Kompetisi sepak bola antar kampung bukan wajah asing buat
saya. Sedari kecil, saya melihat pertandingan sepak bola akar rumput ini di
dekat rumah. Saya juga sempat bermain dalam beberapa pertandingan, dan saya
juga kenal sebagian besar pemain, pengurus tim dan juga wasit.
Hasil terjun langsung inilah yang membuat saya bisa
menyimpulkan seperti apa wajah sepak bola kampung ini, yang tentu saja menjadi
cerminan dari sepak bola Indonesia. Walaupun terkesan steriotip dan generalisasi, tapi setidaknya saya percaya bahwa anda pernah mendengar ini semua.
Berikut beberapa di antaranya:
Nepotisme, Jalan Pintas dan Menghalalkan Segala Cara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme
diartikan perilaku yang memperlihatkan kesukaan berlebih kepada kerabat
dekat; kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara
sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; tindakan
memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
Perilaku nepotisme memang banyak terdapat di ranah birokrat,
tapi sepak bola tidak lepas dari perilaku ini. Tidak perlu menyebut nama dan
menunjuk hidung, tapi saya menyaksikan di depan mata sendiri kekecewaan salah
seorang teman yang tidak terpilih memperkuat tim kecamatan karena kalah
bersaing dengan anak dari salah seorang tokoh berpengaruh. Dilihat dari
kemampuan, teman saya jelas lebih baik.
Bisa ditebak, perilaku semacam ini akan membatasi
kesempatan bagi pemain-pemain yang memang memiliki kemampuan.
Cerita seperti ini tentu sering kita dengar di level
kompetisi yang lebih tinggi seperti antar kecamatan atau yang setingkat
nasional seperti PON. Di level timnas, Indra Sjafri dan Foppe De Haan bahkan pernah
bercerita tentang fenomena pemain titipan di timnas Indonesia.
Perilaku ini jelas memperlihatkan pikiran yang menghalalkan
segala cara. Tidak sedikit pula kasus kolusi wasit (ingat tragedi sepak bola
gajah PSS dan PSIS) yang muncul di permukaan, belum termasuk di divisi lebih
rendah yang minim pemberitaan.
Instingtif dan Miskin Taktik
Di era sepak bola modern, kehebatan tim tidak ditentukan
oleh kemampuan individu pemain, melainkan penggunaan taktik. Tidak usah berbicara modern tahun sekarang, tim
nasional Swiss tahun 40an arahan pelatih Karl Rappan saja sudah berhasil
menciptakan cikal bakal taktik catenaccio
untuk menyiasati kekurangan skill individu pada timnya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Saya malah pernah mendengar cerita miris
pemain yang begitu berbakat dan ditempa latihan dari Eropa. Dalam sebuah
pertandingan, si pemain didikan Eropa itu berlari lebih banyak ketimbang
pemain-pemain lokal, tapi permainannya malah tidak efektif akibat
teman-temannya malas berlari. Oleh pelatih, ia malah dicap seperti pemain yang
bingung.
Mantan pelatih timnas, Jacksen F. Tiago sendiri pernah
berkomentar bahwa pemain-pemain Indonesia dibesarkan dengan kultur ‘dribel
heroik’. Pemain akan dipuja, dianggap hebat dan berbakat jika memiliki gaya
main yang gemar menggoreng bola, lalu membawanya hingga ke depan gawang lawan.
Tak peduli prosentase gagal-suksesnya atau efektif-tidaknya. Jika sudah mendribel bola melewati satu-dua pemain, pemakluman
akan diberikan kepada si pemain jika dia salah melakukan umpan.
Begitu pula yang pernah saya dengar dari Nil Maizar, mantan
pelatih timnas lainnya. Dalam sebuah pertandingan, Nil tidak berhenti berteriak
“Sabar!” dan “Satu sentuhan!” kepada pemain-pemainnya. Karena memang kebiasaan
pemain Indonesia yang kerap terburu-buru melepas bola lambung ke depan tanpa
merancang permainan dengan rapi, atau kebiasaan pemain yang berlama-lama
menggoreng bola tadi, bukannya menyentuh bola sesedikit mungkin namun
mengalirkannya dengan efektif.
Sepak bola memang bukan olahraga yang rigid seperti baseball atau catur misalnya, tapi semata mengandalkan insting pun tidak. Instruksi untuk pemain
sayap bukan sekadar “Kamu main di sayap, lari yang cepat!” atau “Kita bertahan
total” “Kita main keras” tanpa ada arahan lebih lanjut. Tidak heran jika
pemain-pemain Indonesia lebih banyak bermain dengan naluri ketimbang skema.
Pola pikir seperti ini memang bisa diterapkan untuk melawan
sesama tim Indonesia. Tapi bagaimana jika menghadapi tim luar negeri? Sudahlah,
ini hanya pertanyaan retoris.
Mental Jago Kandang, Perilaku Tidak
Sportif dan Senang Kekerasan
Sepak bola memang olahraga yang penuh kontak fisik, yang
tentu saja amat berpotensi menyulut keributan. Kekerasan bukan hanya terjadi antar
pemain, tapi juga terhadap wasit, atau antar penonton. Namun yang terjadi di
sini, pihak-pihak penyulut kekerasan ini masih saja melenggang bebas. Jika
diinvestigasi, jawaban yang keluar hanyalah ‘oknum’, dan jika akhirnya dihukum
pun nantinya akan cepat dibebaskan.
Pertandingan antar kampung akan dengan mudah menyulut
keributan, siapa pun yang menang. Yang kalah, sudah pasti tidak terima. Pemainnya,
ofisialnya, penontonnya sama saja. Saya pernah menyaksikan sendiri sebuah
pertandingan final antar kampung yang berakhir rusuh karena yang kalah tidak
bisa menerima kekalahan. Piala dibanting, wasit dikejar-kejar, pemain saling
baku pukul, ofisial saling dorong. Bukan cerita aneh, kan?
Di sini, sepertinya kehormatan wilayah lebih penting dari
apapun, dan semangat primordial dikedepankan. Di kampung sendiri, kita merasa
amat superior. Perilaku jago kandang yang menggelikan. Banyak pemain yang
bermain begitu bagus ketika membela daerahnya, tapi ketika digabungkan untuk
ajang yang lebih tinggi, mentalnya tidak kuat, dan akhirnya bermain jelek.
Percayalah, mentalitas seperti ini akhirnya berlanjut ke level negara.
***
Sebenarnya, masih ada beberapa yang terpikirkan, misalnya penggunaan doping, pencurian umur, manajemen ala warteg dan sebagainya. Memang, tidak semua pemain, pelatih, penonton dan elemen
sepak bola Indonesia seperti itu. Tidak sepenuhnya benar, tapi tidak sepenuhnya
salah, bukan?
Di negara sepak bola maju pun persoalan seperti ini terjadi. Tapi paling tidak mereka telah mempraktikkan pembinaan yang baik, mengelola kompetisi dengan profesional, dan memperhatikan nasib pemain. Amat jarang kita mendengar pemain yang tidak digaji.
Sepak bola Indonesia memang kusut, dan sulit untuk dibereskan karena permasalahan yang begitu menyeluruh, rumit dan sudah menjadi makanan sehari-hari. Banyak pihak yang sepertinya mendiamkan, atau cuek saja. Di level negara pun, persoalan Kemenpora dengan PSSI masih tak kunjung usai. Untuk itu, anggap saja sepak bola Indonesia sebagai hiburan, atau komedi satir belaka.
No comments:
Post a Comment