mengingatkan saya pada mantan drummer band Megadeth, Shawn Drover. Seperti apa hubungannya? Saya terpaksa harus menceritakannya dengan agak panjang.

***
Saat masuk studio tahun 2004 lalu, Dave Mustaine sebagai vokalis, gitaris, pemimpin sekaligus pendiri band metal Megadeth baru saja pulih dari cedera pergelangan tangan kiri yang hampir saja mengakhiri karir musiknya.

"Jari dan tangan kiri ini menghasilkan karya-karya besar, atau dalam kacamata industri musik, the money maker," ujar Mustaine.

Mustaine berhasil pulih setelah menjalani serangkaian perawatan. Setelah sempat membuat Megadeth vakum, Mustaine bermaksud kembali ke studio untuk merilis album. Sedianya, proyek ini diperuntukkan sebagai album solo, album penanda kembalinya sang musisi besar metal, namun setelah berembuk, diputuskan bahwa album yang bertitel The System Has Failed ini akan rilis di bawah bendera Megadeth.

Sebetulnya, toh tidak jauh berbeda apakah album ini rilis sebagai album solo atau band. Megadeth adalah Mustaine, dan sebaliknya. Lagu-lagu Megadeth adalah ciptaan Mustaine, dan ia juga dengan mudahnya menggonta-ganti personel band. 

Pasca kesepakatan digunakannya format Megadeth, materi album memang sudah rampung, hanya tinggal menjalankan proses mixing dan mastering. Mustaine memiliki pekerjaan rumah yang baru yaitu mencari personel. Setelah cedera itu, Mustaine memang membebastugaskan personel lain dari band ini. 

Berturut-turut, ia menghubungi tiga eks penggawa band thrash metal ini. Nick Menza sang mantan drummer, Marty Friedman si mantan gitaris, dan tentunya David Ellefson mantan pencabik bass.

Di antara ketiganya, hanya Menza yang merespon positif, meski kemudian orang ini disebut Mustaine tidak menunjukkan komitmen total hingga akhirnya gagal mengamankan posisinya sebagai penabuh drum. "Bersamanya, kami memainkan satu-dua lagu, lalu kemudian ia meminta izin untuk pergi ke minimarket. Kadang ia kembali dengan cepat, namun sering kali ia baru kembali lima jam kemudian," ujar Mustaine.


Sementara itu, Friedman masih menganggap Jepang sebagi rumah barunya. Gitaris virtuoso idola bagi para penggemar Megadeth ini memang sudah lama merasa jenuh dengan ingar bingar genre metal. 

Yang mengejutkan adalah Ellefson. Setelah dihubungi, ia malah mengajukan gugatan sebesar 18,5 juta dollar AS kepada Mustaine sebagai permintaan pembayaran haknya selama hampir dua dekade menjadi pembetot bass

Mustaine pada akhirnya terpaksa menggunakan musisi tamu untuk tahap finalisasi album, promo album dan juga tur. Selanjutnya, nama Megadeth masih berkibar sampai sekarang. Album ini memang memiliki judul yang berarti kegagalan sebuah sistem, namun pada kenyataannya, album ini cukup penting dalam perjalanan karir Megadeth sebagai salah satu band thrash metal terbesar dunia karena menandai sebuah kelahiran kembali.

***

Situasi ini sebetulnya agak mirip dengan yang dialami Milan pada awal musim 2015-16.

Ada dua hal besar yang (semula akan) terjadi bagi Milan, yaitu pembangunan stadion baru dan pembelian 48% saham oleh kelompok investor dari Asia yang direpresentasikan oleh seorang pengusaha asal Thailand bernama Bee Taechaubol. Pembangunan stadion baru berujung kegagalan, sementara suntikan modal masih belum terealisasi hingga kini, tapi itu adalah bahasan lain.

