Pages

Tuesday, November 17, 2015

Perjalanan Karir dan Warisan Johan Cruyff Untuk Sepak Bola

Johan Cruyff. Photo from jotdown.es

(Entri ini menulis ulang dan mengedit seperlunya salah satu tulisan saya dari buku The Legends, Pesepak Bola Terbaik Dunia Yang Pernah Ada; Aditya Nugroho, Arsyad M. Fajri, M. Rezky Agustyananto, Mahir Pradana; Salaris Publisher, 2014)

Hendrik Johannes Cruyff lahir pada 25 April 1947, ia adalah anak dari seorang ayah bernama Hermanus dan ibu bernama Petronella. Cruyff lahir di bagian timur Amsterdam, ibukota Belanda. Seakan mengikuti jejak para seniman dan artis kelahiran kota ini, Cruyff kelak juga dikenang sebagai seniman sepak bola papan atas.

Cruyff sudah menyukai sepak bola sejak kecil. Idola masa kecilnya adalah Servas ‘Faas’ Wilkes, pemain nasional Belanda era 40 hingga 50an. Wilkes adalah seorang penyerang subur Belanda yang karirnya membentang dari klub Xerxes Rotterdam, Internazionale Milan, Torino, hingga ke Spanyol bersama Valencia. Wilkes juga merupakan pencetak gol terbanyak tim nasional Belanda saat itu dengan catatan 35 gol sebelum rekor tersebut dipecahkan oleh Patrick Kluivert dan Robin Van Persie.

Kesedihan melanda Cruyff saat sang ayah meninggal akibat serangan jantung. Saat itu usianya masih 10 tahun. Ibunya yang tak sanggup membuka toko seorang diri akhirnya mencari pekerjaan baru, dan ia mendapatkannya di Ajax sebagai petugas pembersih. Cruyff pun menjalani masa-masa remajanya tanpa didampingi sosok ayah. Namun justru dari peristiwa inilah mentalnya terasah.

Cruyff bermimpi untuk menjadi pesepakbola seperti Wilkes. Bakat besar Cruyff tercium oleh tim pemandu bakat Ajax, yang kemudian menariknya. Cruyff menjalani kehidupan yang berat sebagai anak-anak. Sekolah di pagi hari, berlatih di sore hari dan membantu ibu di sela-sela waktu. Ia juga amat belajar banyak soal kedisiplinan dari hal ini.

Ajax memang dikenal sebagai klub yang sejak lama memperhatikan betul akademi mereka. Bakat besar Cruyff tercium lantaran para pelatih Ajax yang kala itu kebanyakan berasal dari Inggris meluangkan banyak waktu untuk menyaksikan perkembangan pemain-pemain mudanya. Para staf pelatih itu menginginkan pemain muda mereka bermain layaknya tim senior yang atraktif, banyak menekan lawan dan lihai dalam menguasai bola. 

Perjalanan Karir Sebagai Pemain
Cruyff tumbuh sebagai remaja bertubuh tinggi dan berkaki panjang. Rambutnya bergaya shaggy alias dibiarkan panjang natural tanpa ditata secara berlebihan. Cruyff juga amat pintar berbicara, melambangkan kecerdasan dan wawasannya yang luas. Kala diwawancarai wartawan, tata bahasanya amat runtut, sistematis, filosofis dan elegan.

Cruyff adalah sosok yang tahu betul yang ia mau, dan tahu cara meraihnya. Filosofi sepak bola di kepalanya makin melekat kala ia ditugasi sebagai ball boy dalam pertandingan final European Cup antara Benfica melawan Real Madrid. Cruyff yang saat itu baru berusia 15 tahun berdecak kagum menyaksikan pemain-pemain seperti Eusebio dan Di Stefano. Mereka berdua adalah pemain yang amat cerdas dengan menggabungkan skill tinggi dan pergerakan yang tak terlacak bek lawan. Sebuah pemandangan yang menginspirasi Cruyff muda.

Cruyff mendapatkan kesempatan melakoni debut tim senior Ajax Amsterdam delapan tahun setelah bergabung atas rekomendasi Vic Buckingham, pelatihnya asal Inggris saat itu. Dalam debutnya menghadapi GVAV tersebut, ia langsung mencetak gol namun sayang Ajax harus menyerah 1-3. Dalam musim perdananya ini, prestasi Ajax tidaklah memuaskan dan harus menduduki posisi 13, atau salah satu peringkat terendah sepanjang sejarah. Cruyff sendiri membukukan 4 gol dalam 10 laga yang ia lakoni musim itu. Bukanlah pencapaian buruk bagi seorang pemain muda.

