Rivera dan Rosato. Photo from magliarossonera.it |
Roberto Rosato adalah salah satu dari
sekian bek legendaris yang pernah dimiliki Milan. Ia bermain di skuat Merah-Hitam
tahun 60 hingga 70an dan turut menjadi bagian dari kejayaan Milan pada era
tersebut. Tanggal lahirnya sama dengan legenda Milan lain yang lebih populer,
Gianni Rivera. Meski Rivera lebih banyak diingat, namun kontribusi seorang
Rosato tidak dapat dilupakan begitu saja.
***
Semifinal Piala Dunia 1970
mempertemukan Italia dengan Jerman Barat. Pemenang pertandingan ini akan
menghadapi salah satu di antara Brasil atau Uruguay. Sudah pasti nantinya akan
terjadi duel klasik antara dua kutub, yaitu Eropa dengan Amerika Selatan di
final Piala Dunia 1970. Aroma rivalitas juga makin kentara karena Brasil,
Uruguay dan Italia kala itu sama-sama telah merebut dua gelar juara. Artinya,
siapa pun yang keluar sebagai juara, akan menyimpan trofi Jules Rimet.
Pertandingan Italia melawan
Jerman memasuki babak perpanjangan waktu setelah dalam waktu 90 menit kedudukan
masih 1-1. Pada saat itu, babak adu penalti belum diperkenalkan di Piala Dunia,
sehingga kedua kesebelasan sama-sama mengerahkan kemampuan untuk mencetak gol
pada babak perpanjangan waktu ini.
Hasilnya, lima gol tercipta di
babak ini, hingga kini satu-satunya yang terjadi dalam sejarah Piala Dunia.
Jerman Barat mencetak dua gol dan Italia mencetak tiga gol. Dalam laga yang
kemudian dikenang sebagai Match of the
Century ini, seorang gelandang serang elegan bernama Gianni Rivera menjadi
bintang. Masuk sejak menit 46 menggantikan Sandro Mazzola sebagai bagian dari
taktik staffetta pelatih Ferruccio
Valcareggi, Rivera berperan langsung
dalam terciptanya dua gol pada babak perpanjangan waktu yang membawa Italia ke
babak final.
Sayangnya, Italia tampil antiklimaks
di final melawan Brasil yang begitu perkasa di bawah pimpinan Pele. Rivera juga
secara mengejutkan baru diturunkan pada akhir-akhir pertandingan.
Rivera memang memiliki nama harum
di persepakbolaan Italia. Meski tidak menyumbang gelar Piala Dunia untuk Gli Azzurri,
namun Rivera adalah pemain Italia kedua yang memenangkan gelar Ballon D’or
tahun 1969 setelah Omar Sivori meraihnya tahun 1961. Ia juga membawa timnas
Italia menjuarai Piala Eropa tahun 1968, gelar juara kontinental yang hingga
kini menjadi satu-satunya milik Gli Azzurri.
Rivera menghabiskan sebagian
besar karirnya di Milan. Dengan sumbangan tiga scudetto plus dua European Cup (sekarang Liga Champions), tidak
mengherankan jika nama Rivera diabadikan dalam Hall of Fame, sebuah penghargaan bernilai abadi atas segala kontribusinya
kepada MIlan. Ketika Rivera berulang tahun ke-72, 18 Agustus 2015 lalu, Milan
melalui situs resmi www.acmilan.com
mengucapkan selamat ulang tahun kepada legendanya itu.
Namun ternyata ucapan selamat
ulang tahun pada hari itu tidak diberikan kepada Rivera seorang. Seperti
diceritakan di awal, terdapat satu nama yang memiliki hari kelahiran identik
dengan Rivera, yaitu Roberto Rosato. Tidak hanya tanggal lahir yang sama, kedua
pemain juga lahir di tahun yang sama. Meski lahir dari orang tua yang berbeda,
namun kesamaan ini menyebabkan keduanya kerap dipanggil Si Kembar.
Adalah takdir yang mempertemukan
keduanya bermain di skuat Milan dan timnas Italia. Pelatih legendaris Nereo
Rocco berandil besar untuk itu. Rocco, yang sempat melatih Torino pada tahun
1963 hingga 1967 melihat potensi besar pada diri Rosato, yang berposisi sebagai
pemain belakang. Kepercayaan Rocco itulah yang membuat kemampuan Rosato
berkembang sebagai bek andalan Il Toro hingga akhirnya terpilih memperkuat
timnas Italia tahun 1965, lalu terpilih dalam skuat yang bertanding di Piala
Dunia 1966.
