Saya adalah salah satu dari
mungkin ribuan, atau mungkin jutaan anak di dunia yang tumbuh bersama Andriy
Shevchenko ketika baru mengenal sepak bola tahun 90an. Saya memiliki banyak
pemain idola, dan memang senantiasa berganti. Roberto Baggio, Dejan Savicevic, Marco
Simone, George Weah, Christian Vieri, Zvonimir Boban, Manuel Rui Costa, Zinedine
Zidane, Juan Roman Riquelme, Juan Sebastian Veron dan Ronaldo Luis Nazario Lima
adalah pemain-pemain yang saya nikmati permainannya.
Saya juga mengidolai beberapa
pemain lagi ketika beranjak semakin dewasa. Andrea Pirlo, Ricardo Kaka, Ronaldinho,
Antonio Cassano dan kini El Shaarawy. Saya tidak akan menyebut Lionel Messi dan
Cristiano Ronaldo karena terlalu mainstream.
Namun diantara semuanya, saya
bisa bilang kalau Andriy Shevchenko adalah yang paling berkesan. Sheva hadir di
kehidupan saya pada usia remaja dimana apapun yang saya sukai saat itu terlihat
serba indah dan overrated, seindah dan se-lebay perasaan saya pada
gebetan-gebetan saya dulu. Hanya melihat mereka saja sudah senang, mengajak
ngobrol tidak berani. Dan perasaan menggebu-gebu itu turut saya bawa ketika
duduk anteng didepan layar kaca hanya untuk menyaksikan Sheva bermain.
Saat Sheva mencetak hattrick ke
gawang Lazio di Olimpico, saya dengan bangga meledek teman saya yang seorang
Laziale keesokan harinya. Begitupula ketika Sheva berhasil mengecoh Gigi Buffon
untuk membawa Milan meraih gelar keenam Liga Champions, teman-teman saya yang
Juventini memberi selamat. Ya, saya ikut bahagia atas apa yang Sheva lakukan –juga
Milan menangkan-, seolah saya yang ikut berkontribusi didalamnya. Begitulah mungkin
cara gampang seorang anak kecil menikmati sepak bola.
Setiap Sheva mencetak gol, saya tidak
sabar untuk pergi ke sekolah keesokan harinya. Saya tidak sabar untuk bermain
di lapangan sekolah dan mempersonifikasi permainan Sheva di lapangan upacara
yang disulap menjadi lapangan sepak bola mini. Saya tidak akan lupa pada
teriakan penonton yang meneriaki saya “Ayo Sheva!” dalam pertandingan
classmeeting. Saya sampai merasa bahwa Sheva adalah saya dalam kehidupan yang
lain.
Entah ada berapa poster Sheva
yang terpajang di tembok kamar. Dari poster yang saya dapat dari tabloid
olahraga hingga yang saya beli dari abang-abang yang berjualan di terminal. Saya
lapisi dengan papan dan lakban seadanya agar poster itu tidak lecek, saya
tutupi dengan plastik agar poster itu tidak berdebu.
Saya juga menabung untuk membeli
jersey Milan bernomor tujuh bertuliskan namanya, meskipun uang jajan saya dulu
hanya cukup untuk membeli produk Multi Sport saja. Memakai jersey itu ketika
sedang bermain membuat saya makin merasa seperti dirinya saja. Disaat
teman-teman saya lebih memilih membelanjakan uang jajan terbatasnya untuk
mentraktir pacarnya makan di restoran junk food dan menonton AADC berulang kali,
saya malah lebih memilih untuk melengkapi koleksi Milan dan Sheva saya, bersanding
dengan koleksi kaset album Metallica dan Bon Jovi. Anda bisa bayangkan betapa
hancurnya hati saya ketika ia pindah ke Chelsea, terlebih ketika ia terus mengalami
dekadensi permainan disana.
Tidak cukup sampai disitu, ketika
teknologi internet dan email mulai masuk ke Indonesia tahun 90an akhir, username
email saya dimanapun domainnya adalah aditchenko_7, dan alamat ini masih saya
gunakan sebagai user ID yahoo saya sampai sekarang. Saya juga masih memakai
email dengan user aditchenko untuk segala keperluan, baik resmi maupun
main-main. Saya melamar pekerjaan, mengisi form di polis asuransi dan pembukaan
rekening bank, sampai keanggotaan klub-klub sosial dengan email ini. Tidak lupa,
akun twitter saya adalah @aditchenko karena nama itulah yang terpikir pertama
kali ketika diminta ”Please create you username”. Sebegitu besarnya arti
seorang Andriy Mkhaylovich Shevchenko dalam hidup simple saya ini.
Dan kini, saya mendengar bahwa
pemain yang sama dengan yang saya idolakan menemani saya tumbuh dewasa itu akan
hadir di kota saya bersama Milan Glorie. Ia memang sudah pensiun, dan
aksi-aksinya sudah tidak dapat saya nikmati sepuas saat ia masih berjaya, tapi dia tetap Shevchenko yang sama. Ia akan meminum air yang sama dengan yang saya minum, ia mungkin
akan mencicipi nasi goreng dan sate ayam, juga mungkin akan tampil dan dikerjai
Olga di acara Dahsyat.
Tapi entah kenapa, saya tidak lagi
memiliki rasa yang sama seperti dua belas tahun lalu itu. Segala buku dan
bacaan yang saya lahap serta teman-teman baru yang juga memberi pandangan baru menjadikan
saya lebih rasional. Saya sudah membebaskan diri dari kungkungan roman picisan berbungkus
fanatisme semacam itu. Disaat saya seharusnya menjemput Sheva di bandara,
mengikutinya kemanapun ia pergi di Jakarta, mengejar tanda tangan dan foto
bareng atau duduk paling depan dalam acara meet & greet atau bahkan datang ke studio televisi untuk ikutan berjoget cuci jemur, ternyata saya
memilih untuk tidak akan melakukannya. Dalam hidup, memang ada perubahan. Begitupula perubahan dalam menyikapi momen bertemu idola.
Cara saya menikmati sepak bola
sudah tidak seperti itu lagi. Saya sudah tidak pernah mengupdate status
blackberry messenger hasil pertandingan klub favorit, dan mengupdate foto
pemain favorit saya dari berbagai angle. Tidak lagi menggembor-gemborkan diri
sebagai suporter setia sebuah klub seperti satu dekade lalu. Tidak juga
tertarik untuk banter dengan suporter lain.
Tapi bukan berarti saya akan
menghapus Sheva begitu saja dari ingatan. Meski dengan tingkat berbeda, namun
saya tidak akan lupa bahwa pemain ini adalah salah satu alasan saya mencintai
sepak bola. Ia tetaplah panutan akan sosok seorang pemenang dan legenda di mata saya. Hanya saja, kini cara pandang saya yang berbeda.
Wah, tulisan mas Adit sama banget dengan awal mula saya suka Milan :)
ReplyDeleteMantap mas Adit, tetap menulis tentang Milan
ReplyDelete