Pages

Monday, February 18, 2013

Bukan soal menjadi yang terbaik


Tidak ada hal khusus yang saya bisa soroti dari kemenangan ke 11 Milan dari 17 laga terakhir  lawan Parma selain permainan yang kurang memuaskan dari Rossoneri. Saya juga sudah mulai bosan mereview pertandingan Milan kali ini setelah sebelumnya juga absen memberi catatan pertandingan lawan Cagliari. Namun melihat sedikitnya tulisan soal kompetisi Seri a dan tentunya Milan di media, toh saya jadi merasa termotivasi untuk sedikit mengguratkan sedikit curhatan yang akan lebih terdengar seperti meracau ini.

Jika anda bukan penggemar Seri a, sebaiknya anda berhenti membaca posting ini dan ganti saja laman anda dengan berita bagaimana Real Madrid tertahan imbang oleh Manchester United, Arsenal yang lagi-lagi tanpa gelar, atau Liverpool yang tiba-tiba menang besar.

Oke, kembali ke lapangan (macam komentator tv aje). Milan yang bermain di San Siro tidak mampu mengembangkan permainan mereka dan mengkreasi peluang melawan Gialloblu. Memang Parma adalah tim yang sedang menanjak dan memainkan sepak bola yang bagus. Gabriel Paletta seolah menemukan permainan terbaiknya dan Ishak Belfodil adalah penyerang masa depan seri a.

Allegri menurunkan 4 pemain gelandang yaitu Montolivo, Muntari, Nocerino dan Boateng. Diatas lapangan, Boateng tampil di sisi penyerang sayap kiri yang biasanya dihuni si fenomenal Stephan El Shaarawy.

Jujur saja, saya lebih suka menyaksikan Milan yang bangkit sebelum Balotelli datang ketimbang sekarang. Milan dengan Balotelli ini seperti mengulang keadaan musim lalu ketika Zlatan Ibrahimovic masih bercokol di lini depan Rossoneri.

Balo mengambil eksekusi bola mati, mengalirkan bola dari tengah ke sayap, menahan bola, menyelesaikan peluang persis seperti apa yang Ibra lakoni selama menghabiskan dua musim di Milanello. Akibatnya, permainan Milan menjadi tidak sekohesif masa-masa Oktober hingga Desember lalu.

Milan memang meraih hasil-hasil menggembirakan, dan untuk itu saya tidak ragu mendaulat Max Allegri sebagai contender pelatih terbaik Seri a musim ini bersama nama-nama pelatih lain seperti Vladimir Petkovic yang stabil mengangkat Lazio ke papan atas Seri a dan melaju ke Final Coppa Italia atau Vincenzo Montella yang menjadikan Fiorentina sebagai penantang pemburu tiket Liga Champions setelah musim sebelumnya habis-habisan bertarung di zona relegasi.

Allegri adalah pelatih yang bekerja dibawah banyak tekanan. Ia dipaksa memainkan pemain yang seadanya (untuk ukuran Milan), merombak sistem permainan dan jangan lupa bahwa ia harus tetap mempertahankan lagi spirit menang sekaligus kekeluargaan bagi Rossoneri. Tidak peduli apa kata orang, saya lebih melihat bahwa Allegri telah dikuras kemampuannya sampai pada batas tak terbayangkan.

Anda tidak bisa menolak lupa bahwa eks pelatih Cagliari ini beberapa bulan lalu telah berada di ancaman pemecatan. Saat itu, Milan menghadapi kalender berat karena Napoli, Juventus dan Anderlecht sudah menunggu sebagai lawan. Nyatanya, Milan meraih dua kemenangan diantara 3 laga itu. Memang tactical failure sempat dilakukannya kala menghadapi Fiorentina di San Siro di periode itu, namun selanjutnya Milan dibawanya kepada identitas baru lalu kembali akrab dengan kemenangan dan perlahan tapi pasti posisi papan atas digapai.

Bukan perkara gampang melakoni start baik dengan tim yang habis dipreteli diawal musim seperti Milan. Saya memang sempat meragukan kapasitasnya. Berbagai kritik seputar pemilihan pemain, pemaksaan pola 4-3-1-2, hasil-hasil buruk melawan tim lemah, dipasangnya Boateng di pos penyerang sayap, seringnya terjadi pergantian kapten tim, permasalahan siapa duet terbaik di sentral pertahanan hingga keributannya dengan Pippo Inzaghi dan urgensi digelarnya ritiro di akhir pekan seolah menjadi santapan lezat para pengkritik. Mereka mengonfirmasi bahwa telah terjadi krisis di Via Turatti. Namun sang pelatih mampu melalui semua itu.

James Horncastle dalam tulisannya bilang bahwa Allegri bukanlah pelatih yang diinginkan Berlusconi. Opa Berlusconi yang keinginannya tidak boleh ditolak itu lebih menyukai Marco Van Basten, Frank Rijkaard, bahkan Roberto Donadoni untuk duduk ditemani Mauro Tassotti di bangku kepelatihan. Bahkan sampai ada isu bahwa Milan akan dijual ke keluarga Ferrero yang seperti memperlihatkan bahwa Berlusconi seperti sudah kehilangan selera mengurusi Milan.

