Pages

Thursday, December 31, 2015

Mihajlovic, Si Pengisi Kekosongan yang Bukan Legenda Milan

Sinisa Mihajlovic (Photo from Bleacher Report)

Bagi siapa pun yang sehari-harinya bekerja dalam tekanan berat dari atasan dan dihantui masa depan yang tidak jelas, plus arah yang juga tidak jelas dari tempatnya bekerja, sejenak kembali ke kampung halaman bisa membantu mengurangi beban, jika menghilangkannya sama sekali juga tidak mungkin.

Sinisa Mihajlovic, pelatih Milan yang memiliki ayah seorang Serbia dan ibu seorang Kroasia, memanfaatkan libur natal dan tahun baru untuk mendatangi rumah masa kecilnya di Borovo, perbatasan antara Kroasia dan Serbia. Rumah yang terakhir kali dilihatnya 24 tahun yang lalu. Dalam foto, Mihajlovic mengenakan topi dan kacamata, mungkin agar tidak terlalu mencolok dan mudah dikenali, sehingga ia bisa meresapi betul momen nostalgia yang berharga ini, sebelum kembali ke kota mode metropolitan untuk dituntut memberi hasil dari investasi besar 150 juta euro (and still counting).

Mihajlovic dikenal sebagai pemain yang keras ketika masih bermain. Namun di luar lapangan, ia adalah pribadi yang berbeda. Jonathan Wilson, penulis buku Behind The Curtain, Travels in Eastern European Football, pernah menceritakan seklumit masa lalu dan awal karir bermain Mihajlovic di situs media Guardian sekitar tahun 2013. Dalam tulisannya yang begitu kaya data, tidak bias seperti fanboy, dan penuh dengan cerita yang jarang dibicarakan orang ini, Wilson menceritakan bahwa perang saudara di kawasan Balkan pada awal 90an banyak berpengaruh pada kepribadian dan gaya main Mihajlovic, dan bukan tidak mungkin, gaya melatihnya kini. "Ia adalah murid yang pandai ketika di sekolah. Selalu duduk di kursi paling depan," ujar guru sejarah sekaligus pelatih tim sepak bola sekolahnya. Seorang temannya juga menambahkan tentang sisi kompetitif Mihajlovic yang membuatnya selalu ingin memenangi pertandingan olahraga yang diikuti, meskipun tetap cemerlang di pelajaran sastra Serbia-Kroasia.

Bagi seseorang dengan latar belakang seperti ini, menghadapi presiden klub yang begitu demanding dan kadang megalomania seperti Silvio Berlusconi mungkin saja tidak sebanding dengan situasi perang. Namun Mihajlovic tentu mahfum bahwa menggigit tangan orang yang memberi kita makan adalah perbuatan tak berkelas yang tidak tahu diuntung.

Berlusconi, di sisi lain adalah sosok presiden klub yang jika dibolehkan akan bersedia duduk di bangku cadangan tim untuk meneriaki pemain-pemainnya, bahkan akan mengambil tendangan penalti sendiri untuk Milan. Berlusconi sudah sering mengatur dan mendikte pelatih-pelatih Milan sebelumnya, mendatangi mereka pada jeda pertandingan, dan merobek selembar buku jurnalnya untuk menulis taktik yang diinginkan dan siapa yang harus bermain dan tidak boleh bermain. 

Mengritik mereka di media juga bukan hal luar biasa baginya, termasuk untuk Mihajlovic. Tanyakan saja hal ini kepada Zaccheroni, yang ia sebut sebagai seorang penjahit yang tidak mampu mengolah bahan bermutu tinggi, atau bagaimana ia menyuruh Ancelotti untuk memainkan dua penyerang ketimbang memainkan Rui Costa dan Seedorf di belakang Shevchenko, meski formasi pohon natal Carletto memenangkan banyak pertandingan penting.

Mihajlovic tentu sudah melakukan segala yang ia mampu. Datang dengan diwarisi skuat dengan mentalitas loyo yang dijangkiti krisis kepemimpinan dan mudah puas, hingga saat ini setidaknya ia telah menciptakan lini belakang temporer yang cukup menjanjikan dan lini tengah yang mau bertarung. Jangan lupa, Milan juga amat mungkin menembus final Coppa Italia karena di babak perempat final ‘hanya’ perlu menyingkirkan Carpi untuk bertemu salah satu di antara klub divisi di bawah mereka, Spezia dan Alessandria di babak semi final.

Namun Berlusconi tetap Berlusconi. Jangan sesekali berbicara taktik dengannya, apalagi menguliahi bagaimana cara mengelola klub sepak bola. Suka atau tidak, torehan gelar liga domestik dan kontinental adalah pencapaian tak terbantahkan yang menjadikannya salah satu presiden klub sepak bola tersukses sepanjang masa, yang menjadikan namanya pantas diabadikan menjadi nama stadion Milan. Apalagi intuisinya dalam menunjuk pelatih. Siapa yang begitu visioner menunjuk Arrigo Sacchi hingga pelatih ini kemudian menjadi salah satu yang tersukses di Eropa pada masa jayanya, dan siapa yang memulai era sugar daddy sepak bola ini jika bukan Milan tahun 90an? 

Sejak awal, Mihajlovic memang bukan pilihan utama untuk melatih Milan. Kedatangan Ancelotti, Emery atau Conte lebih diharapkan. Bahkan Sarri lebih dulu disebut-sebut sebelum pilihan dijatuhkan pada Mihajlovic. Sebagai pilihan kesekian, memang akan lebih mudah bagi Berlusconi untuk mengkritisi sang pelatih ketika satu-dua kekalahan didapat, dan para pemain terlihat begitu sulit mengalahkan lawan yang lebih lemah. Berlusconi tetap bersikukuh bahwa membongkar pasang skuat dan menggonta-ganti pelatih adalah solusi tepat guna yang akan segera membawa Milan kembali pada era kejayaan Sacchi, Capello atau Ancelotti.

Meski baru menjalani seperempat jalan dari kontrak dua tahun yang ditandatangani, pekerjaan Mihajlovic seperti sudah dicap gagal. Milan masih menyebut-nyebut nama Conte, Emery dan yang terbaru adalah Di Fransesco untuk menangani Milan mulai musim depan. Mihajlovic seperti hanya diperlakukan sebagai batu loncatan pengisi kekosongan sebelum Milan mendapatkan pelatih yang benar-benar diinginkan. Terlebih Mihajlovic bukan legenda Milan seperti halnya Seedorf dan Inzaghi, maka memecatnya tidak akan memberi tanggung jawab moral berlebih, bukan? 

Sayangnya bagi Mihajlovic, jadwal berat telah menanti. Setelah Bologna pada pembukaan tahun, Roma, Fiorentina, Empoli dan Inter Milan telah menanti di Seri A, dan Carpi telah menunggu di perempat final Coppa Italia pada pertengahan bulan. Januari bukanlah bulan bersahabat bagi Milan tahun lalu. Ketika itu di bawah Inzaghi, Milan menutup tahun dengan menahan imbang Roma di Olimpico dan mengalahkan Real Madrid dalam laga uji coba di Dubai, namun kemudian Milan mengalami tiga kekalahan dari empat laga Seri A pada Januari 2015 atas Sassuolo, Atalanta dan Lazio. 