Dua hal ini mendorong sang patron, Silvio Berlusconi untuk menggebrak. Pada awalnya ia mengutus Adriano Galliani, sang tangan kanan, untuk membujuk Carlo Ancelotti, sosok pelatih yang bersinonim dengan kejayaan Milan tahun 2000an. Ancelotti menolak, lalu pilihan Berlusconi jatuh pada Sinisa Mihajlovic, sosok berkarakter dan konon segalak tokoh Terence Fletcher dalam film Whiplash. Ketegasan Miha diharapkan mampu mengembalikan kedisiplinan dan keinginan menang dari para pemain Milan yang dituding malas, susah diatur dan sudah terlena gaji besar.

Miha memang sudah mendapatkan keinginannya, lebih dari yang pernah didapat Clarence Seedorf dan Pippo Inzaghi, dua pelatih sebelumnya. Ia mendapatkan barisan penyerang yang tajam serta tambahan kekuatan di lini tengah serta belakang. Memang masih agak nanggung, tapi setidaknya skuat yang sekarang masih lebih baik ketimbang yang Milan miliki dalam dua tahun ke belakang.

Kini setelah kompetisi paruh pertama telah berjalan setengahnya, Miha masih belum mampu men-deliver hasil yang diharapkan. Milan masih saja sering gagal menang melawan tim yang lebih lemah, dan masih belum mampu menandingi tim-tim kuat. Silakan lihat sendiri di mana posisi Milan pada klasemen sementara.

The system has failed, Miha?

Kalimat the system has failed, seperti dijelaskan pada awal tulisan ini adalah kontradiksi bagi Megadeth. Namun bagi Milan, lebih terdengar seperti frasa yang harfiah.


Kalimat yang menggambarkan keadaan sebenarnya.

Rangkaian hasil buruk yang juga diiringi performa tidak kalah buruknya kini menjadi cerita yang sehari-hari memenuhi langkah Mihajlovic dan Milan. Akibatnya, sang patron menjatuhkan ultimatum kepada Miha, yang berisi obligasi untuk memenangi dua laga Seri A berikut: melawan Sassuolo dan Chievo.

Semua pemerhati Seri A dan penggemar Milan sudah paham bahwa Sassuolo adalah jinx bagi Milan, agak mirip Swansea City bagi Manchester United di Liga Primer Inggris. Musim lalu, Milan selalu dikalahkan Sassuolo baik dalam laga kandang maupun tandang, dan jangan lupa bahwa Sassuolo juga diperkuat Domenico Berardi yang begitu gemar membobol gawang Rossoneri. Hattrick Berardi pula lah yang tiga tahun lalu membawa Sassuolo menang 4-3 atas Milan sekaligus membuat pelatih Milan saat itu Max Allegri kehilangan jabatannya.

Data dan fakta ini tentu semakin membuat ultimatum Berlusconi terlihat makin menyeramkan bagi Miha, dan sosok Berardi siap menjadi penentu nasib sang pelatih.

Menariknya, Miha menjalani ujian ini dengan agak nyeleneh (atau ini memang menunjukkan desperasi dari sang allenatore, atau sekadar memberi wake-up call bagi Diego Lopez, kiper utama). Dikabarkan, ia akan menurunkan kiper remaja super berbakat Milan yang masih berusia 16 tahun, Gianluigi Donnarumma. Anda tentu masih ingat ketika kiper ini mampu menahan tendangan penalti Toni Kroos pada ajang pramusim lalu. Jika benar diturunkan, Donnarumma akan menjadi kiper termuda Seri A sepanjang sejarah Milan!


***

Kita kembali sejenak ke cerita Megadeth. Kegagalan bereuni dengan personel lama ternyata membawa hikmah. Tanpa diduga Mustaine menemukan musisi-musisi pengganti yang tidak kalah hebat dengan nama besar Menza, Ellefson dan Friedman, yaitu Glen Drover (gitar), Shawn Drover (drum) dan James LoMenzo (bass).

Khusus bagi Shawn, ada cerita yang mungkin sedikit nyambung dengan Donnarumma. Sebelum jamming dengan Megadeth, Shawn hanyalah drummer kelas garage band atau sekadar teknisi drum. Drummer kidal ini bergabung setelah direkomendasikan Glen, sang abang.