Namun Allegri menjawab dengan hasil di lapangan. Dengan pemain-pemain non bintang yang dibekalkan kepadanya sebagai amunisi, ia mengubah taktik, keluar dari zona nyaman, mendengarkan masukan, mencoba segala kemungkinan hingga ia ajeg dengan pola 4-3-3. Penempatan Montolivo sebagai regista, Flamini sebagai enforcer dan Boateng bergantian dengan Nocerino sebagai mezz’ala dibantu agresivitas bek sayap dan dua penyerang sayap fit dengan kemampuan menyerang dan bertahan sama baiknya menjadi kunci permainannya kini.

Rangkaian hasil positif tadi membuat Berlusconi kembali turun gunung seperti seorang pembina Karang Taruna yang puas melihat anak-anak remaja binaannya bekerja dengan rajin. Berlusconi kembali mengeluarkan visi cita rasa tingginya dengan mencoba mendatangkan bintang. Berdalih romantisme, ia coba mendatangkan Kaka. Namun pada akhirnya pilihan jatuh pada Mario Balotelli, pemain yang sebelumnya ia pernah sebut sebagai “apel busuk”.

Romantisme toh masih ada. Catatan rekan saya di Bolatotal sungguh jelas memperlihatkan fragmen romantisme dalam sepak bola memang ada. Wujud seorang maverick seperti Balotelli tiba-tiba berubah menjadi figur seorang kakak bagi M’baye Niang. Balo dengan penuh wibawa dan tanpa menyombongkan diri menghampiri Niang sesaat setelah tendangan bebas berkelasnya menjebol gawang Parma. Niang yang sebelumnya gusar terlihat terhibur dan bisa menerima hal ini. Pemandangan seperti inilah yang sangat jarang terjadi dalam lapangan sepak bola, yang membuat para penonton yang meski hanya menyaksikan ribuan kilometer jauhnya dari kotak canggih bernama televisi turut tersenyum haru.

Berlusconi memang seorang raja yang perkataannya tidak boleh dibantah, namun tidak bisa dielakkan lagi bahwa ia jugalah yang menciptakan kultur la famiglia di Milan. Ketika Zlatan Ibrahimovic bertengkar dengan Oguchi Onyewu di sesi latihan, Adriano Galliani, si Ronald Weasley-nya Berlusconi dengan arif menyelesaikan permasalahan antara mereka berdua secara kekeluargaan alih-alih dengan hukuman denda atau skors. “Ini Milan, kita tidak melakukannya dengan cara ini.” Begitu ucap Galliani pada Ibra.

Allegri, bagaimanapun juga telah membuat Berlusconi kembali rela berkunjung ke Milanello juga menonton langsung ke San Siro seperti seorang Bapak yang menunggui anaknya di Taman Kanak-Kanak. Bagi Berlusconi, pemain bintang adalah solusi untuk menjadi tim super, tidak peduli ia didatangkan dari klub lain atau dari akademi sendiri. Mendatangkan Balotelli memang belum tentu mendatangkan kesuksesan, namun kehadirannya yang mengundang histeria tifosi adalah sebuah gerimis di musim kemarau. Balotelli sudah dijadikan simbol kebangkitan menuju dinasti Milan berikutnya, mengembalikan khitah Milan sebagai tim top dan sekaligus keluar dari jeratan finansial yang sempat membuat geger negeri peninsula ini.

Balotelli memang baru menaikkan penjualan kaus, juga baru memainkan tiga laga. Kehadirannya juga bisa memakan korban. El Shaarawy boleh jadi tidak setajam di paruh pertama, Pazzini boleh jadi akan manyun di bangku cadangan. Kedatangan Balotelli memaksa Allegri kembali pada situasi saat Ibra masih bercokol. Tugasnya kini adalah menemukan irisan antara visi kebintangan Berlusconi dengan visi The New Milan yang telah susah payah ia bangun selama ini.

Dan perdebatan mengenai apakah Allegri cocok menjadi calon pelatih terbaik rasanya sudah tidak relevan lagi. Terpilih atau tidak, ia tetap telah bekerja dengan baik tidak peduli tifosi berkata apa.

Tulisan ini saya tutup dengan dua kalimat.

Saya bukan pembela Allegri, tapi saya pencinta Milan yang selalu bilang bagus jika memang bagus dan jelek jika memang jelek.

Saya mungkin pencinta Milan, tapi jauh diatas itu saya pencinta sepak bola yang tidak memandang sepak bola hanya terpusat pada sebuah bendera klub.

1 comment:

  1. ah... win is a win. hal konkrit yg dilakukan di lapangan adalah yg penting bagi sepakbola memang...

    tapi bagi supporter / fans, hasil skor yg terpenting. karena 3 poin adalah perjuangan ditambah keberuntungan, karena lawan ternyata tidak lebih baik.

    apalagi bagi tim yg berjuang dari menit ke menit, hari ke hari, dan dari satu prtandingan ke pertandingan yg laen.. poin dan kemenangan adalah mutlak jadi tolak ukur keberhasilan perjuangan mereka sebagai yang terbaik.

    jadi terkadang bermain bagus atau jelek terkadang tak penting, karena kemenangan adalah kemenangan - coach

    ReplyDelete