Kekalahan ini meredupkan momentum positif yang akhirnya menggelincirkan mereka dari papan atas hingga akhir musim. Padahal Milan mendatangkan cukup banyak pemain pada winter transfer seperti Salvatore Bocchetti, Gabriel Paletta dan Alessio Cerci. Musim ini juga begitu, bukan? Sudah datang para pemain di musim panas dan dingin, kok masih gagal juga? Pecat saja pelatihnya. Siklus ini masih akan berjalan entah sampai kapan.

Sudah empat pelatih menangani Milan sejak tahun 2012, dan para fans akan lebih mudah mencari-cari kesalahan dan kelemahan pelatih-pelatih malang itu, ketimbang berpikir bahwa permasalahan yang lebih besar berada pada bagaimana klub ini dijalankan. Bagi Mihajlovic, tidak ada pilihan selain memaksimalkan 'Kevin-Prince Boateng yang akan membantu di banyak area' dan 'kembalinya Balotelli dan Menez bagai mendapat pemain baru'.

Saturday, December 26, 2015

AC Milan: Review Tahun 2015

Barbara-Galliani (photo from Bola.net/Ansa)

Begitu banyak perubahan terjadi kepada Milan sepanjang tahun 2015 ini, baik di dalam maupun luar lapangan. Reputasi klub berjuluk Rossoneri makin menukik lantaran absen dari kompetisi antarklub Eropa selama dua musim beruntun. Logikanya, dengan reputasi yang semakin terkikis, maka sponsor akan lebih sulit merapat dan pemain-pemain berkualitas akan sulit diboyong ke kubu San Siro, yang tentu saja akan membuat kesebelasan dengan akar Inggris ini makin terpuruk.

Namun klub sepak bola tidak dibangun hanya dalam satu dekade terakhir saja. Milan beruntung masih tidak malu-maluin jika dibicarakan sejarahnya, meskipun penggemar bola kekinian bakal menertawakan hal ini karena ketidaktahuan. Bagaimanapun, Presiden Silvio Berlusconi menghentikan pestanya, lalu bangkit dari sofa kulitnya yang empuk akibat geram menyaksikan sepak terjang klubnya. Ketiadaan Leonardo dan Ariedo Braida di kursi direksi, meski akan enggan diakui, menyisakan bentang kompetensi yang menganga.

Kolaborasi antara sang putri, Barbara, dengan sang tangan kanan Adriano Galliani, dinilainya belum saling mengisi. Barbara mengurusi bisnis, yang proyek besarnya adalah pembangunan stadion baru. Sementara Galliani, dengan pengalaman segudang di jendela transfer mengurusi rekrutmen pemain. Namun, tindak-tanduk Silvio kemudian meninggalkan tanda tanya, alih-alih pujian. Proyek pembangunan stadion baru sedianya bagai oase di tengah padang pasir batal akibat harga yang dianggap terlalu mahal dan ketidaksepakatan dengan Fondazione Fiera, pihak yang memiliki lahan di kawasan Portello.

Dari sisi finansial, alasan batalnya proyek ini memang patut dipertanyakan. Biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur merupakan pos yang dikecualikan dari koreksi UEFA Financial Fair Play. Mungkin saja pertimbangan Berlusconi adalah ketersediaan cash flow dan hutang yang akan semakin membengkak, dan pastinya para analis keuangan atau konsultan yang dipekerjakan untuk melakukan financial due diligence sudah menghitungnya dengan akurat.

Barbara Berlusconi, sang project leader pun meradang. “Seharusnya proyek stadion ini menjadi langkah besar bagi Milan. Namun akhirnya klub memutuskan untuk bertahan di San Siro. Sangat disayangkan. Mendekorasi ulang San Siro tentu lebih sulit ketimbang membuat stadion baru,” ujarnya. Memang mengherankan, pembatalan ini terjadi setelah proyek dikerjakan Barbara selama dua tahun.

Peralihan kepemilikan juga urung terjadi hingga detik ini. Negosiasi dengan Bee Taechaubol, orang yang ditunjuk oleh sebuah konsorsium dari Asia sebagai perwakilan, masih belum menemui titik terang. Tuntutan harga 480 juta euro sebagai ganti 48% saham Rossoneri sepertinya sulit dipenuhi (atau dianggap terlalu mahal) bagi konsorsium ini, padahal Berlusconi sudah keukeuh dengan harga ini. Pendukung pun sudah mempertanyakan kedalaman kantong dari konsorsium Asia ini.

Berlusconi pun akhirnya kembali menyuntikkan dana besar di bursa transfer sebelum Milan terpuruk semakin dalam. Sebesar 150 juta euro dikeluarkannya untuk membenahi skuat Milan yang memang sudah terlalu medioker dalam tiga musim terakhir. Hasilnya, pemain seperti Carlos Bacca, Andrea Bertolacci dan Alessio Romagnoli hadir. Ketiga pemain ini didatangkan dengan total harga 75 juta euro untuk memenuhi kebutuhan dari pelatih baru, Sinisa Mihajlovic.

Namun hasil-hasil di lapangan masih belum mencerminkan keberhasilan dari investasi besar Berlusconi. Posisi Milan di klasemen masih di bawah tiga besar, dan kekurangan masih terlihat jelas di sana-sini. Milan masih terlihat sulit mengalahkan lawan yang menumpuk pemain-pemainnya di kotak penalti, juga kerap gagal mempertahankan keunggulan. Akibatnya, Milan masih menderita kekalahan dari tim seperti Genoa, juga hanya mampu meraih hasil imbang melawan Atalanta, Carpi dan Hellas Verona. Melawan tim-tim besar seperti Inter, Juventus dan Fiorentina, Milan juga menderita kekalahan.

Kemajuan Yang Mulai Dirasakan
“Saya sudah mengeluarkan 150 juta euro, tapi Milan masih sulit menang. Saya marah, memangnya Anda tidak?”

Pernyataan keras Berlusconi ini tentu saja menyudutkan Mihajlovic. Padahal jika melihat performa tim secara keseluruhan, Mihajlovic telah melakukan pekerjaannya dengan maksimal. Berikut beberapa di antaranya:

Pembelian Yang Membawa Hasil
Berlusconi perlu menyadari bahwa membutuhkan lebih dari satu jendela transfer dan uang 150 juta euro untuk merombak skuat yang terlalu medioker namun bergaji besar. “Bacca, Bertolacci dan Romagnoli memang berharga mahal, tapi ketiganya menjadi pemain penting sejauh ini,” ungkap Mihajlovic.

Ucapan yang tidak salah karena Bacca sudah mencetak 8 gol hanya dari 13 tembakan ke gawang musim ini. Bayangkan jika servis yang didapat penyerang Kolombia ini lebih baik. Bertolacci memang belum menjustifikasi harga 20 juta euro, namun dalam beberapa penampilan, produk asli AS Roma ini menambah kreativitas di lini tengah. Sementara Romagnoli telah menjadi bek tengah andalan meski usianya masih 20 tahun.

Keberhasilan pemain-pemain ini menjadi starter, bersama Juraj Kucka dan Luiz Adriano membuktikan bahwa pembelian pemain gratisan namun sudah tua dan habis hanyalah menumpuk masalah. Ada harga, ada rupa. Berlusconi tentu familiar dengan hal ini karena ketika datang kali pertama sebagai presiden, ia langsung mengeluarkan uang banyak untuk membeli trio Belanda yaitu Ruud Gullit, Marco Van Basten dan Frank Rijkaard. Begitu pula saat ia mendatangkan Andriy Shevchenko, Filippo Inzaghi Rui Costa dan Alessandro Nesta. Mereka semua memang mahal, tapi bersinonim dengan kejayaan.