Namun musim berikutnya Cruyff membawa Ajax pada fase kebangkitan. Lewat sumbangan 16 golnya, Ajax berhasil merebut gelar Eredivisie pertama mereka dalam lima tahun. Semusim berselang, Cruyff memenangi gelar topskor Eredivisie dengan torehan 33 gol dari 30 laga. Total, Cruyff mencetak 41 gol dari 41 laga di semua ajang dan membawa Ajax kembali meraih titel domestik.

Kejayaan di level domestik kemudian menular ke Eropa. Yang paling dikenang tentu saja tiga gelar beruntun European Cup (sekarang Liga Champions) tahun 1970 hingga 1972 yang membuat mereka menyamai prestasi Real Madrid tahun 50an kala Di Stefano dan Puskas menjadi andalan. Pencapaian ini sekaligus menjadikan Ajax dianugerahi penghargaan abadi Badge of Honour, sebuah penghargaan bagi klub yang mampu merebut tiga gelar beruntun European Cup atau mengumpulkan minimal lima gelar secara total. Hingga kini, baru lima klub yang memperoleh kehormatan itu, yaitu Real Madrid, Bayern Muenchen, Liverpool, AC Milan dan Ajax.

Tak pelak, Ajax era 70an adalah salah satu tim yang layak disebut terbaik sepanjang masa. Menggabungkan permainan atraktif dengan dominasi absolut atas lawan dan menguncinya dengan kemenangan menandai sebuah filosofi baru dalam dunia sepak bola, yang kemudian dikenal sebagai Total Football. Ajax yang saat itu dimotori oleh Cruyff bersama Barry Hulshoff, Henk Groot, Sjaak Swart, Bennie Muller, Wim Suurbier dan Piet Keizer adalah tim impian.

Penghargaan individual pun tak lepas dari genggaman Cruyff. Ia adalah pemain Belanda pertama yang menyabet gelar Ballon d’Or saat pertama kali merengkuhnya tahun 1970. Ia kelak meraih Ballon d’Or sebanyak tiga kali, di mana sampai saat ini hanya empat pemain yang pernah mencapainya. Cruyff bersama Michel Platini dan Marco Van Basten adalah peraih tiga kali Ballon d’Or sebelum Lionel Messi memecahkan rekor mereka setelah meraih gelar keempat tahun 2012.

Gelar topskor liga Belanda juga didapat Cruyff musim 1971/1972, termasuk topskor European Cup tahun yang sama saat mereka menjuarai ajang tersebut. “Kami tidak memiliki kesempatan. Johan Cruyff sangat luar biasa.” Ujar salah seorang suporter Panathinaikos, klub yang dikalahkan Ajax pada final European Cup tahun 1971 seperti dikutip dalam buku The Brillian Orange, The Neurotic Genius of Dutch Football karya David Winner.

Winner menambahkan bahwa setahun berselang, Arsenal yang kala itu merajai sepak bola Inggris pun dibuat tak berdaya di tangan Ajax di bawah pimpinan Cruyff. Winner mengutip perkataan komentator radio BBC dalam pertandingan itu. “Arsenal bertanding melawan tim yang jauh lebih kuat dan modern, dan sebagai pemain, Cruyff telah berada di level yang jauh berbeda dengan pemain-pemain Arsenal.

Kegemilangan Cruyff juga diakui hingga seantero Eropa, dan saat itu dua klub besar Spanyol, Real Madrid dan Barcelona meminatinya. Karena ketidaksukaannya pada rezim diktator Jenderal Franco yang sering diasosiasikan dengan Madrid, tahun 1973 Cruyff memilih Barcelona meski Madrid rela membayar lebih mahal. Cruyff pun pindah dengan nilai transfer 900 ribu pound, sebuah rekor saat itu. Sebuah pilihan yang mulai memperlihatkan kepada dunia tentang sisi lain Cruyff, yang amat keras hati dan teguh memegang prinsip.

Bergabung kembali dengan pelatih favoritnya, Rinus Michels, Cruyff tidak menjalani awal harinya di Camp Nou dengan mudah. Saat Cruyff datang, kompetisi telah dimulai dan Barca tengah terpuruk. Namun kedatangannya memberi dampak luar biasa dengan membawa tim ini bangkit. Penampilan memukau Cruyff bahkan membawa kemenangan 5-0 atas Madrid di Santiago Bernabeu, sebuah kemenangan tak terlupakan. Di akhir musim, Barcelona akhirnya keluar sebagai juara.

