Saya sering mendengar kata-kata bijak tentang complacency, atau rasa berpuas diri. Dikatakan
bahwa complacency adalah konsekuensi
lumrah dari kesuksesan. Padahal sikap ini juga dikatakan sebagai awal dari kegagalan.
Complacency pula yang selalu dihindari oleh kesebelasan
Barcelona, di mana untuk menanamkan sikap tak pernah merasa puas ini,
pembekalan kepribadian bersahaja telah dilakukan sejak para pemain mengikuti
sekolah La Masia. Sikap sederhana dan hanya fokus memikirkan sepak bola pun
tercermin dari tindak-tanduk para penggawa Azulgrana, bahkan ketika mereka
telah menjadi bintang besar bergelimang prestasi dan bergaji tinggi.
“Pemain-pemain Barcelona dilarang mengemudikan
mobil sport ke tempat latihan. Saya
merasa ini konyol. Apa yang saya kemudikan bukanlah urusan mereka,” ujar Zlatan
Ibrahimovic, penyerang Swedia yang sempat bermain sebentar di Barcelona pada
era Pep Guardiola dalam biografinya yang berjudul Jag Er Zlatan.
Tidaklah salah yang dikatakan Ibra, dan saya
tidak hendak menghakiminya. Ia membeli mobilnya dari hasil jerih payah bekerja sebagai pesepak bola, bukan hasil korupsi. Namun dari hal ini dapat sedikit
terlihat filosofi kesederhanaan yang dianut Barca, yang begitu berurat akar di
setiap sendi-sendi klub, bahkan ke urusan pribadi seperti pemilihan mobil, hingga sikap ini terdoktrin membentuk kesahajaan di segala aspek.
Di penghujung tahun 2015, Barcelona kembali
memenangi trofi. Kemenangan di Piala Dunia antarklub menahbiskan mereka sebagai
klub terbaik dunia tahun ini, setelah pertengahan tahun lalu juga berhasil
merebut treble winners yang kedua
sepanjang sejarah mereka. Hanya butuh enam tahun saja bagi Barcelona untuk
mengulangi prestasi treble winners ini.
Tahun tanpa trofi memang sempat dijalani, pelatih juga datang dan pergi. Bahkan
pemain berpengaruh seperti Carles Puyol dan Xavi Hernandez juga tidak lagi
menghuni skuat. Namun dengan mentalitas kesahajaan yang berpangkap pada sikap tak pernah puas inilah Barcelona tetap
mampu menjaga level permainan dan determinasi untuk terus menang. Selama nihil
trofi, misalnya pada tahun 2014, prestasi Barcelona pun tetap tidak jauh dari
kuadran pemenang. Babak semifinal Liga Champions dan tiga besar liga domestik minimal tetap berada dalam jangkauan.
Hegemoni yang didapat Barcelona memang tidak
luput dari cacat dan noda. Yah, yang namanya ‘kerajaan’ yang dibuat oleh manusia,
mana ada yang sempurna. Skandal dan kecurangan yang dituduhkan juga tidak
semuanya salah, meski tidak semua benar. Penggelapan nilai transfer Neymar,
perekrutan pemain-pemain asing di bawah umur, tudingan keberpihakan wasit yang tiada habisnya dan
investigasi badan arbitrase olahraga terkait keleluasaan yang didapat dari
status socios juga
sedikit banyak menggoyang kemapanan Azulgrana.
Namun aspek-aspek di luar lapangan tersebut
rasanya tidak menggoyahkan mentalitas yang dimiliki Barca, dan inilah
rasanya kunci keberhasilan yang akan membuat tim ini akan terus berjaya. Entah kapan hegemoni ini menemui senjakala. Para pembenci
pun mulai kehabisan kata untuk mencela trio Messi-Suarez-Neymar (MSN) yang
mencetak hampir 150 gol sepanjang tahun 2015 saja, dan oleh pelatih Luis
Enrique sudah dianggap sebagai trio penyerang terbaik yang pernah ada dalam
sejarah sepak bola.
