Kemenangan atas Barcelona mungkin membuat beberapa Milanisti
tidak bisa tidur beberapa hari ini. Mereka sibuk membicarakan kemenangan ini
dengan semua orang hingga mulut mereka pegal. Belum lagi, kemenangan ini seolah
menegaskan bahwa tim ini telah bangkit dan kembali ke jajaran tim elit di
Eropa, tidak hanya di Italia.
Sanjungan, pujian dan pembahasan luas dari berbagai media
memang konsekuensi logis dari sebuah kemenangan sensasional. Percayalah bahwa Seri A akan kembali dilirik orang setelah ini, alih-alih terus menonton liga mainstream EPL. Bagaimana tidak,
Milan mengalahkan tim terbaik di dunia dengan mutlak, baik dari segi skor
maupun permainan di lapangan. Logika sederhananya, Milan dapat mengalahkan
siapapun jika telah mengalahkan tim terbaik dunia.
Tetapi sayangnya, sepak bola jauh dari logika sederhana. Sepak
bola tidak sesederhana itu, sepak bola lebih dari soal hidup dan mati jika
meminjam kata-kata Bill Shankly. Sepak bola tidak mengenal keabadian, dan jika taktik
Milan kelak akan menjadi referensi tim-tim lain untuk menjungkalkan Barcelona,
ini mungkin akan mengakhiri sebuah hegemoni dari klub raksasa Catalan yang
dalam beberapa tahun kebelakang seperti mengajarkan dunia bagaimana sepak bola
seharusnya dimainkan itu.
Barcelona tidak pernah memiliki standar baik atau buruk,
tidak mengenal hari baik atau buruk. Yang menjadi standar mereka adalah
mengumpan bola dengan cepat, menguasai laga, melakukan pressing ketat kepada
lawan yang menguasai bola, mencetak gol sebanyak-banyaknya, bahkan jika perlu
berbuat curang di lapangan.
Namun Milan memberi mereka hari yang buruk untuk pertama
kalinya. Ini adalah kali pertama sepanjang pengamatan saya Barcelona kalah
segalanya dan mati kutu dalam sebuah pertandingan. Ketika untuk pertama kalinya
kalah di La Liga musim ini dari Real Sociedad, Lionel Messi berkomentar
diplomatis bahwa “memang ini saatnya Barcelona kalah.” Yang bisa diartikan
bahwa Barcelona tidak terpukul-terpukul amat atas kekalahan itu. Ini sangat
berbeda dengan kekalahan atas Milan yang langsung disambut masygul oleh para
punggawa mereka. Gerard Pique berkomentar bahwa akhirnya orang menyadari bahwa
Barcelona memang tidak bagus-bagus amat dan bisa juga kalah, sementara Daniel Alves
mengimbuhi bahwa Barcelona memang tampil buruk.
Tampil buruk itulah yang tidak biasa dari Barcelona. Sistem permainan
mereka sudah terlalu canggih hingga ruang untuk tampil buruk dan melakukan
kesalahan sangat minim. Faktanya adalah Allegri mampu menerapkan taktik brilian
yaitu menutup segala ruang ekspresi para Cules, yang akan membatasi ruang gerak
mereka.
“Kalo kata Jonathan Wilson, sepak bola adalah memanfaatkan
ruang.” Begitu ujar rekan saya suatu kali. Allegri berhasil memanfaatkan
ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh Jordi Alba dan Daniel Alves untuk
mengiris pertahanan Barcelona yang tinggal menyisakan Puyol dan Pique, serta
dibantu bek komplementer Sergio Busquets. Dengan kecepatan yang dimiliki El
Shaarawy, Boateng maupun Niang dan klinisnya penyelesaian kaki kiri Boateng dan
Muntari, Milan sukses menenggelamkan Barca.
Rangkaian cerita yang bagaikan dongeng itu tidak akan mudah
dilupakan, dan dongeng itu akan coba dilanjutkan Milan dalam pertemuan derby
akhir pekan ini menghadapi Inter. Inter adalah tim yang kondisinya bertolak
belakang dengan Milan. Entah apa yang terjadi dengan manajemen mereka, pemain-pemain
bagus terus dilepas. Coutinho, Longo, dan Marko Livaja yang justru tenaganya
bakal dibutuhkan seiring cedera panjangnya Diego Milito malah mereka lepas.
