Thiago Silva: "I want to be a legend here, but..." |
Seri a adalah kompetisi yang menjadi teman
saya disaat kanak-kanak. Saat itu Seri a gaungnya lebih kencang daripada
Premier League. Di era dimana belum ada internet dan terbatasnya informasi,
televisi dan media cetak adalah andalan utama untuk memperoleh berita aktual.
Sebagai pelajar sekolah, saya waktu itu rela begadang untuk menonton siaran
langsung Seri a. Saya juga rela menyisihkan sebagian uang jajan untuk memenuhi
hobi sepakbola. Membeli tabloid, mengumpulkan jersey replika, kartu pemain Seri
a, stiker Panini adalah hal wajib bagi saya dan mungkin juga teman-teman seumur
yang termasuk “Anak Liga Italia”.
Dari liga terbaik tahun 90-an itulah saya
juga mengenal AC Milan. Sebenarnya saya mengidolai Roberto Baggio yang saat itu
bermain di Juventus, namun karena saya tidak suka warna jersey Juventus, logika
kekanak-kanakan saya akhirnya memutuskan memilih Milan sebagai klub favorit
hingga sekarang.
Mendukung Milan seperti menaiki roller coaster. Pernah dibuat
terkagum-kagum dengan langkah Dejan Savicevic dkk. melaju hingga partai final
Liga Champions musim kompetisi 1994/1995 hanya untuk dihentikan oleh Ajax
Amsterdam yang saat itu diperkuat oleh generasi emas Patrick Kluivert, Edgar
Davids, Edwin Van der Saar dkk. Itu hanyalah salah satunya.
Melompat ke tahun 1999, saat itu Milan
membeli seorang pemain dari Eropa Timur bernama Andriy Mikhailovich Shevchenko
seharga 20 juta pound. Shevchenko, berusia 22 tahun saat dibeli Milan, musim
sebelumnya membikin sensasi besar setelah bersama Dynamo Kiev mencetak hattrick
di Camp Nou melawan Barcelona di Liga Champions. Kedatangan Sheva benar-benar
menghilangkan dahaga striker subur berkelas dunia yang sempat langka di Milan
sejak Marco Van Basten pensiun.
Masuknya Carlo Ancelotti menggantikan Fatih
Terim pada pertengahan musim 2001/2002 menjadi awal dinasti kejayaan Milan di
Eropa, walaupun tidak dibarengi kejayaan di negeri sendiri. Ancelotti
menyumbang 2 trofi bergengsi Liga Champions, 2 Piala Super Eropa dan sebuah
Piala Interkontinental. Ancelotti juga hanya sekali membawa Milan tersingkir di
babak perempat final kompetisi benua biru yaitu saat tragedi Riazor terjadi di
tahun 2004 dimana Milan dihajar 4-0 oleh Deportivo La Coruna. Sisanya, paling
jelek Ancelotti membawa Rossoneri hingga ke babak semifinal.
Prestasi di seri a kurang mentereng di tangan
Ancelotti. Dia hanya menyumbang sebuah gelar scudetto pada musim 2003/2004.
Sisanya, Milan berada dibawah bayang-bayang Juventus dan Internazionale. Meski
demikian, Carletto sempat membentuk salah satu skuad terbaik dalam sejarah
Milan. Skuad yang dijuluki il
meravigliosi (mereka yang mengagumkan) dengan Andrea Pirlo dan Ricardo Kaka
sebagai pusat permainan, Shevchenko dan Pippo Inzaghi sebagai ujung tombak
serta Paolo Maldini dan Alessandro Nesta sebagai pengawal lini belakang.
Milan memang bukan klub terkaya. Pendapatan
mereka selalu dibawah Real Madrid, Barcelona, maupun Manchester United dan
Chelsea sejak 2006 seperti ditunjukkan pada tabel dibawah:
Pendapatan Klub-klub besar Eropa
|
||||||
Klub
|
Pendapatan (Juta Euro)
|
|||||
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
|
Real Madrid
|
292
|
351
|
366
|
401
|
439
|
480
|
Barcelona
|
259
|
290
|
309
|
366
|
398
|
451
|
Manchester United
|
243
|
315
|
325
|
327
|
350
|
367
|
Bayern Muenchen
|
205
|
273
|
295
|
290
|
323
|
321
|
Arsenal
|
192
|
264
|
264
|
263
|
274
|
251
|
Chelsea
|
221
|
283
|
269
|
242
|
256
|
250
|
AC Milan
|
220
|
229
|
210
|
197
|
236
|
235
|
Internazionale
|
188
|
177
|
173
|
197
|
225
|
211
|
Liverpool
|
176
|
207
|
207
|
217
|
225
|
203
|
Juventus
|
231
|
141
|
168
|
203
|
205
|
154
|
Sumber:
Deloitte football money league 2011 & 2012 ; www.deloitte.com
Pendapatan Milan memang selalu berada dibawah
raksasa-raksasa Inggris maupun Spanyol tersebut. Real Madrid dan Barcelona adalah
klub dengan pertumbuhan pendapatan terbesar yang nyaris 100% dalam lima tahun
terakhir. Pendapatan tinggi mereka karena besarnya hak siar buntut dari
penampilan konstan di Liga Champions dan penjualan merchandising secara global.