Selepas Piala Dunia 1966 itulah
Rosato hijrah ke Milan dan bersatu dengan ‘saudara kembarnya’, Rivera. Rosato
lantas didapuk sebagai penerus Cesare Maldini sebagai pemimpin lini belakang
Rossoneri. Uniknya, Maldini mengambil jalan sebaliknya dengan pindah ke Torino
untuk bereuni dengan Rocco. Cerita unik kembali berlanjut karena setahun
kemudian Maldini pensiun, dan Rocco kembali melatih Milan dan bereuni dengan
Rosato.
Dalam musim debutnya, Rosato
membentuk lini pertahanan tangguh bersama Karl-Heinz Schnellinger, bek asal
Jerman. Musim pertamanya di San Siro diwarnai raihan gelar Coppa Italia. Namun
dua tahun berturut-turut setelahnya-lah yang mengukir nama Rosato abadi dalam
sejarah Rossoneri. Musim 1967-68, Rosato berperan besar membawa Milan meraih
gelar scudetto dan Piala Winners
Eropa, sementara semusim kemudian, Rosato ikut mengantar Milan meraih European
Cup.
Penampilan fisik Roberto Rosato berbanding
terbalik dengan apa yang ditunjukkannya di lapangan. Ia memiliki wajah tampan,
namun ketika bermain, ia amat garang dan keras. Karakternya di lapangan sedikit
mengingatkan pada sosok oriundo
pemain bertahan timnas Italia pada periode 1930an, Luis Monti. Rosato juga
dapat bermain di posisi gelandang bertahan, serupa dengan kemampuan yang
dimiliki Monti. Kemampuan memerankan beberapa posisi ini juga menunjukkan
Rosato memiliki visi dalam bermain.
Rosato jugalah yang menjadi
tulang punggung lini belakang timnas Italia di dua Piala Dunia, 1966 dan 1970.
Di lini belakang timnas, Rosato bahu membahu dengan rivalnya dari Inter,
Tarcisio Burgnich. Keduanya berperan besar membawa Italia meraih gelar Piala
Eropa tahun 1968 dan menjadi runner-up
Piala Dunia 1970.
Duet Rosato bersama Burgnich di
lini belakang, juga mengiringi dominasi Milan-Inter lainnya di skuat timnas
Italia. Seperti diketahui, dua kesebelasan itu memang berjaya pada masa 60an
dan 70an. Pada Piala Dunia 1970, duet Milan-Inter bahkan bisa dilihat di
seluruh lini. Selain Rosato-Burgnich, ada pula Rivera-Mazzola di tengah dan
Prati-Boninsegna di lini depan.
Pengakuan akan kehebatan Rosato
mungkin tidak terdengar senyaring yang diterima sang kembaran, Rivera. Namun
hal ini bukan berarti ia tidak termasuk dalam jajaran pemain-pemain terbaik
yang pernah dilahirkan Italia. Bagi Milan sendiri, Rosato telah berhasil
meneruskan kehebatan Cesare Maldini dalam memimpin lini belakang. Secara total,
Rosato memperkuat Milan dalam 187 laga selama tujuh tahun.
Bukan hanya itu, Rosato juga turut
dijadikan patokan dalam menilai apakah bek-bek Milan berikutnya patut disebut
sebagai pemain besar, karena pada era sesudahnya, nama Fulvio Collovati
didengungkan sebagai penerus dari Rosato. Seperti diketahui, Collovati adalah
pemain belakang lulusan dari akademi Milan yang kemudian turut menjadi andalan
Rossoneri sekaligus timnas Italia.
Bukan hanya sekali-dua kali
memperkuat Gli Azzurri, namun Collovati adalah anggota inti dari tim yang
memenangi Piala Dunia 1982. Hebatnya lagi, Collovati mampu meyakinkan pelatih
Enzo Bearzot untuk memasangnya sebagai bek inti meski ketika itu lini belakang
Gli Azzurri didominasi bek-bek tangguh Juventus seperti Claudio Gentile,
Antonio Cabrini dan Gaetano Scirea.
Rosato memang telah meninggal
dunia pada bulan Juni tahun 2010 lalu. Namun sosoknya tidak akan pernah hilang
dari ingatan sebagai bagian dari tradisi Milan, yang menjadi tempat kelahiran
sekaligus rumah bagi bek-bek berkelas dunia.
No comments:
Post a Comment