Investasi sebesar 150 juta euro memang besar, namun jika dikatakan menyelesaikan semua masalah pun tidak. Setidaknya masih butuh tambahan beberapa pemain di lini belakang dan tengah untuk membawa tim ini sejajar dengan para penghuni papan atas. Dan tentu saja kesabaran untuk menjadikan pemain-pemain ini menyatu mendukung taktik Mihajlovic.

Penjualan Para ‘Dead Woods’
Di era Mihajlovic pula Milan berhasil memangkas pengeluaran gaji dan menyingkirkan pemain-pemain yang sudah ‘bagus banget ya enggak, tapi jelek banget ya enggak’ seperti Michael Essien, Sulley Muntari, Cristian Zaccardo, Daniele Bonera. Dalam beberapa bulan ke depan, kita mungkin tidak akan lagi melihat Cristian Zapata, Philippe Mexes, Antonio Nocerino, Jose Mauri, Alessio Cerci, Andrea Poli, Suso atau Nigel De Jong.

Bukan hanya mereka saja, posisi Keisuke Honda dan Diego Lopez pun terancam, meski performa mereka hanya cemerlang kalah dibanding pesaing mereka.

Penjualan atau pelepasan pemain-pemain ini bukan hanya memberi Milan tambahan pendapatan, tapi juga penghematan signifikan atas biaya gaji yang sudah membengkak dan merampingkan skuat yang sudah terlalu gemuk. Untuk tim yang tidak mengikuti kejuaraan Eropa, memiliki 28 pemain bagaikan pria lajang Jakarta membawa tiga koper pakaian hanya untuk menginap tiga hari di Lembang.

Bangkitnya Youth Project
Ketika Pippo Inzaghi menangani Milan musim lalu, sempat terpendar harapan akan diturunkannya pemain-pemain Primavera Milan, mengingat Inzaghi dipromosikan dari sana. Namun ironisnya, tidak ada satu pun pemain-pemain muda ini yang angkat nama di tim senior di bawah kepemimpinan Pippo. Saya bukannya ingin menyalahkan Pippo, karena mungkin tekanan besar untuk meraih hasil positif lah yang membawa pertimbangan Pippo untuk tidak menurunkan pemain-pemain muda yang dinilainya belum siap.

Namun di tangan Mihajlovic, youth project bukan sekadar wacana. Mihajlovic dengan berani menurunkan Davide Calabria beberapa kali di posisi bek kanan. M’baye Niang juga mulai menunjukkan kepercayaan diri dan ketajaman. Dan tidak lain, Mihajlovic berjasa besar dalam mempromosikan Gianluigi Donnarumma, kiper wonderkid berusia 16 tahun yang kini telah menjadi dagangan paling mahal dari Mino Raiola, sang super agen.

Tuesday, December 1, 2015

Ketika Paolo Rossi Berbaju Merah-Hitam

Paolo Rossi dalam Derby Della Madonnina, Photo: Wikipedia

Paolo Rossi dianggap sebagai salah satu penyerang terbaik yang pernah dilahirkan Italia. Berbicara karir klub, Rossi identik dengan Juventus, di mana ia berhasil membawa klub ini meraih beberapa trofi bergengsi. Selain Juventus, Vicenza juga menjadi klub yang kerap diasosiasikan dengannya karena di klub inilah ia bermain sebagai penyerang tengah untuk kali pertama.

Namun Rossi juga pernah bermain di Milan, yang secara historis merupakan rival dari Si Nyonya tua. Tidak banyak yang mengingat kisah Rossi saat berlabuh di San Siro, tepatnya tahun 1985, atau tiga puluh tahun silam untuk berbaju merah-hitam khas Milan.

Milan mengeluarkan 200 ribu lira untuk mendatangkannya, namun sayangnya kepindahan itu tidak menghadirkan cerita indah. Rossi yang kala itu berusia 29 tahun sudah melewati puncak permainannya, sementara Milan tengah mengalami fase kemunduran pasca pensiunnya sang legenda, Gianni Rivera tahun 1979. Pada periode ini, dua kali Rossoneri terdegradasi ke Seri B. Pertama, tahun 1980 karena terseret skandal judi Totonero dan yang kedua tahun 1982 akibat performa buruk.

Meskipun dapat segera kembali ke Seri A, namun status Milan saat itu tidak lebih dari kesebelasan medioker. Fulvio Collovati, bek lulusan akademi Milan yang juga menjadi anggota timnas Italia pemenang Piala Dunia 1982 bahkan memilih hengkang ke Inter pada tahun yang sama.

Rossi menghuni lini depan Rossoneri bersama Pietro Paolo Virdis dan penyerang asal Inggris, Mark Hateley. Di kesebelasan ini sebetulnya sudah bercokol pula nama-nama yang kelak menjadi tulang punggung Milan pada era selanjutnya, seperti Franco Baresi, Alessandro Costacurta, Alberigo Evani dan Paolo Maldini. Bagi Maldini, saat itu adalah musim debutnya memperkuat tim senior Milan.

Di bawah arahan pelatih yang juga legenda kesebelasan, Nils Liedholm, Rossi kerap dipasang bersama Hateley dan Virdis. Baik Hateley maupun Virdis memang cukup produktif dengan torehan masing-masing delapan dan enam gol pada musim tersebut. Rossi sendiri hanya mencetak dua gol saja, sebuah torehan yang tentu saja jauh dari kata memuaskan.

Meski demikian, terdapat sebuah momen yang patut diingat dari Rossi. Kebetulan bagi Milan, momen tersebut amatlah spesial, yaitu Derby Della Madonnina melawan rival besar lainnya, yaitu FC Internazionale pada 1 Desember 1985.

Sebelum pertandingan, suporter Milan mengkritik performa sang penyerang seraya bertanya “Di manakah Rossi yang menjadi bintang Piala Dunia?” imbas dari kemandulan Rossi di depan gawang lawan hingga sebelum derby berlangsung.

Namun tak disangka, Rossi yang masih dipercaya Liedholm, menjawabnya hanya lima menit setelah merumput di laga derby. Setelah bergerak diagonal dari sayap ke kotak penalti, Rossi menerima umpan tarik di posisi yang bebas. Tanpa ampun, penyerang kidal ini menjebol gawang Walter Zenga untuk membawa Milan unggul 1-0.

Inter memberi perlawanan sengit, hingga berhasil membalikkan kedudukan melalui Alessandro Altobelli dan Liam Brady. Namun ketika laga menyisakan satu menit, Rossi berhasil menyamakan kedudukan lewat gol yang mengingatkan publik pada gol ketiganya ke gawang Brasil di Piala Dunia 1982.

Sebuah clearance yang kurang sempurna dari bek Inter membuat bola jatuh di kaki gelandang Milan, Agustino Di Bartelomei. Tendangan keras Di Bartelomei mengarah kepada Rossi, yang berdiri membelakangi gawang. Bukannya menghindari bola, Rossi malah mengontrolnya lalu berbalik badan kemudian menembak. Gol yang “sangat Rossi” tercipta, dan Milan berhasil selamat dari kekalahan.

Ironisnya, dua gol tersebut menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir dipersembahkan Rossi untuk Milan, karena hingga akhir musim, penyerang yang pernah tersangkut skandal ini tidak kunjung menambah rekening golnya dan Milan menempati posisi ke-7. Pada akhir musim, Rossi hijrah ke Verona untuk menutup karir sepakbolanya.