Glen tidak pernah menceritakan Mustaine tentang obscure background dari Shawn. Adalah kemampuan dan attitude Shawn nyatanya mampu membuat Mustaine percaya bahwa anak ini adalah musisi sungguhan dengan jam terbang tinggi. Namun setelah menyelesaikan show perdananya bersama Megadeth di hadapan ribuan penonton, Mustaine mendapati Shawn terdiam seperti orang mau mati. Ia terus muntah hingga membutuhkan pertolongan medis. Saat peristiwa ini terjadi, barulah Glen menceritakan latar belakang Shawn yang sebenarnya kepada Mustaine.


"Apa yang terjadi, Glen?"
"Mungkin ia terlalu tegang di luar tadi"
"Apa maksudmu? Bukankah ia sudah terbiasa tampil di panggung?"
"Memang betul, tapi tidak sebesar ini, tidak di hadapan ribuan orang"
"Oh man.."

Tapi kemudian, ia terus meningkatkan kemampuan, kepercayaan diri dan sikapnya. Hingga Mustaine sendiri pada akhirnya memuji Drover dengan tulus. "Shawn Drover adalah salah satu dari sekian musisi yang amat saya hargai."

***


Mampukah Donnarumma mengikuti jejak Shawn Drover? Jelas ia berpeluang, karena ia juga pernah menahan tendangan penalti Berardi dalam ajang Trofeo TIM tahun ini. Kita nantikan saja versi The System Has Failed seperti apa yang dialami Milan dalam beberapa jam ke depan.

Friday, October 16, 2015

Membela Memphis Depay

Penyerang sayap Manchester United, Memphis Depay tengah tertekan. Ia dianggap gagal menjustifikasi harga mahal dan ekspektasi tinggi yang berada di pundaknya. Kritik pun datang dari banyak pihak, terutama pendukung.

Bahkan, di media sosial begitu banyak yang menyebut Depay hanyalah pemain dengan ego Cristiano Ronaldo, namun dengan kemampuan seperti Bebe. Begitu pula dalam pembicaraan warung kopi di sebuah daerah sub-urban Indonesia yang juga tidak ketinggalan memberi kritik pedas kepada pemain ini. Cerita seperti ini bukanlah hal baru di Manchester United, klub yang memang paling populer di dunia.

Memang tidak mudah untuk sukses di di klub seperti ini, tapi meski demikian, bukan berarti mereka yang gagal bersinar di sana adalah pemain yang buruk.

Final Liga Champions 1999 di stadion Camp Nou Barcelona dipandang sebagai salah satu laga final paling dramatis sepanjang sejarah kompetisi Liga Champions. United keluar sebagai juara setelah mencetak dua gol pada masa injury time untuk membalikkan ketertinggalan atas Bayern Muenchen.

Laga tersebut memang sudah lama berlalu, namun dampaknya dapat dirasakan United hingga sekarang. Bagaimana tidak, sejak kemenangan tersebut, penggemar-penggemar baru Red Devils bermunculan. Banyak pula di antara mereka yang saat itu baru melek sepak bola. 16 tahun telah berlalu sejak final itu, dan mereka yang saat itu baru melek sepak bola, kini mungkin sudah menjadi dedengkot di kelompok suporter mereka.

Fenomena ini pun tidak bisa disepelekan, karena dalam lansekap industri sepak bola, bertambahnya penggemar berarti bertambahnya reputasi dan uang. Laga 90 menit tersebut tidak pelak lagi adalah tonggak sejarah bagi United hingga mereka kemudian menjadi klub terpopuler dunia dengan jumlah pendukung yang diklaim oleh majalah Forbes sebanyak lebih dari 659 juta orang, atau sepersepuluh dari pendukung bumi. Artinya, satu dari sepuluh penduduk bumi adalah pendukung Manchester United! Luar biasa, bukan?