Stadion-stadion mereka yang besar dan dengan rataan home crowd yang tinggi
(Madrid rata-rata 66 ribu di 2011 dan Barcelona 79 ribu di 2011) juga menyumbangkan revenue signifikan yang
menyentuh angka 100 juta euro.
Krisis keuangan akibat terlalu banyak belanja
di awal 2000an adalah bencana yang menggerogoti Milan yang efeknya bisa
dirasakan hingga kini. Musim 2001/2002 adalah musim belanja terbesar Milan
sepanjang sejarah mereka dengan total hingga 125 juta euro. Lebih dari setengah
jumlah tersebut digunakan untuk membeli Filippo Inzaghi dari Juventus dan
Manuel Rui Costa dari Fiorentina. Sisanya, Milan mendatangkan gerbong
pemain-pemain top lainnya dalam bentuk Andrea Pirlo, Thomas Helveg, Massimo
Donati, Umit Davala, Cosmin Contra, Javi Moreno, hingga Vitaly Kutuzov.
Menggilanya mereka di lantai bursa transfer juga
dibarengi dengan membengkaknya biaya gaji pemain. Sayangnya hal ini tidak
dibarengi dengan peningkatan penerimaan. Hingga tahun 2006, Milan meraih trend kerugian
yang signifikan. Hal ini membuat para petinggi membuat keputusan tidak populer
yaitu menjual Sheva ke Chelsea dengan biaya 35 juta pound di tahun 2006.
Milan memang masih bisa berprestasi walau
tanpa sang striker karena Kaka mampu menggantikan perannya sebagai goal getter sekaligus inspirator
permainan Milan. Nyaris sendirian Kaka memenangkan trofi Liga Champions untuk
Milan pada musim 2006/2007 yang membuatnya diganjar gelar Balon d’or.
Namun lagi-lagi Milan masih berjuang di sektor
finansialnya. Penerimaan yang stagnan membuat Milan kembali harus melakukan easy way of getting money. Dan hal itu
berarti penjualan pemain bintang. Di 2009, Ricardo Kaka dijual dengan harga 65
juta euro. Penjualan sang idola memang menolong Milan hingga “hanya” menderita
kerugian 9,8 juta euro saja di tahun tersebut.
Finansial
atau prestasi?
Penjualan Kaka memang menolong dari sisi finansial,
namun tidak dari prestasi. Milan yang semula wara-wiri di semifinal Liga
Champions –liga yang mendatangkan banyak uang- malah sibuk bersaing
memperebutkan posisi 3-4 seri a. Seorang Ronaldinho yang dibeli untuk
menggantikan Kaka, tidak mencapai potensi terbaiknya di Milanello karena sudah
kenyang kesuksesan di Barcelona.
Fenomena nirgelar ini membuat tifosi gerah
dan melakukan protes kepada direksi. Galliani sampai berkomentar bahwa para
tifosi sudah terbiasa dengan hidangan caviar.
Berlusconi tidak tinggal diam. Di 2010 dia kembali melakukan belanja
gila-gilaan yang hebatnya dilakukan dengan efisiensi yang tinggi berkat
kerennya kemampuan negosiasi Adriano Galliani dan Ariedo Braida. Duo ini
terbukti masih mampu menghasilkan banyak transfer bagus meski dengan anggaran
terbatas.
Zlatan Ibrahimovic dan Robinho berhasil didatangkan
dengan harga miring, walaupun untuk ukuran Milan belanja diatas 50 juta euro tetap
saja menjadi hal luar biasa dalam lima tahun terakhir. Pembelian mereka atas
Ibra dan Robinho walaupun secara ekonomis terlalu mahal, namun berbuah gelar scudetto pertama dalam 8 tahun dan
pencapaian perempat final Liga Champions musim lalu.
Inilah tabel profit / loss Milan 5 tahun
terakhir, dimana pengaruh penjualan Sheva dan Kaka sangat besar, perhatikan posisi profit after tax di tahun 2006 dan 2009 dimana penjualan tersebut terjadi.