Setelah menjalani lima musim yang berkesan di Barcelona, Cruyff hijrah ke utara Amerika untuk bermain di kompetisi NASL (North American Soccer League) bersama klub Los Angeles Aztecs. Di usianya yang sudah 32 tahun, ia masih mampu bermain baik, bahkan terpilih sebagai Most Valuable Player (MVP).

Cruyff menghabiskan setahun berikutnya masih di Amerika Serikat, kali ini bersama klub Washington Diplomats. Ia sebetulnya bisa bertahan lebih lama, namun cedera yang menimpa pada awal musim kedua membuatnya memutuskan hengkang. Ia lantas kembali ke Spanyol untuk bermain di divisi dua bersama Levante.

Pilihannya bermain di Levante ternyata kurang menguntungkannya, meski Levante berada di Spanyol, tanah yang ikut membesarkan namanya. Ketidakcocokan dengan manajemen membawanya hengkang, dan akhirnya tahun 1982 pulang ke Belanda, ke klub tempatnya memulai karir, Ajax. Kali ini, Cruyff juga merangkap sebagai penasihat pelatih saat itu, Leo Beenhakker dan juga sebagai pemain.

Sihir Cruyff di lapangan masih ada. Yang paling ternama jelas tendangan passing penalty yang ia ambil saat bertanding melawan Helmond Sport. Bukannya menendang langsung, Cruyff mengoper bola dengan pelan kepada rekannya Jesper Olsen. Olsen yang bergerak cepat lantas memancing kiper Otto Versfeld untuk menghadangnya, namun sebelum itu terjadi, Olsen mengembalikan bola kepada Cruyff yang langsung menceploskan bola ke gawang kosong.

Dua dekade setelah kejadian ini, Robert Pires, pemain sayap elegan Arsenal berniat meniru apa yang Cruyff lakukan bersama Olsen. Bermaksud mengoper kepada Thierry Henry, Pires justru luput menendang bola dengan benar, sehingga ia malah dinyatakan melakukan pelanggaran. Ya, ternyata melakukan sebuah simple passing yang presisi tidak semudah itu, bukan?

Sudah sepantasnya seorang legenda menghakhiri karir bersama klub yang membawanya mengawali karir. Cruyff pun inginnya menjadikan Ajax sebagai pelabuhan terakhir karir sepak bolanya yang yang luar biasa. Namun apa mau dikata, Ajax enggan memperpanjang kontrak sang legenda hidup.

Cruyff membalasnya dengan tindakan yang amat menyakitkan pendukung Ajax sekaligus mencoreng muka direksi klub, yaitu dengan hijrah ke rival berat, Feyenoord Rotterdam. “Saat Amsterdam bermimpi, Rotterdam bekerja” sudah menjadi kalimat yang terkenal bagi warga Rotterdam kepada warga Amsterdam. Kedatangan Cruyff, dipandang mereka akan membuat Amsterdam (Ajax) hanya bisa bermimpi melihat kejayaan Rotterdam (Feyenoord) yang mulai bekerja.

Cruyff memainkan nyaris seluruh partai liga dan piala liga bersama Feyenoord yang saat itu juga diperkuat pemain berbakat, Ruud Gullit. Talenta besar Gullit berpadu dengan magis Cruyff akhirnya membawa kejayaan bagi Feyenoord. Pada akhir karirnya ini, Cruyff akhirnya membawa Feyenoord merebut gelar ganda. Gelar liga yang diraih Feyenoord ini juga menjadi yang pertama bagi mereka dalam satu dekade.

Bersama De Oranje
Meski kehebatannya sudah berkali-kali dipertontonkan di level klub, namun dunia baru benar-benar mengenal sosoknya saat ia memimpin 10 orang berseragam oranye lainnya dalam bendera negara Belanda. Wajar saja, saat itu jangkauan siaran langsung sepak bola belumlah seperti sekarang. Baru ajang antar negara macam Piala Dunia yang mendapat porsi perhatian dan peliputan yang besar.

Cruyff memulai debutnya bersama tim nasional Belanda tahun 1966. Dalam laga keduanya bersama tim nasional Belanda melawan Cekoslowakia, tempramen buruk Cruyff memberinya masalah. Cruyff dikeluarkan wasit lalu dihukum tidak boleh memperkuat tim nasional selama setahun. Ini adalah satu dari sekian kontroversi yang dilakukan sang legenda lantaran sikapnya yang blak-blakan.

