Sepak bola Indonesia memang tengah mati suri. Liga tidak
ada, timnas dihukum FIFA akibat sikap Menpora yang membekukan PSSI. Para pemain
pun banyak yang alih profesi, dari menjadi pemain tarkam, penyewa odong-odong, pengendara
ojek berbasis aplikasi, hingga berwara-wiri menjadi bintang tamu di acara talk show televisi swasta.
Sedikit kilas balik, ketika Indonesia Super League(ISL) akan bergulir awal tahun 2015 ini, PT Liga
Indonesia (PT LI) sebagai pengelola liga memberlakukan aturan ketat bagi klub
yang akan mengikuti kompetisi. Aturan ini berbentuk lisensi yang harus dipenuhi
sesuai standar yang ditetapkan oleh AFC (Asian Football Confederation). Daftar
yang harus dipenuhi untuk memperoleh lisensi cukup panjang, bisa dibaca di
sini. Namun PT LI meringankan persyaratan. Dari lima syarat yang semula
ditetapkan, PT LI meminta klub untuk memenuhi tiga syarat saja, yaitu terkait finansial,
legal dan infrastruktur.
Tiga hal ini sifatnya wajib dan mengikat. Jika tidak
memenuhi, klub tidak boleh berpartisipasi. Ketegasan coba ditegakkan, karena
dari sikap permisif yang terus diambil, pemain lah yang menjadi korban karena
seretnya pembayaran gaji. Proses verifikasi pun dijalankan, dan hasilnya ada 17
tim yang berhak berpartisipasi. Sebelumnya kita Namun seperti diketahui,
kompetisi yang akhirnya disponsori Qatar National Bank ini hanya berumur satu
minggu pertandingan hingga terjadinya kisruh antara Kemenpora dengan PSSI.
Syarat yang paling sulit dipenuhi tentu soal finansial. Klub
harus mengumpulkan laporan keuangan, laporan pajak, juga proyeksi yang
menunjukkan bagaimana posisi keuangan mereka pada akhir tahun. Pada kenyataannya
di lapangan, jangankan proyeksi, lha
NPWP saja tidak punya. Beginilah klub yang dijalankan dengan manajemen warteg.
Banyak klub yang berkoar, terutama mereka yang telah merasa
menjadi ‘pemain lama’. Klub-klub seperti ini memiliki attitude ‘Elu yang butuh gue,
bukan gue yang butuh elu! Jadi lupakan aja deh syarat-syarat ribet itu. Yang
penting liga berjalan, penonton senang, pemain bisa makan’
Sikap arogansi inilah yang memang harus diberantas.
Klub-klub Indonesia sudah terbiasa disuapi APBN. Tidak ada profesionalisme,
tidak ada pertanggungjawaban. Yang ada hanyalah uang rakyat yang tersedia
untuk dihamburkan selama setahun penuh. Yang penting, rakyat punya tontonan sepak
bola lokal.
Tentu saja sepak bola tidaklah lebih penting daripada
perbaikan sarana pendidikan dan perbaikan standar pelayanan kesehatan.
Pemikiran bahwa klub sepak bola adalah tanggungan pemerintah adalah pemikiran
usang dan kuno. Sekarang sudah eranya klub sepak bola mampu berdiri sendiri.
Sayangnya lagi, klub-klub di sini sudah terbiasa dengan pola
pikir instan. Seperti memasak pakai Monosodium Glutamat (MSG) untuk memberi
ilusi rasa lezat, atau lebih akrab dengan sebutan mecin. Maunya membuat masakan lezat, tapi malas meracik bumbu. Cukup
jentikkan saja bubuk ajaib, habis perkara. Rasa lezat, pengunjung senang dan
kenyang, restoran ramai.
Tapi untuk jangka panjang, semua orang tahu seperti apa
dampak dari kebanyakan mengonsumsi mecin.
Nadi sepak bola akan kembali berdegup setelah PTUN
memenangkan PSSI dalam gugatan mereka atas Kemenpora. PT LI pun kembali dengan
program licensing. Kali ini, mereka
memberi pilihan pada klub atas model verifikasi finansial.
Niat ini sebetulnya sudah baik. Lisensi untuk mengikuti
kompetisi mutlak diberlakukan apabila kita tidak ingin mendengar lagi cerita
miris pemain yang berbulan-bulan tidak digaji. Selain itu, klub yang memiliki
lisensi (asal diverifikasi dengan jujur dan transparan) sudah tentu adalah klub
dengan modal yang tidak sekadar modal dengkul untuk mengikuti kompetisi.
Kondisi ini jelas akan mengembalikan kepercayaan publik, yang nantinya akan
berujung makin banyaknya pihak sponsor yang melirik. Industrialisasi sepak bola
pun bukan sekadar pepesan kosong.
Namun sebagaimana cerita yang sudah lalu, seberapa besar
niat baik yang digagas, sepak bola Indonesia kadung terbagi pada dua kubu. Kubu
yang memimpin dan kubu oposisi. Kedua kubu ini bagaikan naik dan turun panggung
sejara bergantian. Jika digambarkan sebagai pertunjukan musik, kubu yang berada
di bawah panggung selalu meneriaki menimpuki mereka yang sedang tampil.
Pertikaian yang tidak kunjung usai ini termasuk dalam salah
satu ciri dari fenomena schadenfreude.
Istilah bahasa Jerman ini mengandung arti sebagai seseorang yang senang melihat
kesusahan orang lain. Keberhasilan suatu kubu akan ditanggapi nyinyir oleh kubu
lain, sementara blunder yang dilakukan salah satu kubu akan menjadi bahan bakar
bagi kubu yang lain untuk meneriakkan kritikan pedas. Bukan kritik konstruktif,
tapi lebih kepada penjatuhan kredibilitas dan penghinaan pada personal.
Sebuah drama menyedihkan yang sayangnya tak kunjung usai. Ya,
begitulah jika membicarakan sepak bola Indonesia.
No comments:
Post a Comment