Satu hal lagi yang lebih ironis, sepeninggal Rossi, datanglah seorang pengusaha bernama Silvio Berlusconi yang membeli Milan. Dan seperti diketahui, kedatangan Berlusconi mengawali sebuah era baru bagi kesebelasan ini. Memang amat disayangkan jika pemain dengan reputasi setinggi Rossi gagal menjadi bagian dari kesuksesan Milan di bawah rezim Berlusconi.

Namun demikian, Rossi yang kini menjadi salah satu pundit sepakbola Italia masih menyebut-nyebut nama dari mantan klubnya ini. Misalnya saat bursa transfer musim panas ini resmi ditutup, Rossi menyebut Milan tidak memiliki ambisi untuk memenangi scudetto. Komentar ini diberikan menyusul kegagalan Milan mendatangkan pemain berkualitas untuk membenahi lini tengah. Sebuah kisah yang telah tertulis, bagaimanapun baik dan buruknya, entah singkat atau lama, tetaplah tidak bisa terhapus.

Satu setengah dekade kemudian, kisah Rossi ini diikuti oleh seorang penyerang bernama Gianni Comandini. Penyerang kelahiran 1977 ini bermain di Milan pada musim 2000-2001. Seperti halnya Rossi, Comandini juga sempat bermain di Vicenza. Kedatangannya ke Milan disambut dengan harapan tinggi seperti Rossi, karena musim sebelumnya, Commandini berhasil mencetak 20 gol dari 34 pertandingannya di ajang Seri B.

Sayangnya, Comandini juga gagal memenuhi ekspektasi. Ia kalah bersaing dengan Andriy Shevchenko, Oliver Bierhoff dan bahkan Jose Mari. Mengikuti jejak Rossi, Commandini juga hanya berhasil mencetak dua gol, dan secara kebetulan juga dicetak ke gawang Inter pada ajang Derby Della Madonnina.

Baik Rossi maupun Comandini mungkin tidak terlalu diingat oleh Milanisti karena selain jumlah gol yang minim, mereka juga tidak memberikan kontribusi berupa trofi. Namun setidaknya, keduanya akan selalu mendapat tempat tersendiri karena keberhasilan mereka mencetak dua gol ke gawang klub yang memang menjadi rival besar.

Thursday, November 19, 2015

Roberto Rosato, ‘Kembaran’ Tak Kalah Hebat Dari Gianni Rivera

Rivera dan Rosato. Photo from magliarossonera.it

Roberto Rosato adalah salah satu dari sekian bek legendaris yang pernah dimiliki Milan. Ia bermain di skuat Merah-Hitam tahun 60 hingga 70an dan turut menjadi bagian dari kejayaan Milan pada era tersebut. Tanggal lahirnya sama dengan legenda Milan lain yang lebih populer, Gianni Rivera. Meski Rivera lebih banyak diingat, namun kontribusi seorang Rosato tidak dapat dilupakan begitu saja.
***

Semifinal Piala Dunia 1970 mempertemukan Italia dengan Jerman Barat. Pemenang pertandingan ini akan menghadapi salah satu di antara Brasil atau Uruguay. Sudah pasti nantinya akan terjadi duel klasik antara dua kutub, yaitu Eropa dengan Amerika Selatan di final Piala Dunia 1970. Aroma rivalitas juga makin kentara karena Brasil, Uruguay dan Italia kala itu sama-sama telah merebut dua gelar juara. Artinya, siapa pun yang keluar sebagai juara, akan menyimpan trofi Jules Rimet.

Pertandingan Italia melawan Jerman memasuki babak perpanjangan waktu setelah dalam waktu 90 menit kedudukan masih 1-1. Pada saat itu, babak adu penalti belum diperkenalkan di Piala Dunia, sehingga kedua kesebelasan sama-sama mengerahkan kemampuan untuk mencetak gol pada babak perpanjangan waktu ini.

Hasilnya, lima gol tercipta di babak ini, hingga kini satu-satunya yang terjadi dalam sejarah Piala Dunia. Jerman Barat mencetak dua gol dan Italia mencetak tiga gol. Dalam laga yang kemudian dikenang sebagai Match of the Century ini, seorang gelandang serang elegan bernama Gianni Rivera menjadi bintang. Masuk sejak menit 46 menggantikan Sandro Mazzola sebagai bagian dari taktik staffetta pelatih Ferruccio Valcareggi, Rivera berperan langsung dalam terciptanya dua gol pada babak perpanjangan waktu yang membawa Italia ke babak final.

Sayangnya, Italia tampil antiklimaks di final melawan Brasil yang begitu perkasa di bawah pimpinan Pele. Rivera juga secara mengejutkan baru diturunkan pada akhir-akhir pertandingan.

Rivera memang memiliki nama harum di persepakbolaan Italia. Meski tidak menyumbang gelar Piala Dunia untuk Gli Azzurri, namun Rivera adalah pemain Italia kedua yang memenangkan gelar Ballon D’or tahun 1969 setelah Omar Sivori meraihnya tahun 1961. Ia juga membawa timnas Italia menjuarai Piala Eropa tahun 1968, gelar juara kontinental yang hingga kini menjadi satu-satunya milik Gli Azzurri.

Rivera menghabiskan sebagian besar karirnya di Milan. Dengan sumbangan tiga scudetto plus dua European Cup (sekarang Liga Champions), tidak mengherankan jika nama Rivera diabadikan dalam Hall of Fame, sebuah penghargaan bernilai abadi atas segala kontribusinya kepada MIlan. Ketika Rivera berulang tahun ke-72, 18 Agustus 2015 lalu, Milan melalui situs resmi www.acmilan.com mengucapkan selamat ulang tahun kepada legendanya itu.

Namun ternyata ucapan selamat ulang tahun pada hari itu tidak diberikan kepada Rivera seorang. Seperti diceritakan di awal, terdapat satu nama yang memiliki hari kelahiran identik dengan Rivera, yaitu Roberto Rosato. Tidak hanya tanggal lahir yang sama, kedua pemain juga lahir di tahun yang sama. Meski lahir dari orang tua yang berbeda, namun kesamaan ini menyebabkan keduanya kerap dipanggil Si Kembar.

Adalah takdir yang mempertemukan keduanya bermain di skuat Milan dan timnas Italia. Pelatih legendaris Nereo Rocco berandil besar untuk itu. Rocco, yang sempat melatih Torino pada tahun 1963 hingga 1967 melihat potensi besar pada diri Rosato, yang berposisi sebagai pemain belakang. Kepercayaan Rocco itulah yang membuat kemampuan Rosato berkembang sebagai bek andalan Il Toro hingga akhirnya terpilih memperkuat timnas Italia tahun 1965, lalu terpilih dalam skuat yang bertanding di Piala Dunia 1966.

Selepas Piala Dunia 1966 itulah Rosato hijrah ke Milan dan bersatu dengan ‘saudara kembarnya’, Rivera. Rosato lantas didapuk sebagai penerus Cesare Maldini sebagai pemimpin lini belakang Rossoneri. Uniknya, Maldini mengambil jalan sebaliknya dengan pindah ke Torino untuk bereuni dengan Rocco. Cerita unik kembali berlanjut karena setahun kemudian Maldini pensiun, dan Rocco kembali melatih Milan dan bereuni dengan Rosato.

Dalam musim debutnya, Rosato membentuk lini pertahanan tangguh bersama Karl-Heinz Schnellinger, bek asal Jerman. Musim pertamanya di San Siro diwarnai raihan gelar Coppa Italia. Namun dua tahun berturut-turut setelahnya-lah yang mengukir nama Rosato abadi dalam sejarah Rossoneri. Musim 1967-68, Rosato berperan besar membawa Milan meraih gelar scudetto dan Piala Winners Eropa, sementara semusim kemudian, Rosato ikut mengantar Milan meraih European Cup.

