Paolo Rossi dalam Derby Della Madonnina, Photo: Wikipedia |
Paolo Rossi dianggap sebagai
salah satu penyerang terbaik yang pernah dilahirkan Italia. Berbicara karir
klub, Rossi identik dengan Juventus, di mana ia berhasil membawa klub ini
meraih beberapa trofi bergengsi. Selain Juventus, Vicenza juga menjadi klub
yang kerap diasosiasikan dengannya karena di klub inilah ia bermain sebagai
penyerang tengah untuk kali pertama.
Namun Rossi juga pernah bermain
di Milan, yang secara historis merupakan rival dari Si Nyonya tua. Tidak banyak
yang mengingat kisah Rossi saat berlabuh di San Siro, tepatnya tahun 1985, atau
tiga puluh tahun silam untuk berbaju merah-hitam khas Milan.
Milan mengeluarkan 200 ribu lira
untuk mendatangkannya, namun sayangnya kepindahan itu tidak menghadirkan cerita
indah. Rossi yang kala itu berusia 29 tahun sudah melewati puncak permainannya,
sementara Milan tengah mengalami fase kemunduran pasca pensiunnya sang legenda,
Gianni Rivera tahun 1979. Pada periode ini, dua kali Rossoneri terdegradasi ke
Seri B. Pertama, tahun 1980 karena terseret skandal judi Totonero dan yang kedua tahun 1982 akibat performa buruk.
Meskipun dapat segera kembali ke
Seri A, namun status Milan saat itu tidak lebih dari kesebelasan medioker.
Fulvio Collovati, bek lulusan akademi Milan yang juga menjadi anggota timnas
Italia pemenang Piala Dunia 1982 bahkan memilih hengkang ke Inter pada tahun
yang sama.
Rossi menghuni lini depan
Rossoneri bersama Pietro Paolo Virdis dan penyerang asal Inggris, Mark Hateley.
Di kesebelasan ini sebetulnya sudah bercokol pula nama-nama yang kelak menjadi
tulang punggung Milan pada era selanjutnya, seperti Franco Baresi, Alessandro
Costacurta, Alberigo Evani dan Paolo Maldini. Bagi Maldini, saat itu adalah
musim debutnya memperkuat tim senior Milan.
Di bawah arahan pelatih yang juga
legenda kesebelasan, Nils Liedholm, Rossi kerap dipasang bersama Hateley dan
Virdis. Baik Hateley maupun Virdis memang cukup produktif dengan torehan
masing-masing delapan dan enam gol pada musim tersebut. Rossi sendiri hanya
mencetak dua gol saja, sebuah torehan yang tentu saja jauh dari kata memuaskan.
Meski demikian, terdapat sebuah
momen yang patut diingat dari Rossi. Kebetulan bagi Milan, momen tersebut
amatlah spesial, yaitu Derby Della Madonnina melawan rival besar lainnya, yaitu
FC Internazionale pada 1 Desember 1985.
Sebelum pertandingan, suporter
Milan mengkritik performa sang penyerang seraya bertanya “Di manakah Rossi yang
menjadi bintang Piala Dunia?” imbas dari kemandulan Rossi di depan gawang lawan
hingga sebelum derby berlangsung.
Namun tak disangka, Rossi yang masih
dipercaya Liedholm, menjawabnya hanya lima menit setelah merumput di laga derby. Setelah bergerak diagonal dari
sayap ke kotak penalti, Rossi menerima umpan tarik di posisi yang bebas. Tanpa
ampun, penyerang kidal ini menjebol gawang Walter Zenga untuk membawa Milan
unggul 1-0.
Inter memberi perlawanan sengit,
hingga berhasil membalikkan kedudukan melalui Alessandro Altobelli dan Liam
Brady. Namun ketika laga menyisakan satu menit, Rossi berhasil menyamakan
kedudukan lewat gol yang mengingatkan publik pada gol ketiganya ke gawang
Brasil di Piala Dunia 1982.
Sebuah clearance yang kurang sempurna dari bek Inter membuat bola jatuh di
kaki gelandang Milan, Agustino Di Bartelomei. Tendangan keras Di Bartelomei
mengarah kepada Rossi, yang berdiri membelakangi gawang. Bukannya menghindari
bola, Rossi malah mengontrolnya lalu berbalik badan kemudian menembak. Gol yang
“sangat Rossi” tercipta, dan Milan berhasil selamat dari kekalahan.
Ironisnya, dua gol tersebut
menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir dipersembahkan Rossi untuk Milan,
karena hingga akhir musim, penyerang yang pernah tersangkut skandal ini tidak
kunjung menambah rekening golnya dan Milan menempati posisi ke-7. Pada akhir
musim, Rossi hijrah ke Verona untuk menutup karir sepakbolanya.
Satu hal lagi yang lebih ironis,
sepeninggal Rossi, datanglah seorang pengusaha bernama Silvio Berlusconi yang
membeli Milan. Dan seperti diketahui, kedatangan Berlusconi mengawali sebuah era
baru bagi kesebelasan ini. Memang amat disayangkan jika pemain dengan reputasi
setinggi Rossi gagal menjadi bagian dari kesuksesan Milan di bawah rezim
Berlusconi.
Namun demikian, Rossi yang kini
menjadi salah satu pundit sepakbola Italia masih menyebut-nyebut nama dari
mantan klubnya ini. Misalnya saat bursa transfer musim panas ini resmi ditutup,
Rossi menyebut Milan tidak memiliki ambisi untuk memenangi scudetto. Komentar ini diberikan menyusul kegagalan Milan
mendatangkan pemain berkualitas untuk membenahi lini tengah. Sebuah kisah yang
telah tertulis, bagaimanapun baik dan buruknya, entah singkat atau lama, tetaplah
tidak bisa terhapus.
Satu setengah dekade kemudian,
kisah Rossi ini diikuti oleh seorang penyerang bernama Gianni Comandini.
Penyerang kelahiran 1977 ini bermain di Milan pada musim 2000-2001. Seperti
halnya Rossi, Comandini juga sempat bermain di Vicenza. Kedatangannya ke Milan
disambut dengan harapan tinggi seperti Rossi, karena musim sebelumnya,
Commandini berhasil mencetak 20 gol dari 34 pertandingannya di ajang Seri B.
Sayangnya, Comandini juga gagal
memenuhi ekspektasi. Ia kalah bersaing dengan Andriy Shevchenko, Oliver
Bierhoff dan bahkan Jose Mari. Mengikuti jejak Rossi, Commandini juga hanya
berhasil mencetak dua gol, dan secara kebetulan juga dicetak ke gawang Inter
pada ajang Derby Della Madonnina.
No comments:
Post a Comment