Reputasi United memang tidak dibangun dalam waktu sembilan puluh menit di Camp Nou saja. Sebelumnya, United telah memberi tanda-tanda bahwa mereka akan menjadi penguasa baru Liga Inggris. Selepas final ’99 itu, United memang mendominasi kompetisi domestik Inggris sekaligus menjadi pionir bagi mendunianya kompetisi Premier League menggeser kompetisi Seri A Italia yang berjaya tahun 90an. Belum lagi puja-puji pada banyak pemain mereka seperti Eric Cantona, Peter Schmeichel dan tentu saja Class of '92. Eks manajer Sir Alex Ferguson pun dipandang sebagai salah satu manajer sepak bola terbaik yang pernah ada.

Maka tidak mengherankan jika banyak pemain yang belum dianggap terkenal-terkenal amat jika mereka belum bermain di United, padahal di klub sebetulnya mereka sudah terkenal. Ambil contoh Matteo Darmian. Saat bek sayap ini masih bermain di Torino, siapa yang mengenalnya selain pemerhati Liga Italia? Kini, sepertinya pendukung United sudah tahu berapa ukuran sepatunya dan siapa nama orang tuanya. Contoh yang sama berlaku pada Ander Herrera dan Anthony Martial.

Kembali kepada Memphis Depay dan kritikan yang kini melandanya. Depay, yang baru berusia 21 tahun dibeli dari PSV Eindhoven dengan mahar 30 juga pounds pada awal musim ini. Ia datang ke Inggris membawa predikat topskor kompetisi Eredivisie Belanda. Oleh United, Depay diberikan nomor 7, yang sebelumnya dikenakan oleh pemain-pemain besar seperti Cantona, David Beckham dan Cristiano Ronaldo. Di mata pendukung United, Depay setidaknya lebih terkenal daripada Darmian, Martial atau Herrera, dan semestinya, ia langsung tokcer dan menjadi pemimpin serangan United.

Delapan laga pembuka Liga Primer Inggris dilaluinya dengan hanya sumbangan satu gol. Bukan hanya minim gol, pemain sayap kiri ini juga terlihat lemah dalam akurasi tendangan. Situs squawka pun mencatat hanya 44% tendangan Depay yang tepat sasaran. Ia pun beberapa kali menyia-nyiakan peluang bersih di depan gawang lawan dan juga kerap membuang momentum dengan terlalu banyak menggocek bola. Predikat flop sudah kadung divoniskan oleh para pendukung meski kompetisi masih berada di tahap awal.

Para pendukung ini sepertinya lupa, bahwa Cristiano Ronaldo pun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bersinar. Pada awal karirnya di United, Ronaldo lebih banyak dikenal sebagai pesepak bola egois yang doyan menggocek bola dan mewarnai rambut. Namun jelang kepindahannya ke Real Madrid, Ronaldo menjelma sebagai pemain terbaik dunia.

Bukan bermaksud membela Depay tanpa alasan, dan bukan bermaksud mengatakan bahwa Depay akan menjadi sehebat Ronaldo di masa depan, tapi memang sungguh prematur untuk menjatuhkan vonis gagal kepada pemain yang memang belum setengah musim merumput di Liga Primer Inggris. Tentu saja ada proses adaptasi yang perlu dijalani, belum lagi lingkungan baru, taktik yang berbeda serta atmosfer pertandingan yang juga jauh berbeda ketimbang di Eredivisie.

Bahkan, jika pun akhirnya Depay benar-benar gagal, ia sejatinya tidak perlu berkecil hati. Angel Di Maria tetaplah pemain yang sama hebatnya ketika ia dianggap gagal oleh United. Di PSG, ia tengah merajut jalan untuk menebus kegagalannya. Begitu pula pemain seperti Diego Forlan yang justru menunjukkan performa menanjak setelah meninggalkan United. Hal yang nyaris serupa juga terjadi pada Juan Sebastian Veron ataupun Jaap Stam.

Pendukung United memang boleh saja mengritik pemain-pemainnya, atau menghakimi mereka yang bermain buruk dan egois. Tapi percayalah, penilaian ini tidaklah menjadikan mereka pemain yang buruk. Mereka dapat pindah ke klub lain, dan menemukan permainan terbaik mereka di klub baru. Pemain yang pada dasarnya bagus, belum tentu bisa bermain baik di sebuah klub, atau sebuah liga. Terdapat unsur cocok-tidak cocok antara pemain, klub, liga, pelatih, gaya permainan dan lainnya. Dalam menilai sesuatu, memang tidak bisa hanya dari satu sisi saja.