Sumber: The Swiss Ramble (www.swissramble.blogspot.com)
Milan memang tidak memiliki potensi
penerimaan sebesar Madrid, Barcelona, Manchester United maupun Chelsea. Hak
siar yang dibagikan secara kolektif kepada para kontestan Seri a dan Seri b
turut menurunkan pendapatan mereka dari sektor ini. Mereka juga tidak memiliki branding sebaik mereka. Kurangnya
ekspansi ke benua Asia boleh jadi menyebabkan mereka tidak memiliki brand power sekuat mereka. Langkah
ekspansi ini justru sudah dimulai klub tetangga, Internazionale. Kedatangan
Inter ke Jakarta beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa tim marketing mereka
kini tengah berusaha mengatasi ketertinggalan mereka dengan klub-klub Inggris
maupun duo La Liga Madrid dan Barcelona.
Tuntutan Financial
Fair Play kian membuat pening kepala para petinggi Milan. Tahap monitoring yang akan dimulai pada mulai musim
kompetisi 2012/2013 akan menyaratkan klub untuk merugi maksimal 45 juta euro
saja. Melihat trend kerugian Milan di
dua tahun terakhir yang mencapai lebih dari 60 juta euro, Milan jelas berada di
lampu kuning. Konsekuensi dibekukan dari kompetisi yang berada di bawah naungan
UEFA jika tidak lolos tahap ini adalah hal yang akan menjadi bencana.
Menjual pemain lagi-lagi menjadi opsi yang
nampaknya bakal diambil para petinggi klub guna menyelamatkan nasib mereka.
Waktu yang hanya tinggal setahun lagi bukanlah waktu panjang untuk meraih
keuntungan lewat prize money, gate
receipts, sponsorships maupun hak siar. Stadion San Siro memang stadion
besar, salah satu yang terbesar di Eropa. Namun San Siro tidak selalu dipenuhi
penonton karena hanya terisi 53 ribu rataan penonton sepanjang musim lalu dari
kapasitasnya yang mencapai 80 ribu lebih kursi. Swiss Ramble juga mengemukakan
bahwa masalah menurunnya minat penonton memang menjadi masalah umum di seri a
dikarenakan penurunan kualitas lapangan dan stadion serta skandal pengaturan
skor yang melanda kompetisi membuat sebagian publik menjadi antipati dengan calcio hingga mereka malas datang ke
stadion.
Membangun stadion sendiri seperti yang
dilakukan Juventus menjadi solusi yang realistis untuk meningkatkan pendapatan.
Penggunaan stadion untuk kepentingan diluar pertandingan sepakbola akan turut
meningkatkan pendapatan klub secara signifikan. Kabar beredar bahwa Milan
hendak membeli San Siro, namun harga terlalu tinggi yang dipasang Dewan Kota membuat
Milan mengurungkan niat mereka.
Dan kini Milan kembali dihadapkan pada
pilihan dilematis prestasi atau finansial. Menggilanya bursa transfer yang
beberapa waktu lalu sampai mengundang komentar tajam dari Paus menjadi agenda
bagi Michel Platini untuk membereskan sepakbola Eropa. Presiden UEFA pengganti
Lennart Johansson ini menginginkan adanya kewajaran dalam transaksi pemain.
Financial Fair Play adalah alatnya yang paling ampuh guna meredam segala bentuk
pemborosan berlebih yang dilakukan klub sepakbola. Melihat trend kerugian yang selalu terjadi, klub sepakbola diminta untuk
menjalankan kegiatannya secara profesional dan memperhitungkan aspek bisnis.
Sepakbola kini bukanlah sekedar permainan. Dilematis, namun sang regulator
telah menerapkan langkah yang logis demi menghindari kehancuran dalam pasar
sepakbola.
Milan dihadapkan pada situasi dimana pemain
bintang mereka harus dijual guna menyelamatkan nasib klub. Tidak ada uang, maka
klub tidak bisa berkompetisi. Sesederhana itu. Thiago Silva yang menjadi
komoditi paling mahal mereka hingga tulisan ini dimuat masih dinegosiasikan
dengan Paris Saint Germain. Belakangan, Berlusconi melarang penjualan bek yang
hanya dibeli 8 juta pound dari Fluminense tiga musim lalu ini.
