Such a familiar celebration |
Berita bagus! Kita mendapatkan Mario Balotelli. Lalu Balotelli
mencetak brace dalam debut, setelah itu Milan berada di posisi 4 karena Inter
kalah, perbedaan poin dengan Lazio di posisi 3 hanya tinggal 3 angka. Tiga angka
menuju tempat impian: Zona Champions. Jika Milanisti mengatakan ini 6 bulan lalu mungkin akan menjadi bahan
tertawaan, tapi kini? Lihat Milan berada dimana!
Balotelli sungguh menjanjikan. Ia membuat seluruh tim
seperti bergerak. Kita seperti melihat Nocerino yang mencetak 10 gol musim
lalu, Flamini ketika masih berada di Arsenal, dan bayangkan pula dampak
kehadiran Super Mario terhadap Kevin Prince Boateng.
Balotelli dengan trik, skill dan ketajamannya sungguh
menghibur San Siro. M’Baye Niang bermain seolah bersama abangnya, begitu pula
El Shaarawy yang mengesankan seperti biasa. Bersama di lini depan, mereka
membentuk tridente mohawk, tridente yang bisa menembus nominasi perolehan
Ballon D’or di masa depan.
Udinese, lawan yang menjadi partai debut Super Mario dibuat
bagaikan mendapat hari buruk. Milan tampil seperti petinju muda yang kaya pukulan, bersemangat
dan membuat penonton berdecak kagum. Permainan seperti inilah yang menjadi
identitas The New Milan harapan kita semua.
Balotelli memang fenomenal. Ia meningkatkan jumlah fans yang
hadir menonton latihan, juga jumlah yang memadati San Siro semalam. Balotelli akan
menjadi katalis performa sekaligus mengangkat nama tim yang terlucuti
kekuatannya di awal musim. Balotelli adalah euforia, kebanggaan sekaligus
harapan. Memang bukan tanpa sebab Milan menuruti permintaan City yang meminta
25 juta euro yang pada akhirnya mampu diturunkan oleh Galliani hingga 20 juta. Buat
Milan, harga itu mahal, harga itu pula yang membuat mereka tidak jadi merekrut
Ricardo Kaka. Tapi buat Balotelli, yang juga seorang Milanista, Milan rela. Galliani
rela. Galliani akhirnya mendapat tepukan tangan meriah dari suporter seperti
layaknya seorang atlit yang baru mendapat medali emas.
Namun cukup sudah. Buat saya, pertunjukan bagus Milan
hanyalah di 45 menit pertama. Selanjutnya, Milan termakan strategi pertahanan
rapat anak asuhan Francesco Guidolin, termakan provokasi Maurizio Domizzi, juga
termakan serangan balik. For God’s sake, kebobolan Milan oleh Giampiero Pinzi
diawali dengan kalahnya Daniel Bonera dalam duel udara dengan Antonio Di
Natale. Ya, anda tidak salah membaca, itu Antonio Di Natale yang tingginya
mungkin saja 10 cm dibawah Bonera (saya malas mengecek Wikipedia).
Setelah itu, Milan seperti memperlihatkan diri sebagai
petinju limbung yang lemah dalam bertahan dan tidak memiliki pukulan mematikan
untuk segera meng-KO lawan. Yang ada, Milan seperti kehilangan arah karena
salah passing dan lemahnya penyelesaian akhir membuat mereka menunda pesta. Ya memang
ada sih ketidakberuntungan karena tendangan Niang menghajar keras tiang gawang.
Saya sudah bisa menerima hasil imbang ini hingga kemudian
terjadi tekel keras oleh bek Thomas Heurteaux kepada El Shaarawy di kotak penalti. Wasit tahu, Tuhan
tahu, semua orang tahu kalau tekel itu bersih, sebersih wajah para model iklan
pembersih wajah. Tekel itu mengenai bola dan seharusnya Milan hanya mendapat
tendangan penjuru untuk itu, bukannya penalti.