Monday, October 12, 2015

Ini Heavy Metal, Bung!

Borussia Dortmund adalah klub sepak bola yang saya kagumi dan kemudian saya dukung secara logis. Saya mengagumi visi mereka yang brilian –mengandalkan pemain muda dan pemain akademi—, juga memainkan sepak bola yang mengagumkan di bawah asuhan seorang pelatih bernama Juergen Klopp. Pendukung mereka juga amat kreatif. Serta tentunya, mereka bukanlah Bayern Muenchen, klub yang terlalu dominan di Bundesliga.

Berbeda dengan kecintaan kepada Milan, yang timbul sejak masa kanak-kanak, yang tentunya tidak memperhitungkan hal-hal logis seperti itu.

Juergen Klopp, seperti disebut di atas, adalah salah satu alasan saya menyukai Dortmund. Baru-baru ini, Klopp kembali ke kursi kepelatihan setelah menandatangani kontrak dengan Liverpool. Bagi para pendukung Liverpool sendiri, kehadiran Klopp disambut begitu meriah dan penuh suka cita. Sepak bola heavy metal ala Klopp akan mengubah peruntungan The Reds, dari klub yang seperti terkena kutukan, menjadi sebuah klub yang penuh harapan.

Berbicara musik heavy metal, diperlukan musisi-musisi dengan kemampuan teknis sekaligus energi dan stamina di atas rata-rata untuk memainkan musik heavy metal. Tidak seperti premis awam yang bilang kalau musik heavy metal isinya hanya teriakan berisik tanpa estetik, padahal musik ini memerlukan kombinasi presisi, kecepatan tanpa mengorbankan keindahan. Dengan kata lain, tidak sembarang musisi bisa memainkan musik heavy metal dengan baik.

Pengandaian ini adalah analogi situasi yang dialami Klopp saat ini di Liverpool. Sepak bola heavy metal ala Klopp, atau dikenal dengan sebutan gegenpressing menuntut pemain-pemainnya untuk bermain seagresif musisi heavy metal menggeber instrumennya. Pemain arahan Klopp harus berlari lebih jauh, menembak lebih sering dan tidak boleh jogging di lapangan.

Ketika timnya kehilangan bola, Klopp ingin pemainnya melakukan pressing untuk menghambat lawan dari counter attack yang hendak dibangunnya. Ketika bola berhasil direbut kembali, Klopp's boys melakukan counter attack dengan cepat tanpa berlama-lama memegang bola, namun sudah otomatis menempati posisinya. Skema ini sudah ribuan kali dilatih.

Gegenpressing dapat disebut sebagai antitesis dari Tiki-taka. Filosofi turunan dari Total Football ini mengutamakan penguasaan bola dengan operan-operan pendek yang amat cepat. Ketika kehilangan bola, para pemain menekan lawan untuk kembali merebut bola, lalu kembali mengolahnya lewat operan-operan pendek cepat seperti sebelumnya. Sepak bola seperti ini digambarkan Klopp sebagai orkestrasi instrumental yang memang elegan dan menawan. “But it's a silent song. I like heavy metal,” ujarnya ketika menggambarkan permainan Arsenal di bawah Arsene Wenger, yang juga mirip dengan Tiki-taka ala Barcelona. Tentu saja ini masalah selera.

Tapi untuk seorang Juergen Klopp, 'selera' ini telah membawa Dortmund ke level tertinggi dari kondisi nyaris bangkrut.

Dalam membesut The Reds, Klopp dihadapkan pada pemain-pemain yang tidak terbiasa memainkan sepak bola heavy metal. Liverpool di bawah arahan Brendan Rodgers lebih cenderung memainkan gaya Tiki-taka, seperti halnya pendekatan Rodgers saat ia melatih Swansea City. Rodgers pun memiliki reputasi yang juga baik sebelum ia menangani Liverpool, namun sayangnya ia tidak mengakhiri karir di sini dengan khusnul khotimah.

