Banyak pihak beranggapan bahwa Inter dan Milan akan kembali
sebagai penghuni papan atas musim ini. Tidak banyak yang memperhitungkan Fiorentina,
terutama karena klub ini ditinggalkan banyak pemain andalan dan baru mengalami
pergantian pelatih dari Vincenzo Montella ke Paulo Sousa, membuat klub ini akan
lebih dulu menjalani transisi. Dan sebagaimana umumnya terjadi, masa transisi
selalu dijadikan alibi yang paling bisa diterima orang banyak jika prestasi
tidak didapat.
Masa transisi dapat disamakan dengan masa pancaroba, atau
pergantian musim. Pada masa ini, banyak tubuh yang terserang penyakit karena
tidak siap dengan perubahan. Para bos di kantor, atau para guru di sekolah akan
maklum jika karyawan atau murid-muridnya menelpon untuk meminta izin absen
sehari-dua hari karena harus mengunjungi dokter.
Memang kompetisi masih panjang, tapi apa yang ditunjukkan Sousa
sejauh ini begitu sensasional. Mengalahkan Inter, kesebelasan yang memenangi
lima laga awal secara beruntun dengan skor telak 1-4 di Giuseppe Meazza, bukanlah
prestasi sembarangan. Terlebih, kemenangan ini berbuah capolista, yang merupakan kali pertama yang diperoleh klub ini
sejak 1999.
Sousa sudah dibebani PR yang cukup berat ketika kali pertama
datang ke Artemio Franchi, yaitu hengkangnya para andalan di seluruh posisi.
Bek Stevan Savic dipinang Atletico Madrid, sementara kiper utama Neto dibeli
Juventus. Tidak hanya itu, La Viola juga kehilangan Joaquin Sanchez, winger veteran yang memilih pulang
kampung ke Real Betis. Lini tengah juga kehilangan dua gelandang senior,
Alberto Aquilani dan David Pizarro yang mengakhiri kontraknya. Bahkan,
Fiorentina ditinggalkan Mohamed Salah, winger
asal Mesir yang musim lalu tampil sebagai kunci serangan.
Namun Sousa bukanlah pelatih yang tanpa rencana. Ia membeli
gelandang bertahan Atletico, Mario Suarez untuk mengisi pos yang ditinggalkan
Pizarro, lalu mematangkan Milan Badelj untuk mengisi pos Aquilani. Di sektor
sayap, ia menghubungi mantan klubnya kala masih bermain, Borussia Dortmund, untuk
meminjam Jakub Blaszczykowski. Untuk posisi penggedor gawang lawan, Sousa sadar
tidak bisa mengandalkan Giuseppe Rossi, bomber berbakat namun amat rentan
cedera, atau Mario Gomez yang menua. Untuk itu, ia mendatangkan Nikola Kalinic,
penyerang Kroasia yang musim lalu membawa Dnipro Dnipropetrovsk ke babak final
Europa League.
Musim kompetisi 2015-16 dimulai menghadapi Milan. Dengan cerdik,
Sousa mengarahkan serangan ke tempat di mana bek muda Rodrigo Ely berada. Baik
Josip Ilicic maupun Marcos Alonso selalu meneror bek Brasil ini dengan
kecepatan mereka, yang berakibat pelanggaran-pelanggaran yang membuat Ely
diusir wasit. Fiorentina pun menang dengan nyaman.
Pada giornata
kedua, Fiorentina memang sempat menyerah dari Torino, namun selanjutnya,
Fiorentina memenangi empat laga secara beruntun, yang puncaknya adalah laga
semalam menghadapi Inter di Giuseppe Meazza yang mereka menangi dengan skor
1-4, yang diwarnai hattrick yang ditorehkan Kalinic.
Kembali ke soal penunjukan Sousa sebagai pelatih, beberapa
orang memang meragukan kapasitas pria Portugal yang sempat malang melintang bermain
di Seri A bersama Juventus ini. Namun sekali lagi, Sousa tidak kembali ke
Italia tanpa bekal pengalaman.