Cruyff juga menunjukkan sikap pemberontaknya dalam hal kontrak profesional dengan penyedia peralatan olahraga. Tim nasional Belanda yang kala itu disponsori oleh produk Adidas tentu menggunakan seragam yang bercirikan merk raksasa tersebut. Cruyff, di lain pihak telah mengikat perjanjian eksklusif dengan rival Adidas, Puma. Dengan tegas, Cruyff menolak mengenakan jersey Belanda yang dihiasi tiga garis ciri khas Adidas. Sebagai gantinya, Cruyff ingin mengenakan jersey dengan versi hiasan dua garis.

Hal-hal tersebut tidak membuat Cruyff menyerah. Ia kemudian memimpin Belanda untuk lolos ke Piala Dunia 1974 yang berlangsung di Jerman. Di bawah kepemimpinan Cruyff sebagai kapten tim, Belanda yang saat itu tidak diperhitungkan justru tampil amat impresif. Sepanjang penyisihan grup, mereka berhasil mengukir dua kemenangan dan sekali hasil imbang untuk lolos ke babak penyisihan grup fase kedua.

Dalam grup yang berisi Jerman Timur, Argentina dan Brasil inilah Cruyff menunjukkan superioritas. Ia membawa Belanda menundukkan seluruh lawan, termasuk dua tim kuat Argentina dan Brasil. Dua jagoan Amerika Latin itu ditaklukkan Belanda dengan permainan yang amat mengagumkan, terutama dari Cruyff. Belanda kemudian melaju ke babak final menghadapi tuan rumah Jerman Barat, di mana mereka akhirnya menyerah dengan skor 1-2.

Meski gagal memberi gelar juara kepada negaranya, namun permainannya bersama tim nasional Belanda tak mungkin dilupakan begitu saja. Dengan kehebatannya itu, banyak yang lantas menyamakan kemampuannya dengan Pele, pemain terbaik yang terakhir mengikuti Piala Dunia tahun 1970.

 Selain tim nasional Hungaria tahun 1954, mungkin hanya tim nasional Belanda tahun 1974 ini yang ramai-ramai dinobatkan sebagai ‘juara tanpa mahkota’ berkat penampilan yang teramat memukau. Ini sekaligus mematahkan anggapan umum bahwa sejarah hanya mengingat tim pemenang saja.

Cruyff boleh jadi tidak pernah memberi trofi Piala Dunia kepada negaranya, namun visi dan filosofi yang dimiliki Cruyff adalah warisan yang berharga tidak hanya bagi tim yang pernah diperkuatnya, tapi untuk dunia sepak bola secara keseluruhan. Ia bermain dengan visi dan filosofi yang sudah diyakininya itu, dengan cara memainkan sepak bola yang sederhana. Sepak bola yang terlihat amat mudah dimainkan namun sebetulnya sangat sulit dimainkan.

Sistem Total Football dan Warisan Cruyff Kepada Sepak Bola
Seperti disinggung sebelumnya, Cruyff besar seiring kemunculan Total Football, dan tim nasional Belanda amat beruntung memilikinya sebagai pemain. Belanda semula bukanlah tim yang diperhitungkan pada Piala Dunia 1974 tersebut. Sebelum tahun ini, mereka tidak pernah melaju hingga babak final, apalagi juara. Kedigdayaan klub Ajax Amsterdam yang juga dipimpin Cruyff pada awal 1970 pun tidak serta merta menggiring opini publik untuk menjagokan Belanda.

Cruyff meraih berbagai prestasi di lapangan bersama pelatih yang dikenang sebagai pencetus Total Football, Rinus Michels. Di bawah asuhannya, Michels menginginkan tim dengan kemampuan teknis yang merata. Pergerakan pemain sungguh membingungkan lawan karena para pemain tidak memiliki posisi yang baku di lapangan. Mereka juga bergerak simultan dalam menyerang dan bertahan. Formasi juga kerap berubah dari W-M, 4-2-4 hingga 4-3-3 dengan transisi yang mengagumkan.

Ditambah lagi, mereka mengalirkan bola dengan sangat cepat, menerapkan perangkap offside, dan melakukan tekanan saat lawan menguasai bola. Inilah Total Football yang revolusioner yang saat itu amat sulit diantisipasi lawan. Menggabungkan permainan cantik dan dominasi total untuk merebut kemenangan, sebuah kriteria tim impian yang terpenuhi oleh tim ini, sekaligus menandai kelahiran filosofi baru dalam permainan sepak bola.

