Pages

Thursday, December 31, 2015

Mihajlovic, Si Pengisi Kekosongan yang Bukan Legenda Milan

Sinisa Mihajlovic (Photo from Bleacher Report)

Bagi siapa pun yang sehari-harinya bekerja dalam tekanan berat dari atasan dan dihantui masa depan yang tidak jelas, plus arah yang juga tidak jelas dari tempatnya bekerja, sejenak kembali ke kampung halaman bisa membantu mengurangi beban, jika menghilangkannya sama sekali juga tidak mungkin.

Sinisa Mihajlovic, pelatih Milan yang memiliki ayah seorang Serbia dan ibu seorang Kroasia, memanfaatkan libur natal dan tahun baru untuk mendatangi rumah masa kecilnya di Borovo, perbatasan antara Kroasia dan Serbia. Rumah yang terakhir kali dilihatnya 24 tahun yang lalu. Dalam foto, Mihajlovic mengenakan topi dan kacamata, mungkin agar tidak terlalu mencolok dan mudah dikenali, sehingga ia bisa meresapi betul momen nostalgia yang berharga ini, sebelum kembali ke kota mode metropolitan untuk dituntut memberi hasil dari investasi besar 150 juta euro (and still counting).

Mihajlovic dikenal sebagai pemain yang keras ketika masih bermain. Namun di luar lapangan, ia adalah pribadi yang berbeda. Jonathan Wilson, penulis buku Behind The Curtain, Travels in Eastern European Football, pernah menceritakan seklumit masa lalu dan awal karir bermain Mihajlovic di situs media Guardian sekitar tahun 2013. Dalam tulisannya yang begitu kaya data, tidak bias seperti fanboy, dan penuh dengan cerita yang jarang dibicarakan orang ini, Wilson menceritakan bahwa perang saudara di kawasan Balkan pada awal 90an banyak berpengaruh pada kepribadian dan gaya main Mihajlovic, dan bukan tidak mungkin, gaya melatihnya kini. "Ia adalah murid yang pandai ketika di sekolah. Selalu duduk di kursi paling depan," ujar guru sejarah sekaligus pelatih tim sepak bola sekolahnya. Seorang temannya juga menambahkan tentang sisi kompetitif Mihajlovic yang membuatnya selalu ingin memenangi pertandingan olahraga yang diikuti, meskipun tetap cemerlang di pelajaran sastra Serbia-Kroasia.

Bagi seseorang dengan latar belakang seperti ini, menghadapi presiden klub yang begitu demanding dan kadang megalomania seperti Silvio Berlusconi mungkin saja tidak sebanding dengan situasi perang. Namun Mihajlovic tentu mahfum bahwa menggigit tangan orang yang memberi kita makan adalah perbuatan tak berkelas yang tidak tahu diuntung.

Berlusconi, di sisi lain adalah sosok presiden klub yang jika dibolehkan akan bersedia duduk di bangku cadangan tim untuk meneriaki pemain-pemainnya, bahkan akan mengambil tendangan penalti sendiri untuk Milan. Berlusconi sudah sering mengatur dan mendikte pelatih-pelatih Milan sebelumnya, mendatangi mereka pada jeda pertandingan, dan merobek selembar buku jurnalnya untuk menulis taktik yang diinginkan dan siapa yang harus bermain dan tidak boleh bermain. 

Mengritik mereka di media juga bukan hal luar biasa baginya, termasuk untuk Mihajlovic. Tanyakan saja hal ini kepada Zaccheroni, yang ia sebut sebagai seorang penjahit yang tidak mampu mengolah bahan bermutu tinggi, atau bagaimana ia menyuruh Ancelotti untuk memainkan dua penyerang ketimbang memainkan Rui Costa dan Seedorf di belakang Shevchenko, meski formasi pohon natal Carletto memenangkan banyak pertandingan penting.

Mihajlovic tentu sudah melakukan segala yang ia mampu. Datang dengan diwarisi skuat dengan mentalitas loyo yang dijangkiti krisis kepemimpinan dan mudah puas, hingga saat ini setidaknya ia telah menciptakan lini belakang temporer yang cukup menjanjikan dan lini tengah yang mau bertarung. Jangan lupa, Milan juga amat mungkin menembus final Coppa Italia karena di babak perempat final ‘hanya’ perlu menyingkirkan Carpi untuk bertemu salah satu di antara klub divisi di bawah mereka, Spezia dan Alessandria di babak semi final.

