Pages

Sunday, February 10, 2013

Pelajaran dari Milan Glorie: Antara Idola utopis dan Local Hero

Pemandangan yang so yesterday

Apa yang anda lakukan ketika melihat langsung sang idola? Meluapkan histeria? Membuka lebar-lebar sifat ekstrovert dengan menuliskan setiap detik momen itu di status social media? Turut mengantre acara meet and greet meski harga tiketnya tidak realistis?

Terserah. Semuanya sah-sah saja. Semua orang punya saat di mana dirinya dengan tulus terlihat rapuh dan merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seorang manusia lain, dan rela melakukan apa saja demi pujaannya.

Andriy Shevchenko adalah salah satu idola saya dalam dunia sepak bola. Di antara tokoh-tokoh lain yang saya kagumi belakangan melalui proses pembelajaran dan pengalaman, Sheva termasuk paling awal karena sosoknya masuk hingga ke alam bawah sadar saya melalui gol-gol yang ia ciptakan dulu, dan membuat saya tidak malu hati untuk menjadi impostor dirinya ketika sedang bermain sepak bola seadanya bersama teman-teman.

Saya sebenarnya berksempatan untuk bertatap muka langsung dengan dia kemarin. Mungkin menanyakan satu-dua pertanyaan mudah yang pasti sudah biasa dijawab sang mantan bintang, juga berfoto bareng. Namun sebuah penawaran tiket yang terjadi di injury time menjadi tidak berarti karena saya sudah terlanjur memiliki agenda lain yang tidak bisa saya batalkan. Toh meski demikian saya tidak sampai meratapinya seperti ABG labil yang baru diselingkuhin selingkuhannya.

Saya lebih melihat Sheva sebagai pesepak bola, di luar itu saya melihatnya sebagai manusia biasa. Saya tidak sebegitunya ingin bertemu langsung, karena ekstasinya Sheva bagi saya adalah melihatnya langsung bermain bola dengan jersey tim sepak bola, bukan menjawab pertanyaan normatif setting-an dengan kostum kasual dan rambut yang ditata rapi.

Keinginan saya terwujud. Saya lihat Sheva memasuki lapangan, bermain dan mencetak gol melalui satu-satunya peluang gol yang ia dapatkan. Ini seperti bukti masih klinis dan dinginnya ia di depan gawang lawan. Seperti halnya Michael Phelps yang tidak akan lupa cara berenang, Sheva juga tidak akan lupa cara mencetak gol. Selebrasi khasnya juga ia tunjukkan, seperti membawa saya ke era kejayaan sang bintang. Pada pertandingan Milan Glorie lawan Indonesia All Stars itu, kecepatan memang sudah bukan lagi atribut andalan Sheva seperti satu setengah dekade lalu, tapi percayalah bahwa akan selalu ada ancaman bagi lawan setiap ia berada di lapangan.

Selebrasi khas itu
Tidak hanya Sheva, tapi ada pula Maldini. La Bandiera ini masih mampu menyuguhkan permainan cantik, elegan dan berkelas seperti biasanya. Ia adalah sosok pemain utopis yang karirnya hanya kurang trofi Piala Dunia. Maldini adalah sedikit dari seorang pemain belakang yang punya kemampuan kontrol bola, visi, umpan, kecerdasan dan kepemimpinan yang nyata. Sebuah kombinasi kemampuan yang langka yang memang membedakan pemain bagus dan pemain top. Kemarin, Maldini bermain selama 90 menit sebagai bek kiri, posisi saat ia memulai karirnya. Dia menyuguhkan standar tinggi, standar pemain top. And Maldini will always be the top player.

Hujan deras turun sebelum pertandingan, namun berangsur berhenti seiring dimulainya laga. Lapangan yang basah dan cuaca yang sejuk memang sangat menyenangkan buat dipakai bermain sepak bola, lebih dari apapun juga. Para serdadu tua Milan tetap saja unggul taktik dan organisasi permainan dibanding tim Indonesia All Stars, yang padahal masih diperkuat beberapa pemain aktif.

Jarak antar pemain, positioning, juga umpan-umpan terobosan memikat memang tidak bisa menipu bagaimana para legenda ini memang pernah menjadi poster boy di kamar banyak anak-anak di seluruh dunia. Bahkan seorang Pietro Vierchowod yang sudah lebih cocok memancing atau menjadi bintang tamu acara masak-memasak saja masih memiliki game intelligent yang baik.

Satu hal yang merusak hidangan spesial kemarin adalah saat Milanisti menyoraki Bepe. Ya, Bepe sang legenda Indonesia, negara yang mereka tinggali itu. Bepe disoraki oleh suporter yang padahal masih suka sarapan dengan nasi uduk dan bukan pizza itu.

Tidak peduli apakah Bepe itu seorang Interisti (lagipula jika Interisti memangnya kenapa?), tapi mereka seharusnya lebih memandang Bepe sebagai legenda Indonesia. Untungnya Bepe memang dasarnya pemain berkelas. Di akun twitternya dia dengan elegan menyebut bahwa mendapat sorakan adalah hal yang biasa, dan secara khusus ia malah membagi momen kebahagiaannya saat bertukar kaus dengan Kurniawan Dwi Yulianto, idolanya yang juga legenda Indonesia.

Ya, Bepe sayangnya menjalani dunia paradoksal selama pertandingan kemarin. Ia disoraki di negeri sendiri, di stadion yang biasanya bersahabat dengannya, oleh publik yang seharusnya selalu berada di belakangnya. Sepak bola memang kadang tidak masuk akal, namun saya sangat sulit mencerna kelakuan suporter yang sampai menyoraki legendanya sendiri.

Mereka tetaplah sama-sama legenda

Semoga kedatangan tokoh-tokoh utopia pengantar tidur macam Sheva atau Maldini tidak serta merta menggerus kebanggaan kita pada pahlawan yang berada di depan mata sehari-hari. Tidak juga membuat kita lupa pada sosok legenda pahlawan bangsa yang dekat dengan kita seperti Mas Bambang Pamungkas.

No comments:

Post a Comment