Filosofi sepak bola memang tidak melulu melahirkan hal yang benar-benar baru, begitu pun Total Football. Sebelum lahir tim Ajax asuhan Michels, Torino yang menguasai liga Italia tahun 40an juga dikenal memiliki permainan serupa. Dengan pola 4-2-4, mereka memainkan bola dengan amat cepat dan mendominasi lawan. Lalu satu dekade sebelumnya, ada The Wunderteam Austria asuhan pelatih legendaris Hugo Meisl yang mencapai babak semi final Piala Dunia 1934.

Rinus Michels amat mengandalkan Cruyff sebagai pemimpin tim meski usia Cruyff saat itu masih terbilang muda. Ia adalah pengejawantah Total Football yang sempurna, sehingga kerjasama antara mereka terjalin dengan amat baik.

Jika Total Football adalah sebuah sistem, maka Cruyff adalah inti dari sistem itu. Ia adalah sang Total Football. Ia mengatur permainan, melakukan terobosan, memberi umpan, mendistribusi bola dan tidak jarang mencetak gol. Cruyff sebetulnya bermain sebagai penyerang tengah dalam sistem ini. Namun ia kerap menjemput bola hingga jauh ke belakang dan kadang bergerak ke sayap. Saat itu, sangat jarang seorang penyerang bermain sepertinya.

Fakta yang makin menunjukkan kehebatan Cruyff dalam ajang Piala Dunia adalah bahwa ia hanya bermain dalam satu kejuaraan saja, yaitu 1974. Cruyff absen di Piala Dunia 1978 karena masalah non-teknis yang membuatnya mengambil sikap untuk tidak berangkat ke Argentina, tuan rumah saat itu.

Meski tanpa sang jenderal, Belanda kembali berhasil menembus babak final, namun lagi-lagi menyerah atas tuan rumah mengulangi cerita empat tahun sebelumnya. Banyak yang berpendapat jika Cruyff hadir maka bukan tidak mungkin Belanda yang akan merebut trofi Piala Dunia. Total, Cruyff tercatat membela Belanda sebanyak 48 laga dengan torehan 33 gol.

Selepas gantung sepatu, Cruyff pun menjadi pelatih. Karir manajerialnya sebetulnya sudah ia cicil sejak bermain di Ajax awal tahun 80an kala ia merangkap sebagai penasihat teknis pelatih Leo Beenhakker. Posisi pelatih kepala baru digenggamnya tahun 1985, juga di klub Ajax. Kelak, Cruyff meneruskan filosofinya dengan melahirkan kembali sistem Total Football.

Meski tidak serupa seperti saat ia bermain, namun sistem dasar berupa keberadaan tiga pemain belakang dinamis, seorang gelandang bertahan, dua orang gelandang tengah, dua penyerang sayap dan seorang penyerang tengah mampu menghadirkan masa kejayaan kembali bagi Ajax.

Cruyff mungkin hanya menyumbangkan dua Piala Belanda dan sebuah Piala Winners untuk Ajax, namun banyak pihak yang mengakui bahwa gelar Piala Champions yang didapatkan Ajax tahun 1995 adalah andil dari sistem yang diterapkannya.

Karir kepelatihan Cruyff merekah di Barcelona. Kembali menginjakkan kaki di Camp Nou tahun 1988, Cruyff turut mengambil manfaat dari akademi La Masia, sebuah akademi yang digagasnya kala ia masih bermain bagi El Barca tahun 1979 lalu. Pep Guardiola adalah salah seorang pemain lulusan La Masia yang kemudian menjadi bagian dari tim impian Barcelona bersama bintang-bintang seperti Jose Maria Bakero, Romario, Ronald Koeman, Michael Laudrup dan Hristo Stoitchkov.

Cruyff kemudian memenangi 11 trofi bersama Blaugrana, berupa 4 trofi La Liga, sebuah Copa Del Rey, sebuah Piala Winners, sebuah Piala Champions, tiga buah Piala Super Spanyol dan sebuah Piala Super Eropa. Torehan ini menjadikannya pelatih tersukses klub dari perspektif gelar sebelum dipecahkan Guardiola, mantan anak asuhnya dengan capaian 15 trofi. Pep sendiri mengakui bahwa kesuksesannya bersama Barca dengan permainan tiki-taka banyak diilhami oleh filosofi Total Football dan warisan akademi La Masia yang digagas Cruyff.