Penampilan fisik Roberto Rosato berbanding terbalik dengan apa yang ditunjukkannya di lapangan. Ia memiliki wajah tampan, namun ketika bermain, ia amat garang dan keras. Karakternya di lapangan sedikit mengingatkan pada sosok oriundo pemain bertahan timnas Italia pada periode 1930an, Luis Monti. Rosato juga dapat bermain di posisi gelandang bertahan, serupa dengan kemampuan yang dimiliki Monti. Kemampuan memerankan beberapa posisi ini juga menunjukkan Rosato memiliki visi dalam bermain.

Rosato jugalah yang menjadi tulang punggung lini belakang timnas Italia di dua Piala Dunia, 1966 dan 1970. Di lini belakang timnas, Rosato bahu membahu dengan rivalnya dari Inter, Tarcisio Burgnich. Keduanya berperan besar membawa Italia meraih gelar Piala Eropa tahun 1968 dan menjadi runner-up Piala Dunia 1970.

Duet Rosato bersama Burgnich di lini belakang, juga mengiringi dominasi Milan-Inter lainnya di skuat timnas Italia. Seperti diketahui, dua kesebelasan itu memang berjaya pada masa 60an dan 70an. Pada Piala Dunia 1970, duet Milan-Inter bahkan bisa dilihat di seluruh lini. Selain Rosato-Burgnich, ada pula Rivera-Mazzola di tengah dan Prati-Boninsegna di lini depan.

Pengakuan akan kehebatan Rosato mungkin tidak terdengar senyaring yang diterima sang kembaran, Rivera. Namun hal ini bukan berarti ia tidak termasuk dalam jajaran pemain-pemain terbaik yang pernah dilahirkan Italia. Bagi Milan sendiri, Rosato telah berhasil meneruskan kehebatan Cesare Maldini dalam memimpin lini belakang. Secara total, Rosato memperkuat Milan dalam 187 laga selama tujuh tahun.

Bukan hanya itu, Rosato juga turut dijadikan patokan dalam menilai apakah bek-bek Milan berikutnya patut disebut sebagai pemain besar, karena pada era sesudahnya, nama Fulvio Collovati didengungkan sebagai penerus dari Rosato. Seperti diketahui, Collovati adalah pemain belakang lulusan dari akademi Milan yang kemudian turut menjadi andalan Rossoneri sekaligus timnas Italia.

Bukan hanya sekali-dua kali memperkuat Gli Azzurri, namun Collovati adalah anggota inti dari tim yang memenangi Piala Dunia 1982. Hebatnya lagi, Collovati mampu meyakinkan pelatih Enzo Bearzot untuk memasangnya sebagai bek inti meski ketika itu lini belakang Gli Azzurri didominasi bek-bek tangguh Juventus seperti Claudio Gentile, Antonio Cabrini dan Gaetano Scirea.

Rosato memang telah meninggal dunia pada bulan Juni tahun 2010 lalu. Namun sosoknya tidak akan pernah hilang dari ingatan sebagai bagian dari tradisi Milan, yang menjadi tempat kelahiran sekaligus rumah bagi bek-bek berkelas dunia.

Tuesday, November 17, 2015

Perjalanan Karir dan Warisan Johan Cruyff Untuk Sepak Bola

Johan Cruyff. Photo from jotdown.es

(Entri ini menulis ulang dan mengedit seperlunya salah satu tulisan saya dari buku The Legends, Pesepak Bola Terbaik Dunia Yang Pernah Ada; Aditya Nugroho, Arsyad M. Fajri, M. Rezky Agustyananto, Mahir Pradana; Salaris Publisher, 2014)

Hendrik Johannes Cruyff lahir pada 25 April 1947, ia adalah anak dari seorang ayah bernama Hermanus dan ibu bernama Petronella. Cruyff lahir di bagian timur Amsterdam, ibukota Belanda. Seakan mengikuti jejak para seniman dan artis kelahiran kota ini, Cruyff kelak juga dikenang sebagai seniman sepak bola papan atas.

Cruyff sudah menyukai sepak bola sejak kecil. Idola masa kecilnya adalah Servas ‘Faas’ Wilkes, pemain nasional Belanda era 40 hingga 50an. Wilkes adalah seorang penyerang subur Belanda yang karirnya membentang dari klub Xerxes Rotterdam, Internazionale Milan, Torino, hingga ke Spanyol bersama Valencia. Wilkes juga merupakan pencetak gol terbanyak tim nasional Belanda saat itu dengan catatan 35 gol sebelum rekor tersebut dipecahkan oleh Patrick Kluivert dan Robin Van Persie.

Kesedihan melanda Cruyff saat sang ayah meninggal akibat serangan jantung. Saat itu usianya masih 10 tahun. Ibunya yang tak sanggup membuka toko seorang diri akhirnya mencari pekerjaan baru, dan ia mendapatkannya di Ajax sebagai petugas pembersih. Cruyff pun menjalani masa-masa remajanya tanpa didampingi sosok ayah. Namun justru dari peristiwa inilah mentalnya terasah.

Cruyff bermimpi untuk menjadi pesepakbola seperti Wilkes. Bakat besar Cruyff tercium oleh tim pemandu bakat Ajax, yang kemudian menariknya. Cruyff menjalani kehidupan yang berat sebagai anak-anak. Sekolah di pagi hari, berlatih di sore hari dan membantu ibu di sela-sela waktu. Ia juga amat belajar banyak soal kedisiplinan dari hal ini.

Ajax memang dikenal sebagai klub yang sejak lama memperhatikan betul akademi mereka. Bakat besar Cruyff tercium lantaran para pelatih Ajax yang kala itu kebanyakan berasal dari Inggris meluangkan banyak waktu untuk menyaksikan perkembangan pemain-pemain mudanya. Para staf pelatih itu menginginkan pemain muda mereka bermain layaknya tim senior yang atraktif, banyak menekan lawan dan lihai dalam menguasai bola. 

Perjalanan Karir Sebagai Pemain
Cruyff tumbuh sebagai remaja bertubuh tinggi dan berkaki panjang. Rambutnya bergaya shaggy alias dibiarkan panjang natural tanpa ditata secara berlebihan. Cruyff juga amat pintar berbicara, melambangkan kecerdasan dan wawasannya yang luas. Kala diwawancarai wartawan, tata bahasanya amat runtut, sistematis, filosofis dan elegan.

Cruyff adalah sosok yang tahu betul yang ia mau, dan tahu cara meraihnya. Filosofi sepak bola di kepalanya makin melekat kala ia ditugasi sebagai ball boy dalam pertandingan final European Cup antara Benfica melawan Real Madrid. Cruyff yang saat itu baru berusia 15 tahun berdecak kagum menyaksikan pemain-pemain seperti Eusebio dan Di Stefano. Mereka berdua adalah pemain yang amat cerdas dengan menggabungkan skill tinggi dan pergerakan yang tak terlacak bek lawan. Sebuah pemandangan yang menginspirasi Cruyff muda.