Setelah menjadi asisten Carlos Queiroz di timnas Portugal
U-16 sejak 2005, Sousa hengkang ke Inggris tahun 2008. Ia menukangi klub
Championship, Queens Park Rangers. Namun di klub ini, karirnya berakhir kurang
menyenangkan. Ia disebut membocorkan informasi sensitif terkait transfer Dexter
Blackstock ke Nottingham Forest.
Sousa kemudian pindah ke Swansea City, menggantikan Roberto
Martinez yang hengkang ke Wigan Athletic. Di klub asal Wales ini, Sousa mulai
menunjukkan kehebatannya. Swansea dibawanya ke posisi 7 Championship Division, tertinggi
sejak 27 tahun. Gaya ball possession yang
hingga kini diusung Swansea tidak bisa dilepaskan dari peran Sousa. “Saya ingin
tim mengontrol permainan dengan bola, bukan tanpa bola,” ujarnya.
Sukses di Liberty Stadium membuatnya ditawari pekerjaan di
Leicester City. Saat itu, Sousa tertarik dengan proyek yang dicanangkan pemilik
klub Milan Mandaric. Namun ironisnya, Mandaric menjual saham klubnya kepada
konsorsium dari Thailand, hanya sebulan sejak penunjukan Sousa. Hal ini cukup
berpengaruh pada performa tim di lapangan. Dari sembilan laga, Leicester hanya
menang satu kali dan Sousa dipecat dari jabatannya.
“Pergi dari Swansea adalah kesalahan. Namun saat itu saya
berpikir bahwa pindah ke Leicester adalah kesempatan untuk meningkatkan karir,”
kenangnya seperti dikutip dari Guardian. “Kita semua membuat kesalahan dalam
hidup, namun yang terpenting adalah apa yang kita lakukan selanjutnya,” ujarnya
dalam wawancara tahun lalu.
Ucapan tersebut seakan menjadi refleksi dari karir Sousa.
Setelah dipecat Leicester, Sousa berhenti sejenak dari sepak bola. “Saya
kemudian menonton banyak pertandingan, mempelajari banyak taktik dan gaya
bermain, serta melanjutkan pendidikan sebagai pelatih. Saya rasa pemecatan itu
ada hikmahnya,” lanjutnya.
Rangkaian peristiwa yang terjadi di Inggris membuat namanya
tidak lagi diperhitungkan. Setahun kemudian, ia hijrah ke tengah Eropa,
tepatnya Hongaria. Di negara yang sempat berjaya pada tahun 50an ini, Sousa menangani
klub Videoton. Di klub ini, ia memenangi sebuah gelar liga domestik dan dua cup competition.
Petualangan Sousa selanjutnya adalah ke negara Israel,
dengan Maccabi Tel Aviv menjadi pelabuhannya. Sebelum kembali ke Italia, Sousa
sempat melatih Basel, klub terbaik di Swiss dalam beberapa tahun terakhir. Di Maccabi
dan Basel, ia menjuarai titel domestik sekaligus mencicipi beberapa laga
kontinental, hal yang membentuk mental pemenang.
Kepindahan ke klub-klub terbaik di negara-negara yang bisa
dibilang medioker dalam percaturan sepak bola Eropa ternyata memang strategi
yang baik untuk memperbaiki reputasi sekaligus membentuk mental pemenang. “Saya
tidak memiliki masalah untuk bekerja di liga yang kurang dikenal. Dua setengah
tahun di Videoton dan Maccabi membentuk mentalitas saya untuk menang. Saya rasa
kemenangan memang penting bagi pelatih, karena membuktikan kesuksesan metode
dan pendekatannya,” ujarnya lagi.
Sousa sadar bahwa melatih klub Seri A adalah pekerjaan
berat. Kultur sepak bola Italia yang mengutamakan hasil dan amat kaya dalam
taktik bukanlah hal mudah untuk dijalani seorang pelatih. “Selain ball possession, saya juga mengutamakan
kuatnya pertahanan, karena saya pernah bermain di Italia,” ujarnya pasca
kemenangan atas Inter.
No comments:
Post a Comment