Balotelli memang belum pernah gagal menendang penalti
sepanjang karirnya, dan ia terus memperpanjang catatan manis itu. Pedelli, penjaga gawang cadangan Udinese yang tampil gemilang tertipu oleh gerakan Balotelli. San Siro
berpesta, Milan berpesta, Balotelli disanjung, Allegri lega, Galliani lega. Tapi
saya tidak. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari kemenangan yang berasal dari
cara seperti ini. Udinese jelas layak meradang karena mereka setidaknya pantas
membawa pulang satu poin dari Milan yang limbung. Milan sebenarnya tidak butuh
hal semacam ini untuk menang.
Penalti ini impas? Impas seperti saat Balotelli dijatuhkan
Domizzi berberapa menit sebelumnya? Impas karena tahun lalu gol Muntari tidak
disahkan? Ayolah, tidak ada istilah impas atau apapun itu dalam sepak bola. Jika wasit di masa lalu pernah mengambil keputusan salah yang merugikan sebuah tim, bukan berarti wasit akan memberikan keputusan menguntungkan lawan hanya untuk menebus kesalahan. Apakah hanya ini yang bisa dilakukan? Mengkambinghitamkan wasit? Kalau mau menang ya cetak gol lebih banyak daripada lawan. Sepak bola sesungguhnya sesederhana itu. Saya lebih senang hasil seri ketimbang menang dengan cara seperti ini. Walaupun
ada kemasygulan berjamaah bahwa “Siapa bilang hidup ini adil?”
Ketimbang merayakan debut gemilan Balotelli, saya lebih suka
mengkritik penampilan skuat Allegri semalam. Milan bermain baik hanya 1 babak,
dan diluar kebiasaan, justru itu terjadi di babak pertama. Kehadiran Balotelli
yang mampu menahan bola lebih baik dan memiliki skill set lebih lengkap sebagai
penyerang tengah memang membuat Milan mampu mengendalikan laga dan mendikte lawan
sejak awal. Namun tidak ada gunanya jika pukulan mematikan tidak mampu dimiliki
dan pertahanan lemah masih saja diperagakan.
Lawan jelas tahu persis kelemahan Milan di sisi pertahanan,
juga lini tengah yang kemarin kurang disiplin memotong laju serangan balik
lawan. Absensi Mexes memang membuat Allegri menurunkan Bonera, namun hal itu
justru aneh karena ia memiliki Cristian Zaccardo dan Bartosz Salomon. Mereka mungkin
belum tentu lebih baik daripada Bonera, tapi jika hanya menjadi bek tengah
kelima dan keenam, buat apa Milan repot-repot mendatangkan mereka?
Dipasangnya Niang sejak awal bisa berarti baik atau buruk. Niang
memang makin menampakkan bakatnya, namun kegagalan demi kegagalan mencetak gol
cepat membuat Milan limbung di babak kedua seperti kemarin, dan di bangku
cadangan Milan hanya memiliki Bojan, Traore dan Robinho yang mungkin dimainkan untuk mengubah keadaan. Diantara ketiga
pemain itu, hanya Bojan yang efektif jika dimainkan di pertengahan laga,
sementara Robinho lebih membutuhkan adaptasi lebih awal
dalam sebuah laga dengan diturunkan sejak awal. Traore? Dia butuh lebih banyak kesempatan lagi.
Mengandalkan Balotelli seperti mengingatkan kita pada saat
masih ada Ibra disini. Semuanya just leave it to the Big Swede. Gejala ini timbul
kembali di era sekarang. Balotelli menjadi tumpuan, inspirator sekaligus
penentu. Pembebanan tanggung jawab yang berat hanya ke satu orang hanya akan
membuat Milan kembali menjadi one-man team.
Ketimbang membangun tim di sekeliling Balotelli, mungkin
akan lebih bijak jika permainan kolektif yang sebenarnya sudah tercipta selama
ini dipertahankan. Menjadikannya sebagai penentu sangatlah wajar, namun membagi
peran dengan yang lain akan membuat Milan menjadi tim yang lebih kuat. Allegri harus
sadar bahwa Pazzini sedang menjalani salah satu tahun terbaik dalam karirnya,
dan mencadangkannya hanya akan membuatnya melempem lagi. Opsi memainkan kedua
penyerang ini patut dicoba.
Senjata paling mutakhir telah dimiliki, tinggal bagaimana
menggunakannya dengan bijak.
No comments:
Post a Comment