Saya sendiri melihat complacency pada diri sendiri sepanjang tahun 2015 jika berbicara
tentang dunia penulisan sepak bola. Tahun 2015 ini saya jalani dengan amat santai ketimbang tahun 2014
yang begitu menggebu-gebu. Saya banyak berpuas diri, dengan lebih banyak menulis di blog ini ketimbang menulis untuk pihak lain. Kenapa saya katakan berpuas diri? Tentu saja karena dengan menulis di blog pribadi, maka tidak ada tekanan, target tertentu atau konsekuensi komersial dari tulisan-tulisan yang saya buat.
Boleh dibilang, tahun ini saya juga jauh dari sepak
bola. Saya tidak pernah lagi menonton langsung liga Indonesia di stadion,
seiring tidak berjalannya liga sepak bola Indonesia. Hanya turnamen tarkam dekat rumah saja
yang masih saya saksikan. Tulisan-tulisan sepak bola juga sudah jarang saya baca, dan dalam pengamatan amatiran yang saya lakukan, tema tulisan sepertinya sudah gitu-gitu aja. Selain itu, saya juga semakin jarang menonton sepak bola di layar
kaca, terlebih yang ditayangkan langsung pada dini hari. Sebagai pengabdi pemilik modal yang baik, saya sudah malas begadang nonton bola karena harus mengumpulkan energi untuk bekerja keesokan harinya.
Saya hanya menulis jika sedang ingin, dan hal
ini juga sejalan dengan berhenti beroperasinya startup dan portal tempat saya menulis, yaitu Bolatotal dan Yahoo
Indonesia sejak akhir tahun 2014. Saya juga memilih untuk tidak aktif lagi di
Football Fandom sejak awal tahun ini, tapi masih beberapa kali menulis untuk
mereka. Beberapa kali, saya juga mengirim naskah tulisan kepada Pandit Football,
dan mendapat masukan-masukan yang berharga dari para editor ciamik mereka.
Seringkali ide muncul di kepala, tapi saya
abaikan karena harus melakukan hal lain, sehingga pada saat saya memiliki waktu, ide tersebut sudah terbang entah ke mana. Tidak adanya target yang dibebankan
memang sangat berpengaruh, karena secara tidak sadar, otak dan badan kehilangan
stimulus untuk bergerak dan menulis. Dengan begini, tahun 2015 ini seperti detoks sepak bola
saja bagi saya.
Untuk tahun 2016, sepertinya masih sama. Pekerjaan di kantor makin menumpuk dan saya mengalami kesulitan untuk membagi waktu, apalagi anak-anak saya sedang lincah-lincahnya. Saya juga masih tidak
terikat dengan pihak lain, sehingga rasanya tidak ada perubahan besar yang akan
terjadi tahun depan. Memang ada hajatan besar Piala Eropa 2016, tapi rasanya akan saya lalui
sebagai penonton saja, tidak seperti momen Piala Eropa 2012 di mana saya mulai banyak menulis dan bertemu teman baru. Entahlah jika kemudian ada teman atau siapa pun yang
mengajak untuk kembali berkarya, saya belum memikirkannya.
Tapi yang pasti, ini bukanlah senjakala saya dalam penulisan sepak bola, yang mulai saya seriusi sejak tahun 2012 lalu. Saya tetap berkeinginan untuk
mengisi blog ini dengan tulisan-tulisan seputar Milan, sepak bola Italia, sepak
bola Rusia, sejarah atau finansial yang memang menjadi topik favorit saya, dan menjadi alasan mengapa saya menyukai sepak bola. Saya
tidak menjanjikan kualitas tulisan yang semakin baik dengan bahasa tingkat dewa, analogi-analogi
genius atau angle yang tak terpikirkan
orang lain. Sedari dulu, tujuan utama saya menulis sepak bola adalah untuk
berbagi informasi dan menambah teman saja, dan bukan untuk tujuan lain yang malah ngeribetin diri sendiri atau orang lain.
No comments:
Post a Comment