Cruyff mendapatkan kesempatan melakoni debut tim senior Ajax Amsterdam delapan tahun setelah bergabung atas rekomendasi Vic Buckingham, pelatihnya asal Inggris saat itu. Dalam debutnya menghadapi GVAV tersebut, ia langsung mencetak gol namun sayang Ajax harus menyerah 1-3. Dalam musim perdananya ini, prestasi Ajax tidaklah memuaskan dan harus menduduki posisi 13, atau salah satu peringkat terendah sepanjang sejarah. Cruyff sendiri membukukan 4 gol dalam 10 laga yang ia lakoni musim itu. Bukanlah pencapaian buruk bagi seorang pemain muda.

Namun musim berikutnya Cruyff membawa Ajax pada fase kebangkitan. Lewat sumbangan 16 golnya, Ajax berhasil merebut gelar Eredivisie pertama mereka dalam lima tahun. Semusim berselang, Cruyff memenangi gelar topskor Eredivisie dengan torehan 33 gol dari 30 laga. Total, Cruyff mencetak 41 gol dari 41 laga di semua ajang dan membawa Ajax kembali meraih titel domestik.

Kejayaan di level domestik kemudian menular ke Eropa. Yang paling dikenang tentu saja tiga gelar beruntun European Cup (sekarang Liga Champions) tahun 1970 hingga 1972 yang membuat mereka menyamai prestasi Real Madrid tahun 50an kala Di Stefano dan Puskas menjadi andalan. Pencapaian ini sekaligus menjadikan Ajax dianugerahi penghargaan abadi Badge of Honour, sebuah penghargaan bagi klub yang mampu merebut tiga gelar beruntun European Cup atau mengumpulkan minimal lima gelar secara total. Hingga kini, baru lima klub yang memperoleh kehormatan itu, yaitu Real Madrid, Bayern Muenchen, Liverpool, AC Milan dan Ajax.

Tak pelak, Ajax era 70an adalah salah satu tim yang layak disebut terbaik sepanjang masa. Menggabungkan permainan atraktif dengan dominasi absolut atas lawan dan menguncinya dengan kemenangan menandai sebuah filosofi baru dalam dunia sepak bola, yang kemudian dikenal sebagai Total Football. Ajax yang saat itu dimotori oleh Cruyff bersama Barry Hulshoff, Henk Groot, Sjaak Swart, Bennie Muller, Wim Suurbier dan Piet Keizer adalah tim impian.

Penghargaan individual pun tak lepas dari genggaman Cruyff. Ia adalah pemain Belanda pertama yang menyabet gelar Ballon d’Or saat pertama kali merengkuhnya tahun 1970. Ia kelak meraih Ballon d’Or sebanyak tiga kali, di mana sampai saat ini hanya empat pemain yang pernah mencapainya. Cruyff bersama Michel Platini dan Marco Van Basten adalah peraih tiga kali Ballon d’Or sebelum Lionel Messi memecahkan rekor mereka setelah meraih gelar keempat tahun 2012.

Gelar topskor liga Belanda juga didapat Cruyff musim 1971/1972, termasuk topskor European Cup tahun yang sama saat mereka menjuarai ajang tersebut. “Kami tidak memiliki kesempatan. Johan Cruyff sangat luar biasa.” Ujar salah seorang suporter Panathinaikos, klub yang dikalahkan Ajax pada final European Cup tahun 1971 seperti dikutip dalam buku The Brillian Orange, The Neurotic Genius of Dutch Football karya David Winner.

Winner menambahkan bahwa setahun berselang, Arsenal yang kala itu merajai sepak bola Inggris pun dibuat tak berdaya di tangan Ajax di bawah pimpinan Cruyff. Winner mengutip perkataan komentator radio BBC dalam pertandingan itu. “Arsenal bertanding melawan tim yang jauh lebih kuat dan modern, dan sebagai pemain, Cruyff telah berada di level yang jauh berbeda dengan pemain-pemain Arsenal.

Kegemilangan Cruyff juga diakui hingga seantero Eropa, dan saat itu dua klub besar Spanyol, Real Madrid dan Barcelona meminatinya. Karena ketidaksukaannya pada rezim diktator Jenderal Franco yang sering diasosiasikan dengan Madrid, tahun 1973 Cruyff memilih Barcelona meski Madrid rela membayar lebih mahal. Cruyff pun pindah dengan nilai transfer 900 ribu pound, sebuah rekor saat itu. Sebuah pilihan yang mulai memperlihatkan kepada dunia tentang sisi lain Cruyff, yang amat keras hati dan teguh memegang prinsip.

Bergabung kembali dengan pelatih favoritnya, Rinus Michels, Cruyff tidak menjalani awal harinya di Camp Nou dengan mudah. Saat Cruyff datang, kompetisi telah dimulai dan Barca tengah terpuruk. Namun kedatangannya memberi dampak luar biasa dengan membawa tim ini bangkit. Penampilan memukau Cruyff bahkan membawa kemenangan 5-0 atas Madrid di Santiago Bernabeu, sebuah kemenangan tak terlupakan. Di akhir musim, Barcelona akhirnya keluar sebagai juara.

Setelah menjalani lima musim yang berkesan di Barcelona, Cruyff hijrah ke utara Amerika untuk bermain di kompetisi NASL (North American Soccer League) bersama klub Los Angeles Aztecs. Di usianya yang sudah 32 tahun, ia masih mampu bermain baik, bahkan terpilih sebagai Most Valuable Player (MVP).

Cruyff menghabiskan setahun berikutnya masih di Amerika Serikat, kali ini bersama klub Washington Diplomats. Ia sebetulnya bisa bertahan lebih lama, namun cedera yang menimpa pada awal musim kedua membuatnya memutuskan hengkang. Ia lantas kembali ke Spanyol untuk bermain di divisi dua bersama Levante.

Pilihannya bermain di Levante ternyata kurang menguntungkannya, meski Levante berada di Spanyol, tanah yang ikut membesarkan namanya. Ketidakcocokan dengan manajemen membawanya hengkang, dan akhirnya tahun 1982 pulang ke Belanda, ke klub tempatnya memulai karir, Ajax. Kali ini, Cruyff juga merangkap sebagai penasihat pelatih saat itu, Leo Beenhakker dan juga sebagai pemain.

Sihir Cruyff di lapangan masih ada. Yang paling ternama jelas tendangan passing penalty yang ia ambil saat bertanding melawan Helmond Sport. Bukannya menendang langsung, Cruyff mengoper bola dengan pelan kepada rekannya Jesper Olsen. Olsen yang bergerak cepat lantas memancing kiper Otto Versfeld untuk menghadangnya, namun sebelum itu terjadi, Olsen mengembalikan bola kepada Cruyff yang langsung menceploskan bola ke gawang kosong.

Dua dekade setelah kejadian ini, Robert Pires, pemain sayap elegan Arsenal berniat meniru apa yang Cruyff lakukan bersama Olsen. Bermaksud mengoper kepada Thierry Henry, Pires justru luput menendang bola dengan benar, sehingga ia malah dinyatakan melakukan pelanggaran. Ya, ternyata melakukan sebuah simple passing yang presisi tidak semudah itu, bukan?

Sudah sepantasnya seorang legenda menghakhiri karir bersama klub yang membawanya mengawali karir. Cruyff pun inginnya menjadikan Ajax sebagai pelabuhan terakhir karir sepak bolanya yang yang luar biasa. Namun apa mau dikata, Ajax enggan memperpanjang kontrak sang legenda hidup.

Cruyff membalasnya dengan tindakan yang amat menyakitkan pendukung Ajax sekaligus mencoreng muka direksi klub, yaitu dengan hijrah ke rival berat, Feyenoord Rotterdam. “Saat Amsterdam bermimpi, Rotterdam bekerja” sudah menjadi kalimat yang terkenal bagi warga Rotterdam kepada warga Amsterdam. Kedatangan Cruyff, dipandang mereka akan membuat Amsterdam (Ajax) hanya bisa bermimpi melihat kejayaan Rotterdam (Feyenoord) yang mulai bekerja.

