Pages

Saturday, February 23, 2013

Jelang Derby Milano: Bahayanya Euforia


Kemenangan atas Barcelona mungkin membuat beberapa Milanisti tidak bisa tidur beberapa hari ini. Mereka sibuk membicarakan kemenangan ini dengan semua orang hingga mulut mereka pegal. Belum lagi, kemenangan ini seolah menegaskan bahwa tim ini telah bangkit dan kembali ke jajaran tim elit di Eropa, tidak hanya di Italia.

Sanjungan, pujian dan pembahasan luas dari berbagai media memang konsekuensi logis dari sebuah kemenangan sensasional. Percayalah bahwa Seri A akan kembali dilirik orang setelah ini, alih-alih terus menonton liga mainstream EPL. Bagaimana tidak, Milan mengalahkan tim terbaik di dunia dengan mutlak, baik dari segi skor maupun permainan di lapangan. Logika sederhananya, Milan dapat mengalahkan siapapun jika telah mengalahkan tim terbaik dunia.

Tetapi sayangnya, sepak bola jauh dari logika sederhana. Sepak bola tidak sesederhana itu, sepak bola lebih dari soal hidup dan mati jika meminjam kata-kata Bill Shankly. Sepak bola tidak mengenal keabadian, dan jika taktik Milan kelak akan menjadi referensi tim-tim lain untuk menjungkalkan Barcelona, ini mungkin akan mengakhiri sebuah hegemoni dari klub raksasa Catalan yang dalam beberapa tahun kebelakang seperti mengajarkan dunia bagaimana sepak bola seharusnya dimainkan itu.

Barcelona tidak pernah memiliki standar baik atau buruk, tidak mengenal hari baik atau buruk. Yang menjadi standar mereka adalah mengumpan bola dengan cepat, menguasai laga, melakukan pressing ketat kepada lawan yang menguasai bola, mencetak gol sebanyak-banyaknya, bahkan jika perlu berbuat curang di lapangan.

Namun Milan memberi mereka hari yang buruk untuk pertama kalinya. Ini adalah kali pertama sepanjang pengamatan saya Barcelona kalah segalanya dan mati kutu dalam sebuah pertandingan. Ketika untuk pertama kalinya kalah di La Liga musim ini dari Real Sociedad, Lionel Messi berkomentar diplomatis bahwa “memang ini saatnya Barcelona kalah.” Yang bisa diartikan bahwa Barcelona tidak terpukul-terpukul amat atas kekalahan itu. Ini sangat berbeda dengan kekalahan atas Milan yang langsung disambut masygul oleh para punggawa mereka. Gerard Pique berkomentar bahwa akhirnya orang menyadari bahwa Barcelona memang tidak bagus-bagus amat dan bisa juga kalah, sementara Daniel Alves mengimbuhi bahwa Barcelona memang tampil buruk.

Tampil buruk itulah yang tidak biasa dari Barcelona. Sistem permainan mereka sudah terlalu canggih hingga ruang untuk tampil buruk dan melakukan kesalahan sangat minim. Faktanya adalah Allegri mampu menerapkan taktik brilian yaitu menutup segala ruang ekspresi para Cules, yang akan membatasi ruang gerak mereka.

“Kalo kata Jonathan Wilson, sepak bola adalah memanfaatkan ruang.” Begitu ujar rekan saya suatu kali. Allegri berhasil memanfaatkan ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh Jordi Alba dan Daniel Alves untuk mengiris pertahanan Barcelona yang tinggal menyisakan Puyol dan Pique, serta dibantu bek komplementer Sergio Busquets. Dengan kecepatan yang dimiliki El Shaarawy, Boateng maupun Niang dan klinisnya penyelesaian kaki kiri Boateng dan Muntari, Milan sukses menenggelamkan Barca.

Rangkaian cerita yang bagaikan dongeng itu tidak akan mudah dilupakan, dan dongeng itu akan coba dilanjutkan Milan dalam pertemuan derby akhir pekan ini menghadapi Inter. Inter adalah tim yang kondisinya bertolak belakang dengan Milan. Entah apa yang terjadi dengan manajemen mereka, pemain-pemain bagus terus dilepas. Coutinho, Longo, dan Marko Livaja yang justru tenaganya bakal dibutuhkan seiring cedera panjangnya Diego Milito malah mereka lepas.

