Tidak ada hal
khusus yang saya bisa soroti dari kemenangan ke 11 Milan dari 17 laga terakhir lawan Parma selain permainan yang kurang memuaskan dari Rossoneri. Saya
juga sudah mulai bosan mereview pertandingan Milan kali ini setelah sebelumnya
juga absen memberi catatan pertandingan lawan Cagliari. Namun melihat
sedikitnya tulisan soal kompetisi Seri a dan tentunya Milan di media, toh saya
jadi merasa termotivasi untuk sedikit mengguratkan sedikit curhatan yang akan
lebih terdengar seperti meracau ini.
Jika anda bukan
penggemar Seri a, sebaiknya anda berhenti membaca posting ini dan ganti saja laman
anda dengan berita bagaimana Real Madrid tertahan imbang oleh Manchester
United, Arsenal yang lagi-lagi tanpa gelar, atau Liverpool yang tiba-tiba
menang besar.
Oke, kembali ke
lapangan (macam komentator tv aje). Milan yang bermain di San Siro tidak mampu
mengembangkan permainan mereka dan mengkreasi peluang melawan Gialloblu. Memang
Parma adalah tim yang sedang menanjak dan memainkan sepak bola yang bagus.
Gabriel Paletta seolah menemukan permainan terbaiknya dan Ishak Belfodil adalah
penyerang masa depan seri a.
Allegri
menurunkan 4 pemain gelandang yaitu Montolivo, Muntari, Nocerino dan Boateng.
Diatas lapangan, Boateng tampil di sisi penyerang sayap kiri yang biasanya
dihuni si fenomenal Stephan El Shaarawy.
Jujur saja, saya
lebih suka menyaksikan Milan yang bangkit sebelum Balotelli datang ketimbang
sekarang. Milan dengan Balotelli ini seperti mengulang keadaan musim lalu
ketika Zlatan Ibrahimovic masih bercokol di lini depan Rossoneri.
Balo mengambil
eksekusi bola mati, mengalirkan bola dari tengah ke sayap, menahan bola,
menyelesaikan peluang persis seperti apa yang Ibra lakoni selama menghabiskan
dua musim di Milanello. Akibatnya, permainan Milan menjadi tidak sekohesif
masa-masa Oktober hingga Desember lalu.
Milan memang
meraih hasil-hasil menggembirakan, dan untuk itu saya tidak ragu mendaulat Max
Allegri sebagai contender pelatih terbaik Seri a musim ini bersama nama-nama
pelatih lain seperti Vladimir Petkovic yang stabil mengangkat Lazio ke papan
atas Seri a dan melaju ke Final Coppa Italia atau Vincenzo Montella yang
menjadikan Fiorentina sebagai penantang pemburu tiket Liga Champions setelah
musim sebelumnya habis-habisan bertarung di zona relegasi.
Allegri adalah
pelatih yang bekerja dibawah banyak tekanan. Ia dipaksa memainkan pemain yang seadanya
(untuk ukuran Milan), merombak sistem permainan dan jangan lupa bahwa ia harus tetap
mempertahankan lagi spirit menang sekaligus kekeluargaan bagi Rossoneri. Tidak peduli
apa kata orang, saya lebih melihat bahwa Allegri telah dikuras kemampuannya
sampai pada batas tak terbayangkan.
Anda tidak bisa
menolak lupa bahwa eks pelatih Cagliari ini beberapa bulan lalu telah berada di
ancaman pemecatan. Saat itu, Milan menghadapi kalender berat karena Napoli,
Juventus dan Anderlecht sudah menunggu sebagai lawan. Nyatanya, Milan meraih
dua kemenangan diantara 3 laga itu. Memang tactical failure sempat dilakukannya
kala menghadapi Fiorentina di San Siro di periode itu, namun selanjutnya Milan
dibawanya kepada identitas baru lalu kembali akrab dengan kemenangan dan
perlahan tapi pasti posisi papan atas digapai.
Bukan perkara
gampang melakoni start baik dengan tim yang habis dipreteli diawal musim
seperti Milan. Saya memang sempat meragukan kapasitasnya. Berbagai kritik
seputar pemilihan pemain, pemaksaan pola 4-3-1-2, hasil-hasil buruk melawan tim
lemah, dipasangnya Boateng di pos penyerang sayap, seringnya terjadi pergantian
kapten tim, permasalahan siapa duet terbaik di sentral pertahanan hingga
keributannya dengan Pippo Inzaghi dan urgensi digelarnya ritiro di akhir pekan seolah
menjadi santapan lezat para pengkritik. Mereka mengonfirmasi bahwa telah
terjadi krisis di Via Turatti. Namun sang pelatih mampu melalui semua itu.
James Horncastle
dalam tulisannya bilang bahwa Allegri bukanlah pelatih yang diinginkan
Berlusconi. Opa Berlusconi yang keinginannya tidak boleh ditolak itu lebih
menyukai Marco Van Basten, Frank Rijkaard, bahkan Roberto Donadoni untuk duduk ditemani
Mauro Tassotti di bangku kepelatihan. Bahkan sampai ada isu bahwa Milan akan
dijual ke keluarga Ferrero yang seperti memperlihatkan bahwa Berlusconi seperti
sudah kehilangan selera mengurusi Milan.