Cruyff memainkan nyaris seluruh partai liga dan piala liga bersama Feyenoord yang saat itu juga diperkuat pemain berbakat, Ruud Gullit. Talenta besar Gullit berpadu dengan magis Cruyff akhirnya membawa kejayaan bagi Feyenoord. Pada akhir karirnya ini, Cruyff akhirnya membawa Feyenoord merebut gelar ganda. Gelar liga yang diraih Feyenoord ini juga menjadi yang pertama bagi mereka dalam satu dekade.

Bersama De Oranje
Meski kehebatannya sudah berkali-kali dipertontonkan di level klub, namun dunia baru benar-benar mengenal sosoknya saat ia memimpin 10 orang berseragam oranye lainnya dalam bendera negara Belanda. Wajar saja, saat itu jangkauan siaran langsung sepak bola belumlah seperti sekarang. Baru ajang antar negara macam Piala Dunia yang mendapat porsi perhatian dan peliputan yang besar.

Cruyff memulai debutnya bersama tim nasional Belanda tahun 1966. Dalam laga keduanya bersama tim nasional Belanda melawan Cekoslowakia, tempramen buruk Cruyff memberinya masalah. Cruyff dikeluarkan wasit lalu dihukum tidak boleh memperkuat tim nasional selama setahun. Ini adalah satu dari sekian kontroversi yang dilakukan sang legenda lantaran sikapnya yang blak-blakan.

Cruyff juga menunjukkan sikap pemberontaknya dalam hal kontrak profesional dengan penyedia peralatan olahraga. Tim nasional Belanda yang kala itu disponsori oleh produk Adidas tentu menggunakan seragam yang bercirikan merk raksasa tersebut. Cruyff, di lain pihak telah mengikat perjanjian eksklusif dengan rival Adidas, Puma. Dengan tegas, Cruyff menolak mengenakan jersey Belanda yang dihiasi tiga garis ciri khas Adidas. Sebagai gantinya, Cruyff ingin mengenakan jersey dengan versi hiasan dua garis.

Hal-hal tersebut tidak membuat Cruyff menyerah. Ia kemudian memimpin Belanda untuk lolos ke Piala Dunia 1974 yang berlangsung di Jerman. Di bawah kepemimpinan Cruyff sebagai kapten tim, Belanda yang saat itu tidak diperhitungkan justru tampil amat impresif. Sepanjang penyisihan grup, mereka berhasil mengukir dua kemenangan dan sekali hasil imbang untuk lolos ke babak penyisihan grup fase kedua.

Dalam grup yang berisi Jerman Timur, Argentina dan Brasil inilah Cruyff menunjukkan superioritas. Ia membawa Belanda menundukkan seluruh lawan, termasuk dua tim kuat Argentina dan Brasil. Dua jagoan Amerika Latin itu ditaklukkan Belanda dengan permainan yang amat mengagumkan, terutama dari Cruyff. Belanda kemudian melaju ke babak final menghadapi tuan rumah Jerman Barat, di mana mereka akhirnya menyerah dengan skor 1-2.

Meski gagal memberi gelar juara kepada negaranya, namun permainannya bersama tim nasional Belanda tak mungkin dilupakan begitu saja. Dengan kehebatannya itu, banyak yang lantas menyamakan kemampuannya dengan Pele, pemain terbaik yang terakhir mengikuti Piala Dunia tahun 1970.

 Selain tim nasional Hungaria tahun 1954, mungkin hanya tim nasional Belanda tahun 1974 ini yang ramai-ramai dinobatkan sebagai ‘juara tanpa mahkota’ berkat penampilan yang teramat memukau. Ini sekaligus mematahkan anggapan umum bahwa sejarah hanya mengingat tim pemenang saja.

Cruyff boleh jadi tidak pernah memberi trofi Piala Dunia kepada negaranya, namun visi dan filosofi yang dimiliki Cruyff adalah warisan yang berharga tidak hanya bagi tim yang pernah diperkuatnya, tapi untuk dunia sepak bola secara keseluruhan. Ia bermain dengan visi dan filosofi yang sudah diyakininya itu, dengan cara memainkan sepak bola yang sederhana. Sepak bola yang terlihat amat mudah dimainkan namun sebetulnya sangat sulit dimainkan.

Sistem Total Football dan Warisan Cruyff Kepada Sepak Bola
Seperti disinggung sebelumnya, Cruyff besar seiring kemunculan Total Football, dan tim nasional Belanda amat beruntung memilikinya sebagai pemain. Belanda semula bukanlah tim yang diperhitungkan pada Piala Dunia 1974 tersebut. Sebelum tahun ini, mereka tidak pernah melaju hingga babak final, apalagi juara. Kedigdayaan klub Ajax Amsterdam yang juga dipimpin Cruyff pada awal 1970 pun tidak serta merta menggiring opini publik untuk menjagokan Belanda.

Cruyff meraih berbagai prestasi di lapangan bersama pelatih yang dikenang sebagai pencetus Total Football, Rinus Michels. Di bawah asuhannya, Michels menginginkan tim dengan kemampuan teknis yang merata. Pergerakan pemain sungguh membingungkan lawan karena para pemain tidak memiliki posisi yang baku di lapangan. Mereka juga bergerak simultan dalam menyerang dan bertahan. Formasi juga kerap berubah dari W-M, 4-2-4 hingga 4-3-3 dengan transisi yang mengagumkan.

Ditambah lagi, mereka mengalirkan bola dengan sangat cepat, menerapkan perangkap offside, dan melakukan tekanan saat lawan menguasai bola. Inilah Total Football yang revolusioner yang saat itu amat sulit diantisipasi lawan. Menggabungkan permainan cantik dan dominasi total untuk merebut kemenangan, sebuah kriteria tim impian yang terpenuhi oleh tim ini, sekaligus menandai kelahiran filosofi baru dalam permainan sepak bola.

Filosofi sepak bola memang tidak melulu melahirkan hal yang benar-benar baru, begitu pun Total Football. Sebelum lahir tim Ajax asuhan Michels, Torino yang menguasai liga Italia tahun 40an juga dikenal memiliki permainan serupa. Dengan pola 4-2-4, mereka memainkan bola dengan amat cepat dan mendominasi lawan. Lalu satu dekade sebelumnya, ada The Wunderteam Austria asuhan pelatih legendaris Hugo Meisl yang mencapai babak semi final Piala Dunia 1934.

Rinus Michels amat mengandalkan Cruyff sebagai pemimpin tim meski usia Cruyff saat itu masih terbilang muda. Ia adalah pengejawantah Total Football yang sempurna, sehingga kerjasama antara mereka terjalin dengan amat baik.

Jika Total Football adalah sebuah sistem, maka Cruyff adalah inti dari sistem itu. Ia adalah sang Total Football. Ia mengatur permainan, melakukan terobosan, memberi umpan, mendistribusi bola dan tidak jarang mencetak gol. Cruyff sebetulnya bermain sebagai penyerang tengah dalam sistem ini. Namun ia kerap menjemput bola hingga jauh ke belakang dan kadang bergerak ke sayap. Saat itu, sangat jarang seorang penyerang bermain sepertinya.