Namun Berlusconi tetap Berlusconi. Jangan sesekali berbicara taktik dengannya, apalagi menguliahi bagaimana cara mengelola klub sepak bola. Suka atau tidak, torehan gelar liga domestik dan kontinental adalah pencapaian tak terbantahkan yang menjadikannya salah satu presiden klub sepak bola tersukses sepanjang masa, yang menjadikan namanya pantas diabadikan menjadi nama stadion Milan. Apalagi intuisinya dalam menunjuk pelatih. Siapa yang begitu visioner menunjuk Arrigo Sacchi hingga pelatih ini kemudian menjadi salah satu yang tersukses di Eropa pada masa jayanya, dan siapa yang memulai era sugar daddy sepak bola ini jika bukan Milan tahun 90an? 

Sejak awal, Mihajlovic memang bukan pilihan utama untuk melatih Milan. Kedatangan Ancelotti, Emery atau Conte lebih diharapkan. Bahkan Sarri lebih dulu disebut-sebut sebelum pilihan dijatuhkan pada Mihajlovic. Sebagai pilihan kesekian, memang akan lebih mudah bagi Berlusconi untuk mengkritisi sang pelatih ketika satu-dua kekalahan didapat, dan para pemain terlihat begitu sulit mengalahkan lawan yang lebih lemah. Berlusconi tetap bersikukuh bahwa membongkar pasang skuat dan menggonta-ganti pelatih adalah solusi tepat guna yang akan segera membawa Milan kembali pada era kejayaan Sacchi, Capello atau Ancelotti.

Meski baru menjalani seperempat jalan dari kontrak dua tahun yang ditandatangani, pekerjaan Mihajlovic seperti sudah dicap gagal. Milan masih menyebut-nyebut nama Conte, Emery dan yang terbaru adalah Di Fransesco untuk menangani Milan mulai musim depan. Mihajlovic seperti hanya diperlakukan sebagai batu loncatan pengisi kekosongan sebelum Milan mendapatkan pelatih yang benar-benar diinginkan. Terlebih Mihajlovic bukan legenda Milan seperti halnya Seedorf dan Inzaghi, maka memecatnya tidak akan memberi tanggung jawab moral berlebih, bukan? 

Sayangnya bagi Mihajlovic, jadwal berat telah menanti. Setelah Bologna pada pembukaan tahun, Roma, Fiorentina, Empoli dan Inter Milan telah menanti di Seri A, dan Carpi telah menunggu di perempat final Coppa Italia pada pertengahan bulan. Januari bukanlah bulan bersahabat bagi Milan tahun lalu. Ketika itu di bawah Inzaghi, Milan menutup tahun dengan menahan imbang Roma di Olimpico dan mengalahkan Real Madrid dalam laga uji coba di Dubai, namun kemudian Milan mengalami tiga kekalahan dari empat laga Seri A pada Januari 2015 atas Sassuolo, Atalanta dan Lazio. 

Kekalahan ini meredupkan momentum positif yang akhirnya menggelincirkan mereka dari papan atas hingga akhir musim. Padahal Milan mendatangkan cukup banyak pemain pada winter transfer seperti Salvatore Bocchetti, Gabriel Paletta dan Alessio Cerci. Musim ini juga begitu, bukan? Sudah datang para pemain di musim panas dan dingin, kok masih gagal juga? Pecat saja pelatihnya. Siklus ini masih akan berjalan entah sampai kapan.

Sudah empat pelatih menangani Milan sejak tahun 2012, dan para fans akan lebih mudah mencari-cari kesalahan dan kelemahan pelatih-pelatih malang itu, ketimbang berpikir bahwa permasalahan yang lebih besar berada pada bagaimana klub ini dijalankan. Bagi Mihajlovic, tidak ada pilihan selain memaksimalkan 'Kevin-Prince Boateng yang akan membantu di banyak area' dan 'kembalinya Balotelli dan Menez bagai mendapat pemain baru'.

No comments:

Post a Comment