Namun Allegri
menjawab dengan hasil di lapangan. Dengan pemain-pemain non bintang yang
dibekalkan kepadanya sebagai amunisi, ia mengubah taktik, keluar dari zona
nyaman, mendengarkan masukan, mencoba segala kemungkinan hingga ia ajeg dengan
pola 4-3-3. Penempatan Montolivo sebagai regista, Flamini sebagai enforcer dan
Boateng bergantian dengan Nocerino sebagai mezz’ala dibantu agresivitas bek
sayap dan dua penyerang sayap fit dengan kemampuan menyerang dan bertahan sama
baiknya menjadi kunci permainannya kini.
Rangkaian hasil
positif tadi membuat Berlusconi kembali turun gunung seperti seorang pembina Karang
Taruna yang puas melihat anak-anak remaja binaannya bekerja dengan rajin. Berlusconi
kembali mengeluarkan visi cita rasa tingginya dengan mencoba mendatangkan
bintang. Berdalih romantisme, ia coba mendatangkan Kaka. Namun pada akhirnya
pilihan jatuh pada Mario Balotelli, pemain yang sebelumnya ia pernah sebut
sebagai “apel busuk”.
Romantisme toh
masih ada. Catatan rekan saya di Bolatotal sungguh jelas memperlihatkan fragmen
romantisme dalam sepak bola memang ada. Wujud seorang maverick seperti
Balotelli tiba-tiba berubah menjadi figur seorang kakak bagi M’baye Niang. Balo
dengan penuh wibawa dan tanpa menyombongkan diri menghampiri Niang sesaat
setelah tendangan bebas berkelasnya menjebol gawang Parma. Niang yang
sebelumnya gusar terlihat terhibur dan bisa menerima hal ini. Pemandangan seperti
inilah yang sangat jarang terjadi dalam lapangan sepak bola, yang membuat para
penonton yang meski hanya menyaksikan ribuan kilometer jauhnya dari kotak
canggih bernama televisi turut tersenyum haru.
Berlusconi memang
seorang raja yang perkataannya tidak boleh dibantah, namun tidak bisa dielakkan
lagi bahwa ia jugalah yang menciptakan kultur la famiglia di Milan. Ketika Zlatan
Ibrahimovic bertengkar dengan Oguchi Onyewu di sesi latihan, Adriano Galliani,
si Ronald Weasley-nya Berlusconi dengan arif menyelesaikan permasalahan antara
mereka berdua secara kekeluargaan alih-alih dengan hukuman denda atau skors. “Ini
Milan, kita tidak melakukannya dengan cara ini.” Begitu ucap Galliani pada
Ibra.
Allegri,
bagaimanapun juga telah membuat Berlusconi kembali rela berkunjung ke Milanello
juga menonton langsung ke San Siro seperti seorang Bapak yang menunggui anaknya
di Taman Kanak-Kanak. Bagi Berlusconi, pemain bintang adalah solusi untuk
menjadi tim super, tidak peduli ia didatangkan dari klub lain atau dari akademi
sendiri. Mendatangkan Balotelli memang belum tentu mendatangkan kesuksesan,
namun kehadirannya yang mengundang histeria tifosi adalah sebuah gerimis di
musim kemarau. Balotelli sudah dijadikan simbol kebangkitan menuju dinasti
Milan berikutnya, mengembalikan khitah Milan sebagai tim top dan sekaligus
keluar dari jeratan finansial yang sempat membuat geger negeri peninsula ini.
Balotelli memang
baru menaikkan penjualan kaus, juga baru memainkan tiga laga. Kehadirannya juga
bisa memakan korban. El Shaarawy boleh jadi tidak setajam di paruh pertama,
Pazzini boleh jadi akan manyun di bangku cadangan. Kedatangan Balotelli memaksa
Allegri kembali pada situasi saat Ibra masih bercokol. Tugasnya kini adalah
menemukan irisan antara visi kebintangan Berlusconi dengan visi The New Milan
yang telah susah payah ia bangun selama ini.
Dan perdebatan
mengenai apakah Allegri cocok menjadi calon pelatih terbaik rasanya sudah tidak
relevan lagi. Terpilih atau tidak, ia tetap telah bekerja dengan baik tidak
peduli tifosi berkata apa.
Tulisan ini saya
tutup dengan dua kalimat.
Saya bukan
pembela Allegri, tapi saya pencinta Milan yang selalu bilang bagus jika memang
bagus dan jelek jika memang jelek.
Saya mungkin pencinta
Milan, tapi jauh diatas itu saya pencinta sepak bola yang tidak memandang sepak
bola hanya terpusat pada sebuah bendera klub.
ah... win is a win. hal konkrit yg dilakukan di lapangan adalah yg penting bagi sepakbola memang...
ReplyDeletetapi bagi supporter / fans, hasil skor yg terpenting. karena 3 poin adalah perjuangan ditambah keberuntungan, karena lawan ternyata tidak lebih baik.
apalagi bagi tim yg berjuang dari menit ke menit, hari ke hari, dan dari satu prtandingan ke pertandingan yg laen.. poin dan kemenangan adalah mutlak jadi tolak ukur keberhasilan perjuangan mereka sebagai yang terbaik.
jadi terkadang bermain bagus atau jelek terkadang tak penting, karena kemenangan adalah kemenangan - coach