Mereka malah mendatangkan pemain-pemain berumur di awal musim. Cassano yang sudah 30 tahun, Gaby Mundigayi yang sudah 31 tahun, bahkan Tomasso Rocchi yang sudah jarang bermain di Lazio mereka datangkan. Fenomena revolusi setengah hati dari manajemen Inter inilah mungkin yang menjadi alasan penurunan performa mereka belakangan ini.

Inter seperti tidak beruntung karena disaat performa mereka sedang buruk-buruknya, mereka harus melakoni partai derby melawan tim yang sedang on-fire. Namun sekali lagi saya bilang, tidak ada logika yang sederhana dalam sepak bola. Terlebih ini adalah partai derby penuh gengsi yang membelah kota Milan menjadi merah dan biru.

Inter memang seperti mencari gara-gara dengan menggunakan warna merah pada kostum away mereka. Entah maksudnya apa, namun hal itu seperti menunjukkan betapa mereka sangat percaya diri bahwa merekalah kini penguasa kota Milan. Memang, lemari trofi mereka lebih penuh ketimbang Milan jika melihat pada kondisi lima tahun kebelakang. Bara api kembali ditimbulkan dengan kepindahan Cassano dari Milanello ke Appiano Gentile seraya menyebut Inter adalah klub yang menjadi impiannya sejak kecil.

Belum dingin bara tersebut, Milan membalas dengan merekrut eks pemain mereka, Balotelli. Balo yang cuma mencetak sebuah gol dalam rataan tiga pertandingan di Inter (maupun di Manchester City) kini seolah menemukan rumahnya di Milan. Balo berubah menjadi lebih dewasa dan juga lebih tajam bersama klub idamannya ini. Balo is coming home. Akan menarik menantikan bagaimana sambutan Interisti pada eks pemainnya ini, sebagaimana sambutan Milanisti pada Cassano di pertemuan pertama.

Partai derby Milano ini tentu tidak akan mudah bagi Milan. Ingat, tiga laga terakhir derby kesemuanya dimenangi Inter, dan mereka memenanginya di saat kondisi terakhir mereka juga sedang tidak lebih baik dari Milan. Kita bisa mengenyampingkan kondisi dan statistik terakhir jika menyangkut derby. Lebih spesifik lagi, Stramaccioni selalu menang dalam dua pertemuannya dengan Allegri.

“Kami tidak akan tampil seperti ini saat menghadapi Milan.” Tegas kapten Javier Zanetti sesaat setelah mereka ditaklukkan Fiorentina 1-4 pekan lalu. Ini seperti menjadi alarm bagi Milan untuk memberikan fokus mereka seutuhnya pada laga ini, dan secepatnya melupakan kemenangan lawan Barcelona.

“Euforia ini sebenarnya berbahaya. Kemenangan lawan Barcelona memang fantastis, namun kami sesungguhnya belum meraih apapun,” tegas Philippe Mexes, pemain yang di lapangan kadang lebih banyak mengoleksi kartu ketimbang mengamankan pertahanan. Ucapan Mexes tadi seperti membawa Milan kembali ke bumi dan tidak terbang terlalu lama, karena Inter bisa saja menemukan kebangkitannya di partai ini.

“Tidak ada yang bisa diprediksi dari partai derby.” Demikian ditutup oleh Mattia De Sciglio. Milan harus menaruh respek pada Inter, karena bagaimanapun juga jurang poin yang memisahkan mereka tidaklah dalam. Inter berada di posisi 5 dan hanya tertinggal 2 poin dari Milan. Kemenangan dalam derby ini tentu otomatis membawa mereka menyalip Milan. 

Jangan pernah berharap tifosi Inter memasuki lapangan dan lalu berteriak "Basta!" atau "Cukup!" ketika mereka sudah tertinggal lima gol dari Milan. Dengan segala hormat pada Inter yang hebat, momen itu memang orgasmik, namun percayalah bahwa itu sulit untuk diulangi lagi.

No comments:

Post a Comment