Mereka malah mendatangkan pemain-pemain berumur di awal
musim. Cassano yang sudah 30 tahun, Gaby Mundigayi yang sudah 31 tahun, bahkan
Tomasso Rocchi yang sudah jarang bermain di Lazio mereka datangkan. Fenomena revolusi
setengah hati dari manajemen Inter inilah mungkin yang menjadi alasan penurunan
performa mereka belakangan ini.
Inter seperti tidak beruntung karena disaat performa mereka
sedang buruk-buruknya, mereka harus melakoni partai derby melawan tim yang
sedang on-fire. Namun sekali lagi saya bilang, tidak ada logika yang sederhana
dalam sepak bola. Terlebih ini adalah partai derby penuh gengsi yang membelah
kota Milan menjadi merah dan biru.
Inter memang seperti mencari gara-gara dengan menggunakan warna
merah pada kostum away mereka. Entah maksudnya apa, namun hal itu seperti
menunjukkan betapa mereka sangat percaya diri bahwa merekalah kini penguasa
kota Milan. Memang, lemari trofi mereka lebih penuh ketimbang Milan jika
melihat pada kondisi lima tahun kebelakang. Bara api kembali ditimbulkan dengan
kepindahan Cassano dari Milanello ke Appiano Gentile seraya menyebut Inter
adalah klub yang menjadi impiannya sejak kecil.
Belum dingin bara tersebut, Milan membalas dengan merekrut
eks pemain mereka, Balotelli. Balo yang cuma mencetak sebuah gol dalam rataan
tiga pertandingan di Inter (maupun di Manchester City) kini seolah menemukan
rumahnya di Milan. Balo berubah menjadi lebih dewasa dan juga lebih tajam
bersama klub idamannya ini. Balo is coming home. Akan menarik menantikan
bagaimana sambutan Interisti pada eks pemainnya ini, sebagaimana sambutan Milanisti
pada Cassano di pertemuan pertama.
Partai derby Milano ini tentu tidak akan mudah bagi Milan. Ingat,
tiga laga terakhir derby kesemuanya dimenangi Inter, dan mereka memenanginya
di saat kondisi terakhir mereka juga sedang tidak lebih baik dari Milan. Kita bisa
mengenyampingkan kondisi dan statistik terakhir jika menyangkut derby. Lebih spesifik
lagi, Stramaccioni selalu menang dalam dua pertemuannya dengan Allegri.
“Kami tidak akan tampil seperti ini saat menghadapi Milan.”
Tegas kapten Javier Zanetti sesaat setelah mereka ditaklukkan Fiorentina 1-4
pekan lalu. Ini seperti menjadi alarm bagi Milan untuk memberikan fokus mereka
seutuhnya pada laga ini, dan secepatnya melupakan kemenangan lawan Barcelona.
“Euforia ini sebenarnya berbahaya. Kemenangan lawan
Barcelona memang fantastis, namun kami sesungguhnya belum meraih apapun,” tegas Philippe Mexes, pemain yang di lapangan kadang lebih banyak
mengoleksi kartu ketimbang mengamankan pertahanan. Ucapan Mexes tadi seperti
membawa Milan kembali ke bumi dan tidak terbang terlalu lama, karena Inter bisa
saja menemukan kebangkitannya di partai ini.
“Tidak ada yang bisa diprediksi dari partai derby.” Demikian ditutup oleh Mattia De Sciglio. Milan harus menaruh respek pada Inter, karena
bagaimanapun juga jurang poin yang memisahkan mereka tidaklah dalam. Inter berada
di posisi 5 dan hanya tertinggal 2 poin dari Milan. Kemenangan dalam derby ini
tentu otomatis membawa mereka menyalip Milan.
Jangan pernah berharap tifosi Inter memasuki lapangan dan lalu berteriak "Basta!" atau "Cukup!" ketika mereka sudah tertinggal lima gol dari Milan. Dengan segala hormat pada Inter yang hebat, momen itu memang orgasmik, namun percayalah bahwa itu sulit untuk diulangi lagi.
No comments:
Post a Comment