Fakta yang makin menunjukkan kehebatan Cruyff dalam ajang Piala Dunia adalah bahwa ia hanya bermain dalam satu kejuaraan saja, yaitu 1974. Cruyff absen di Piala Dunia 1978 karena masalah non-teknis yang membuatnya mengambil sikap untuk tidak berangkat ke Argentina, tuan rumah saat itu.

Meski tanpa sang jenderal, Belanda kembali berhasil menembus babak final, namun lagi-lagi menyerah atas tuan rumah mengulangi cerita empat tahun sebelumnya. Banyak yang berpendapat jika Cruyff hadir maka bukan tidak mungkin Belanda yang akan merebut trofi Piala Dunia. Total, Cruyff tercatat membela Belanda sebanyak 48 laga dengan torehan 33 gol.

Selepas gantung sepatu, Cruyff pun menjadi pelatih. Karir manajerialnya sebetulnya sudah ia cicil sejak bermain di Ajax awal tahun 80an kala ia merangkap sebagai penasihat teknis pelatih Leo Beenhakker. Posisi pelatih kepala baru digenggamnya tahun 1985, juga di klub Ajax. Kelak, Cruyff meneruskan filosofinya dengan melahirkan kembali sistem Total Football.

Meski tidak serupa seperti saat ia bermain, namun sistem dasar berupa keberadaan tiga pemain belakang dinamis, seorang gelandang bertahan, dua orang gelandang tengah, dua penyerang sayap dan seorang penyerang tengah mampu menghadirkan masa kejayaan kembali bagi Ajax.

Cruyff mungkin hanya menyumbangkan dua Piala Belanda dan sebuah Piala Winners untuk Ajax, namun banyak pihak yang mengakui bahwa gelar Piala Champions yang didapatkan Ajax tahun 1995 adalah andil dari sistem yang diterapkannya.

Karir kepelatihan Cruyff merekah di Barcelona. Kembali menginjakkan kaki di Camp Nou tahun 1988, Cruyff turut mengambil manfaat dari akademi La Masia, sebuah akademi yang digagasnya kala ia masih bermain bagi El Barca tahun 1979 lalu. Pep Guardiola adalah salah seorang pemain lulusan La Masia yang kemudian menjadi bagian dari tim impian Barcelona bersama bintang-bintang seperti Jose Maria Bakero, Romario, Ronald Koeman, Michael Laudrup dan Hristo Stoitchkov.

Cruyff kemudian memenangi 11 trofi bersama Blaugrana, berupa 4 trofi La Liga, sebuah Copa Del Rey, sebuah Piala Winners, sebuah Piala Champions, tiga buah Piala Super Spanyol dan sebuah Piala Super Eropa. Torehan ini menjadikannya pelatih tersukses klub dari perspektif gelar sebelum dipecahkan Guardiola, mantan anak asuhnya dengan capaian 15 trofi. Pep sendiri mengakui bahwa kesuksesannya bersama Barca dengan permainan tiki-taka banyak diilhami oleh filosofi Total Football dan warisan akademi La Masia yang digagas Cruyff.

Berbagai aral merintangi perjalanan karir Cruyff sebagai pelatih. Kebiasaannya merokok membuatnya jantungnya harus dioperasi, meski kemudian Cruyff dapat melanjutkan karirnya. Sikap kerasnya kemudian menjadi penyebab rusaknya hubungan dengan presiden Josep Luis Nunez, yang akhirnya memecatnya tahun 1996. Sebuah akhir ironis dari dua orang yang sebelumnya berhubungan dengan amat baik.

Bagaimanapun, Cruyff dan Barcelona seperti berjodoh. Sejak pertama kali bergabung sebagai pemain, Cruyff seperti langsung terikat secara emosional tidak hanya dengan klub, namun juga wilayah Catalonia. Ia menamai anaknya Jordi, lafal Catalan dari George atau Jorge. Jordi sendiri kemudian tumbuh mengikuti jejak sang ayah dengan menjadi pesepakbola profesional. Ia sempat berkarir sebentar bersama Barcelona.

Salah satu prinsip Cruyff adalah kesederhanaan. Kesederhanaan dalam permainan bahkan mematahkan premis umum bahwa pemain sepak bola haruslah memiliki skill tinggi. Bagi Cruyff, skill tinggi yang berasal dari talenta memang perlu. “Namun talenta besar tidak akan berarti banyak jika sang pemain tidak mampu menjadi seorang pemain yang mampu bekerja dalam tim,” ujarnya.

Mereka (pesepakbola bertalenta tinggi) mampu melakukan apapun dengan bola di kaki mereka, namun semua percuma jika ia tidak piawai melepaskan sebuah umpan pendek sederhana dengan waktu dan kecepatan yang presisi dan tidak paham pergerakan kawannya. Pemain seperti ini, lanjutnya, “Hanya bermain dengan tujuan memampangkan kehebatan teknis yang mereka miliki, dengan kepentingan tim berada di bawah prioritas mereka.

Namun bukan berarti Cruyff tidak memiliki skill tinggi. Ia jelas memiliki kemampuan teknis mumpuni untuk menjadi pesepakbola hebat. Ia juga memiliki kecepatan, akselerasi dan gocekan yang sederhana namun efektif. Ingatkah pada gocekannya saat laga melawan Swedia tahun 1974 yang berakhir imbang tanpa gol itu? Gocekan yang lantas dikenal dengan nama Cruyff Turn itu dikenang sebagai salah satu pertunjukan skill terbaik sepanjang Piala Dunia berlangsung.

Warisan Kepada Dunia Sepak Bola
“Playing football is very simple, but playing simple football is the hardest thing there is.”

Sepak bola adalah olahraga yang sederhana, namun untuk memainkannya dengan sederhana adalah hal tersulit. Ungkapan di atas mungkin hanya sebaris panjangnya. Untuk diucapkan pun sangat mudah, tidak sampai harus berkali-kali mengambil nafas. Hanya ada sedikit jeda, tanpa ada rima, tanpa gaya bahasa yang berlebihan. Ya, barisan kata-kata dalam kalimat ini memang sesederhana maknanya. Namun untuk mewujudkannya adalah hal paling sulit.

Seorang pengajar yang baik adalah mereka yang mampu memilah kata-kata yang mudah dimengerti, menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana namun apa yang diajarkannya tepat sasaran, tidak lebih dan kurang. Presisi, tegas dan meluruskan. Perkataannya tidak menimbulkan multi tafsir dan misinterpretasi.

Kata-kata dalam kalimat sederhana tersebut terucap dari Cruyff, yang kelak bukan hanya dikenal sebagai salah satu pemain terbaik sepanjang masa, namun juga salah satu pelatih terbaik sekaligus aktor di balik kemunculan tim-tim terbaik dunia pada generasi setelahnya. Dari segala hasil karyanya itu, visi, kecerdasan dan keyakinan diri yang kuat adalah kunci keberhasilan seorang Johan Cruyff.

Dengan prinsip-prinsip dan visi inilah Cruyff mengarungi karirnya di sepak bola, baik sebagai pemain maupun pelatih.

Kalangan luas boleh jadi menganggap level Cruyff masih di bawah Pele dan Maradona dari sisi skill individu. Kehebatan Cruyff memang lebih menonjol dari visi dan kecerdasannya di lapangan. Namun dari segi pengaruh kepada permainan secara umum, perkembangan taktik, andilnya dalam pembentukan tim-tim hebat dunia, dan inspirasi yang diberikannya kepada generasi-generasi setelahnya, rasanya belum ada satu pun pesepakbola yang mampu menandinginya.