Berbagai aral merintangi perjalanan karir Cruyff sebagai pelatih. Kebiasaannya merokok membuatnya jantungnya harus dioperasi, meski kemudian Cruyff dapat melanjutkan karirnya. Sikap kerasnya kemudian menjadi penyebab rusaknya hubungan dengan presiden Josep Luis Nunez, yang akhirnya memecatnya tahun 1996. Sebuah akhir ironis dari dua orang yang sebelumnya berhubungan dengan amat baik.

Bagaimanapun, Cruyff dan Barcelona seperti berjodoh. Sejak pertama kali bergabung sebagai pemain, Cruyff seperti langsung terikat secara emosional tidak hanya dengan klub, namun juga wilayah Catalonia. Ia menamai anaknya Jordi, lafal Catalan dari George atau Jorge. Jordi sendiri kemudian tumbuh mengikuti jejak sang ayah dengan menjadi pesepakbola profesional. Ia sempat berkarir sebentar bersama Barcelona.

Salah satu prinsip Cruyff adalah kesederhanaan. Kesederhanaan dalam permainan bahkan mematahkan premis umum bahwa pemain sepak bola haruslah memiliki skill tinggi. Bagi Cruyff, skill tinggi yang berasal dari talenta memang perlu. “Namun talenta besar tidak akan berarti banyak jika sang pemain tidak mampu menjadi seorang pemain yang mampu bekerja dalam tim,” ujarnya.

Mereka (pesepakbola bertalenta tinggi) mampu melakukan apapun dengan bola di kaki mereka, namun semua percuma jika ia tidak piawai melepaskan sebuah umpan pendek sederhana dengan waktu dan kecepatan yang presisi dan tidak paham pergerakan kawannya. Pemain seperti ini, lanjutnya, “Hanya bermain dengan tujuan memampangkan kehebatan teknis yang mereka miliki, dengan kepentingan tim berada di bawah prioritas mereka.

Namun bukan berarti Cruyff tidak memiliki skill tinggi. Ia jelas memiliki kemampuan teknis mumpuni untuk menjadi pesepakbola hebat. Ia juga memiliki kecepatan, akselerasi dan gocekan yang sederhana namun efektif. Ingatkah pada gocekannya saat laga melawan Swedia tahun 1974 yang berakhir imbang tanpa gol itu? Gocekan yang lantas dikenal dengan nama Cruyff Turn itu dikenang sebagai salah satu pertunjukan skill terbaik sepanjang Piala Dunia berlangsung.

Warisan Kepada Dunia Sepak Bola
“Playing football is very simple, but playing simple football is the hardest thing there is.”

Sepak bola adalah olahraga yang sederhana, namun untuk memainkannya dengan sederhana adalah hal tersulit. Ungkapan di atas mungkin hanya sebaris panjangnya. Untuk diucapkan pun sangat mudah, tidak sampai harus berkali-kali mengambil nafas. Hanya ada sedikit jeda, tanpa ada rima, tanpa gaya bahasa yang berlebihan. Ya, barisan kata-kata dalam kalimat ini memang sesederhana maknanya. Namun untuk mewujudkannya adalah hal paling sulit.

Seorang pengajar yang baik adalah mereka yang mampu memilah kata-kata yang mudah dimengerti, menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana namun apa yang diajarkannya tepat sasaran, tidak lebih dan kurang. Presisi, tegas dan meluruskan. Perkataannya tidak menimbulkan multi tafsir dan misinterpretasi.

Kata-kata dalam kalimat sederhana tersebut terucap dari Cruyff, yang kelak bukan hanya dikenal sebagai salah satu pemain terbaik sepanjang masa, namun juga salah satu pelatih terbaik sekaligus aktor di balik kemunculan tim-tim terbaik dunia pada generasi setelahnya. Dari segala hasil karyanya itu, visi, kecerdasan dan keyakinan diri yang kuat adalah kunci keberhasilan seorang Johan Cruyff.

Dengan prinsip-prinsip dan visi inilah Cruyff mengarungi karirnya di sepak bola, baik sebagai pemain maupun pelatih.

Kalangan luas boleh jadi menganggap level Cruyff masih di bawah Pele dan Maradona dari sisi skill individu. Kehebatan Cruyff memang lebih menonjol dari visi dan kecerdasannya di lapangan. Namun dari segi pengaruh kepada permainan secara umum, perkembangan taktik, andilnya dalam pembentukan tim-tim hebat dunia, dan inspirasi yang diberikannya kepada generasi-generasi setelahnya, rasanya belum ada satu pun pesepakbola yang mampu menandinginya.

No comments:

Post a Comment