Meski Klopp memiliki reputasi yang bagus, namun tetap saja pergantian filosofi bermain ini membutuhkan waktu untuk mengubah sebuah peruntungan. Ditambah lagi, sepak bola Inggris tidak mengenal winter break, di mana risiko cedera pemain akan semakin besar. Ini jelas akan menjadi problem karena semasa melatih Dortmund, Klopp terbilang jarang mengubah pola bermain dan cenderung jarang melakukan rotasi pemain. 

Apa yang dihadapi Klopp seperti meminta musisi jazz memainkan heavy metal, dan mempersiapkan mereka untuk menggelar konser metal yang megah. 

Wednesday, October 7, 2015

Kusutnya Sepak Bola Indonesia Dari Tarkam Hingga Nasional

Kompetisi sepak bola antar kampung bukan wajah asing buat saya. Sedari kecil, saya melihat pertandingan sepak bola akar rumput ini di dekat rumah. Saya juga sempat bermain dalam beberapa pertandingan, dan saya juga kenal sebagian besar pemain, pengurus tim dan juga wasit.

Hasil terjun langsung inilah yang membuat saya bisa menyimpulkan seperti apa wajah sepak bola kampung ini, yang tentu saja menjadi cerminan dari sepak bola Indonesia. Walaupun terkesan steriotip dan generalisasi, tapi setidaknya saya percaya bahwa anda pernah mendengar ini semua.

Berikut beberapa di antaranya:

Nepotisme, Jalan Pintas dan Menghalalkan Segala Cara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme diartikan perilaku yang memperlihatkan kesukaan berlebih kepada kerabat dekat; kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

Perilaku nepotisme memang banyak terdapat di ranah birokrat, tapi sepak bola tidak lepas dari perilaku ini. Tidak perlu menyebut nama dan menunjuk hidung, tapi saya menyaksikan di depan mata sendiri kekecewaan salah seorang teman yang tidak terpilih memperkuat tim kecamatan karena kalah bersaing dengan anak dari salah seorang tokoh berpengaruh. Dilihat dari kemampuan, teman saya jelas lebih baik.

Bisa ditebak, perilaku semacam ini akan membatasi kesempatan bagi pemain-pemain yang memang memiliki kemampuan.

Cerita seperti ini tentu sering kita dengar di level kompetisi yang lebih tinggi seperti antar kecamatan atau yang setingkat nasional seperti PON. Di level timnas, Indra Sjafri dan Foppe De Haan bahkan pernah bercerita tentang fenomena pemain titipan di timnas Indonesia. 

Perilaku ini jelas memperlihatkan pikiran yang menghalalkan segala cara. Tidak sedikit pula kasus kolusi wasit (ingat tragedi sepak bola gajah PSS dan PSIS) yang muncul di permukaan, belum termasuk di divisi lebih rendah yang minim pemberitaan.

Instingtif dan Miskin Taktik
Di era sepak bola modern, kehebatan tim tidak ditentukan oleh kemampuan individu pemain, melainkan penggunaan taktik. Tidak usah berbicara modern tahun sekarang, tim nasional Swiss tahun 40an arahan pelatih Karl Rappan saja sudah berhasil menciptakan cikal bakal taktik catenaccio untuk menyiasati kekurangan skill individu pada timnya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Saya malah pernah mendengar cerita miris pemain yang begitu berbakat dan ditempa latihan dari Eropa. Dalam sebuah pertandingan, si pemain didikan Eropa itu berlari lebih banyak ketimbang pemain-pemain lokal, tapi permainannya malah tidak efektif akibat teman-temannya malas berlari. Oleh pelatih, ia malah dicap seperti pemain yang bingung.

Mantan pelatih timnas, Jacksen F. Tiago sendiri pernah berkomentar bahwa pemain-pemain Indonesia dibesarkan dengan kultur ‘dribel heroik’. Pemain akan dipuja, dianggap hebat dan berbakat jika memiliki gaya main yang gemar menggoreng bola, lalu membawanya hingga ke depan gawang lawan. Tak peduli prosentase gagal-suksesnya atau efektif-tidaknya. Jika sudah mendribel bola melewati satu-dua pemain, pemakluman akan diberikan kepada si pemain jika dia salah melakukan umpan.

