Pages

Saturday, January 12, 2013

Ketika Shevchenko adalah saya di kehidupan lain




Saya adalah salah satu dari mungkin ribuan, atau mungkin jutaan anak di dunia yang tumbuh bersama Andriy Shevchenko ketika baru mengenal sepak bola tahun 90an. Saya memiliki banyak pemain idola, dan memang senantiasa berganti. Roberto Baggio, Dejan Savicevic, Marco Simone, George Weah, Christian Vieri, Zvonimir Boban, Manuel Rui Costa, Zinedine Zidane, Juan Roman Riquelme, Juan Sebastian Veron dan Ronaldo Luis Nazario Lima adalah pemain-pemain yang saya nikmati permainannya.

Saya juga mengidolai beberapa pemain lagi ketika beranjak semakin dewasa. Andrea Pirlo, Ricardo Kaka, Ronaldinho, Antonio Cassano dan kini El Shaarawy. Saya tidak akan menyebut Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo karena terlalu mainstream.

Namun diantara semuanya, saya bisa bilang kalau Andriy Shevchenko adalah yang paling berkesan. Sheva hadir di kehidupan saya pada usia remaja dimana apapun yang saya sukai saat itu terlihat serba indah dan overrated, seindah dan se-lebay perasaan saya pada gebetan-gebetan saya dulu. Hanya melihat mereka saja sudah senang, mengajak ngobrol tidak berani. Dan perasaan menggebu-gebu itu turut saya bawa ketika duduk anteng didepan layar kaca hanya untuk menyaksikan Sheva bermain.

Saat Sheva mencetak hattrick ke gawang Lazio di Olimpico, saya dengan bangga meledek teman saya yang seorang Laziale keesokan harinya. Begitupula ketika Sheva berhasil mengecoh Gigi Buffon untuk membawa Milan meraih gelar keenam Liga Champions, teman-teman saya yang Juventini memberi selamat. Ya, saya ikut bahagia atas apa yang Sheva lakukan –juga Milan menangkan-, seolah saya yang ikut berkontribusi didalamnya. Begitulah mungkin cara gampang seorang anak kecil menikmati sepak bola.

Setiap Sheva mencetak gol, saya tidak sabar untuk pergi ke sekolah keesokan harinya. Saya tidak sabar untuk bermain di lapangan sekolah dan mempersonifikasi permainan Sheva di lapangan upacara yang disulap menjadi lapangan sepak bola mini. Saya tidak akan lupa pada teriakan penonton yang meneriaki saya “Ayo Sheva!” dalam pertandingan classmeeting. Saya sampai merasa bahwa Sheva adalah saya dalam kehidupan yang lain.

Entah ada berapa poster Sheva yang terpajang di tembok kamar. Dari poster yang saya dapat dari tabloid olahraga hingga yang saya beli dari abang-abang yang berjualan di terminal. Saya lapisi dengan papan dan lakban seadanya agar poster itu tidak lecek, saya tutupi dengan plastik agar poster itu tidak berdebu.


Saya juga menabung untuk membeli jersey Milan bernomor tujuh bertuliskan namanya, meskipun uang jajan saya dulu hanya cukup untuk membeli produk Multi Sport saja. Memakai jersey itu ketika sedang bermain membuat saya makin merasa seperti dirinya saja. Disaat teman-teman saya lebih memilih membelanjakan uang jajan terbatasnya untuk mentraktir pacarnya makan di restoran junk food dan menonton AADC berulang kali, saya malah lebih memilih untuk melengkapi koleksi Milan dan Sheva saya, bersanding dengan koleksi kaset album Metallica dan Bon Jovi. Anda bisa bayangkan betapa hancurnya hati saya ketika ia pindah ke Chelsea, terlebih ketika ia terus mengalami dekadensi permainan disana.

Tidak cukup sampai disitu, ketika teknologi internet dan email mulai masuk ke Indonesia tahun 90an akhir, username email saya dimanapun domainnya adalah aditchenko_7, dan alamat ini masih saya gunakan sebagai user ID yahoo saya sampai sekarang. Saya juga masih memakai email dengan user aditchenko untuk segala keperluan, baik resmi maupun main-main. Saya melamar pekerjaan, mengisi form di polis asuransi dan pembukaan rekening bank, sampai keanggotaan klub-klub sosial dengan email ini. Tidak lupa, akun twitter saya adalah @aditchenko karena nama itulah yang terpikir pertama kali ketika diminta ”Please create you username”. Sebegitu besarnya arti seorang Andriy Mkhaylovich Shevchenko dalam hidup simple saya ini.

Dan kini, saya mendengar bahwa pemain yang sama dengan yang saya idolakan menemani saya tumbuh dewasa itu akan hadir di kota saya bersama Milan Glorie. Ia memang sudah pensiun, dan aksi-aksinya sudah tidak dapat saya nikmati sepuas saat ia masih berjaya, tapi dia tetap Shevchenko yang sama. Ia akan meminum air yang sama dengan yang saya minum, ia mungkin akan mencicipi nasi goreng dan sate ayam, juga mungkin akan tampil dan dikerjai Olga di acara Dahsyat.

Tapi entah kenapa, saya tidak lagi memiliki rasa yang sama seperti dua belas tahun lalu itu. Segala buku dan bacaan yang saya lahap serta teman-teman baru yang juga memberi pandangan baru menjadikan saya lebih rasional. Saya sudah membebaskan diri dari kungkungan roman picisan berbungkus fanatisme semacam itu. Disaat saya seharusnya menjemput Sheva di bandara, mengikutinya kemanapun ia pergi di Jakarta, mengejar tanda tangan dan foto bareng atau duduk paling depan dalam acara meet & greet atau bahkan datang ke studio televisi untuk ikutan berjoget cuci jemur, ternyata saya memilih untuk tidak akan melakukannya. Dalam hidup, memang ada perubahan. Begitupula perubahan dalam menyikapi momen bertemu idola.


Cara saya menikmati sepak bola sudah tidak seperti itu lagi. Saya sudah tidak pernah mengupdate status blackberry messenger hasil pertandingan klub favorit, dan mengupdate foto pemain favorit saya dari berbagai angle. Tidak lagi menggembor-gemborkan diri sebagai suporter setia sebuah klub seperti satu dekade lalu. Tidak juga tertarik untuk banter dengan suporter lain.

Tapi bukan berarti saya akan menghapus Sheva begitu saja dari ingatan. Meski dengan tingkat berbeda, namun saya tidak akan lupa bahwa pemain ini adalah salah satu alasan saya mencintai sepak bola. Ia tetaplah panutan akan sosok seorang pemenang dan legenda di mata saya. Hanya saja, kini cara pandang saya yang berbeda. 

2 comments:

  1. Wah, tulisan mas Adit sama banget dengan awal mula saya suka Milan :)

    ReplyDelete
  2. Mantap mas Adit, tetap menulis tentang Milan

    ReplyDelete