Hari
esok si merah hitam: Hidup akan terus berjalan
Para petinggi harus menanggung resiko apabila
penjualan Thiago Silva terlaksana. Pemain ini adalah setengah dari kekuatan
Milan, itu menurut Antonio Cassano. Kepemimpinan, kemampuannya bertahan sekaligus menginisiasi serangan banyak
dianggap sudah nyaris setara dengan Franco Baresi. Kepergiannya akan membuat
para bintang lainnya macam Zlatan Ibrahimovic, Alexandre Pato maupun Robinho hengkang.
Jelas kekuatan mereka akan jauh berkurang, Cassano juga berkomentar bahwa tanpa
Thiago Silva, Milan hanya akan berjuang memperebutkan posisi 3 Seri a musim
depan, apalagi jika bintang-bintang itu turut pergi.
Pembelian gratis Riccardo Montolivo dan
Bakeye Traore adalah manuver cerdik Milan, dan hal ini bukan tidak mungkin akan
diikuti oleh belanja pemain murah tapi
bagus lainnya dalam waktu dekat. Jika transfer Thiago Silva terwujud, Milan
Channel sudah menguak rencana transfer Milan untuk menggaet Francesco Acerbi
secara gratis dari Chievo. Sementara uang senilai maksimal 10 juta euro akan
digunakan untuk membeli salah satu dari Angelo Ogbonna, Davide Astori, Dede
ataupun Matias Silvestre. Jika penjualan masif terjadi musim ini, akan ada revolusi
besar-besaran dalam skuad Max Allegri, tentunya dengan mengalokasikan rencana
penghematan senilai 25 juta euro.
Apapun yang menjadi keputusan para petinggi,
tifosi hanya bisa menerima, dan paling maksimal adalah melakukan protes.
Kepergian para pemain berkelas dunia hanya akan membuat Milan kembali berkubang
pada kenihilan gelar dan keterasingan yang makin menjadi dari para klub elit
Eropa. Atau, Milan bisa kembali melakukan pembelian pada calon bintang seperti
yang mereka lakukan pada Kaka dan Thiago Silva, lalu menjual mereka dengan
harga selangit ketika mereka sudah jadi bintang.
Sisi positif dari setiap kejadian tentu saja
ada. Jika uang gemuk hasil transfer pemain bintang resmi diperoleh, mereka bisa
selamat dari monitoring Financial Fair Play sekaligus membeli banyak
pemain muda Italia, seperti yang dilakukan oleh Juventus. Kehadiran Italiano
yang mendominasi tim terbukti sukses diadaptasi oleh Juventus dengan raihan tak
terkalahkan sepanjang musim.
Sebagai tifosi, kita tentu harus memiliki
pengetahuan mendalam sebelum protes atau marah-marah di social media tanpa ujung. Penjualan pemain bintang adalah
konsekuensi logis dari posisi keuangan seperti yang dimiliki Milan sekarang,
kecuali jika tiba-tiba ada investor baru yang masuk dan menyuntikkan dana besar
berupa pendapatan sponsorship dari
perusahaan mereka, seperti yang dilakukan Sheikh Al Maktoum, yang menyuntikkan sponsorship gemuk kepada Manchester City
dalam perusahaan Etihad-nya. Tidak ada yang tidak sedih ditinggalkan pemain
bintang, namun dalam hidup kita kadang dipaksa mengambil keputusan terbaik diantara
situasi yang buruk. Dan untuk klub sebesar Milan, hidup harus terus berjalan. Because We are Milan!
jika tak ada pemikiran cerdas dari Allegri, Milan akan kesulitan di lini belakang. tapi dapur finansial memang mesti diberesin dulu sih
ReplyDeleteTulisan yang bagus..
ReplyDeleteSiapapun yang masuk dan keluar, Milan tetap di hati.
Like2...setelah membaca tulisan Anda,saya sangat mengerti knp Milan seperti ini, sangat terpaksa,
ReplyDeletethx gan :D
ijin re-post y gan di blogku yg newbie mcandrawilisp.blogspot.com
FORZA MILAN :D
apapun yg terjadi merah hitam tetap dihati....
ReplyDeletecoz
we are milan...
^_^
tulisan yang membuka wawasan..
ReplyDeletememang harus ada yang dikorbankan kalau mau membenarkan tim. tidak bisa terus menerus gali dan tutup lubang.
penjualan ibra dan thiago silva sekaligus memang akan memberikan rasa kehilangan, namun memberikan pemasukan kepada milan dari segi keuangan.
sekarang Milan masih dalam tahap pembangunan kembali skuad, jika memberikan kesempatan kepada para pemain muda untuk unjuk diri, ditambah dengan beberapa pembelian cerdas yang memang perlu, milan akan bertahan.
Milan ada sebelum Thiago dan Ibra, dan akan terus ada tanpa Thiago dan Ibra.