Begitu pula yang pernah saya dengar dari Nil Maizar, mantan pelatih timnas lainnya. Dalam sebuah pertandingan, Nil tidak berhenti berteriak “Sabar!” dan “Satu sentuhan!” kepada pemain-pemainnya. Karena memang kebiasaan pemain Indonesia yang kerap terburu-buru melepas bola lambung ke depan tanpa merancang permainan dengan rapi, atau kebiasaan pemain yang berlama-lama menggoreng bola tadi, bukannya menyentuh bola sesedikit mungkin namun mengalirkannya dengan efektif.

Sepak bola memang bukan olahraga yang rigid seperti baseball atau catur misalnya, tapi semata mengandalkan insting pun tidak. Instruksi untuk pemain sayap bukan sekadar “Kamu main di sayap, lari yang cepat!” atau “Kita bertahan total” “Kita main keras” tanpa ada arahan lebih lanjut. Tidak heran jika pemain-pemain Indonesia lebih banyak bermain dengan naluri ketimbang skema.

Pola pikir seperti ini memang bisa diterapkan untuk melawan sesama tim Indonesia. Tapi bagaimana jika menghadapi tim luar negeri? Sudahlah, ini hanya pertanyaan retoris.

Mental Jago Kandang, Perilaku Tidak Sportif dan Senang Kekerasan
Sepak bola memang olahraga yang penuh kontak fisik, yang tentu saja amat berpotensi menyulut keributan. Kekerasan bukan hanya terjadi antar pemain, tapi juga terhadap wasit, atau antar penonton. Namun yang terjadi di sini, pihak-pihak penyulut kekerasan ini masih saja melenggang bebas. Jika diinvestigasi, jawaban yang keluar hanyalah ‘oknum’, dan jika akhirnya dihukum pun nantinya akan cepat dibebaskan.

Pertandingan antar kampung akan dengan mudah menyulut keributan, siapa pun yang menang. Yang kalah, sudah pasti tidak terima. Pemainnya, ofisialnya, penontonnya sama saja. Saya pernah menyaksikan sendiri sebuah pertandingan final antar kampung yang berakhir rusuh karena yang kalah tidak bisa menerima kekalahan. Piala dibanting, wasit dikejar-kejar, pemain saling baku pukul, ofisial saling dorong. Bukan cerita aneh, kan?

Di sini, sepertinya kehormatan wilayah lebih penting dari apapun, dan semangat primordial dikedepankan. Di kampung sendiri, kita merasa amat superior. Perilaku jago kandang yang menggelikan. Banyak pemain yang bermain begitu bagus ketika membela daerahnya, tapi ketika digabungkan untuk ajang yang lebih tinggi, mentalnya tidak kuat, dan akhirnya bermain jelek. Percayalah, mentalitas seperti ini akhirnya berlanjut ke level negara.

***

Sebenarnya, masih ada beberapa yang terpikirkan, misalnya penggunaan doping, pencurian umur, manajemen ala warteg dan sebagainya. Memang, tidak semua pemain, pelatih, penonton dan elemen sepak bola Indonesia seperti itu. Tidak sepenuhnya benar, tapi tidak sepenuhnya salah, bukan?

Di negara sepak bola maju pun persoalan seperti ini terjadi. Tapi paling tidak mereka telah mempraktikkan pembinaan yang baik, mengelola kompetisi dengan profesional, dan memperhatikan nasib pemain. Amat jarang kita mendengar pemain yang tidak digaji.

Sepak bola Indonesia memang kusut, dan sulit untuk dibereskan karena permasalahan yang begitu menyeluruh, rumit dan sudah menjadi makanan sehari-hari. Banyak pihak yang sepertinya mendiamkan, atau cuek saja. Di level negara pun, persoalan Kemenpora dengan PSSI masih tak kunjung usai. Untuk itu, anggap saja sepak bola Indonesia sebagai hiburan, atau komedi satir belaka.