Pages

Tuesday, August 18, 2015

Memahami Club Licensing Regulations dan Manfaatnya untuk Sepakbola Indonesia (salinan Kanal About The Game - Detiksport)

Tulisan ini adalah salinan dari kanal About The Game - Detiksport. Ditulis oleh Dex Glenniza dari Pandit Football. Disalin untuk keperluan arsip pengetahuan.

Sepakbola Indonesia sudah menyelesaikan semua agenda utamanya (ISL dan timnas), tapi perbincangan lain sedang mencuat: bursa perpindahan pemain! Media sosial dan situs-situs berita ramai oleh rumor perpindahan-perpindahan pemain.

Ada drama, seperti saat Ferdinand Sinaga secara mengejutkan hijrah ke Sriwijaya FC. Ada tarik menarik, seperti rumor Fabiano Beltrame yang dikabarkan akan bergabung dari Arema hingga Barito. Juga riuh karena Bambang Pamungkas kembali ke Persija Jakarta. Juga rumor ‘wah’ soal biaya yang harus dibayarkan Persib untuk mempekerjakan Pacho Kenmogne yang sampai dikabarkan mencapai Rp 2 miliar lebih.

Beberapa orang menganggap ini tanda iklim industriasasi sepakbola Indonesia semakin membaik dan menguat. Benarkah demikian?

Satu hal yang sudah pasti, riuh rendah pembicaraan tentang perpindahan pemain di Indonesia ini muncul saat timnas senior benar-benar hancur lebur di Piala AFF. Ditargetkan juara, malah gagal lolos ke semifinal dengan catatan menyedihkan: bertekuk lutut di tangan Filipina secara memalukan.

Belum lagi jika bicara sepakbola gajah yang belum tuntas. Masih belum jelas siapa sebenarnya aktor intelektual dari laga memalukan PSS vs PSIS ini. Para pemain dan kedua tim melakukan banding dan hingga kini belum jelas juga bagaimana dan seperti apa hasilnya.

Jangan sampai publik sepakbola terpukau dengan berita-berita wah soal perpindahan pemain dan harganya yang luar biasa dan abai mempertanyakan pertanyaan mendasar: sudahkah persoalan-persoalan laten dan menahun sepakbola Indonesia itu terselesaikan

Pertanyaan yang harus selalu diajukan tiap kali melihat perpindahan pemain dengan harga yang terdengar luar biasa (Pacho, kabarnya, dibandrol lebih dari Rp 2 miliar) adalah benarkah itu harga yang masuk akal? Apakah riuh rendah ini menandakan bahwa iklim industri sepakbola sudah terbentuk? Adakah jaminan gembar-gembor kontrak pemain di awal musim ini bisa konsisten dipraktikkan sesuai kesepakan kontrak sampai akhir musim? Jangan-jangan cerita klasik akan mencuat kembali: gaji ditunggak, pemain mogok atau tim yang gagal berangkat ke Papua karena kehabisan dana?

Untuk menjawab persoalan itu, penting menengoknya dari aspek yang mendasar. Dan dalam hal industri sepakbola Indonesia dan Asia, cara terbaik untuk memulainya adalah membahas soal Club Licensing Regulation (CLR) yang sudah dipatok oleh AFC sebagai “standar baku mutu”.

Dari situlah kita bisa mulai membahas dan mendiskusikannya, agar riuh-rendah bursa perpindahan pemain ini bisa diletakkan dalam konteks yang tepat dan agar kita bisa aware dengan jebakan-jebakan yang membuat kita lupa dengan persoalan-persoalan laten yang selalu muncul dari tahun ke tahun.

Pentingnya Lisensi sebagai Dasar

Banyak yang beropini tentang pelaksanaan Club Licensing Regulations (CLR) di Indonesia. Pada tahun 2010, AFC telah memberlakukan pedoman untuk klub sepakbola dan anggota asosiasinya untuk memenuhi persyaratan untuk berkompetisi.

Implikasinya adalah jika Indonesia tidak berhasil menetapkan dan menerapkan CLR, pemenang Liga Indonesia akan kehilangan tempat mereka di Liga Champions AFC. Meskipun Persib Bandung (bersama Persipura Jayapura dan Arema Cronus) memenuhi syarat, PSSI juga didorong untuk menerapkan peraturan dalam kompetisi domestik mereka sendiri.


Dalam interval antara saat musim liga yang baru saja berakhir dan musim baru yang belum dimulai, otoritas tertinggi di sepakbola Indonesia ini sedang sibuk dengan proses pelaksanaan CLR yang sudah menjadi kewajiban.


Sementara kita menunggu hasil verifikasi, banyak orang bertanya apakah CLR adalah segalanya. Beberapa bahkan skeptis tentang CLR yang hanya akan memperburuk nasib klub sepakbola profesional di Indonesia.


Sebelumnya, FIFA dan para konfederasi memang telah menyelenggarakan seminar untuk liga dan klub administrator di berbagai negara dan benua. Tujuannya adalah untuk mendidik mereka tentang konsep dan cara kerja CLR serta menyampaikan manfaat dari pelaksanaan peraturan tersebut.


Baru-baru ini, pada bulan Oktober 2014, sebuah seminar CLR diselenggarakan oleh Asosiasi Sepakbola Yordania bersama dengan Konfederasi Sepakbola Asia (AFC).


Club Licensing Regulations
CLR telah disetujui oleh FIFA pada tahun 2004. Hasil ini kemudian diadopsi oleh Komite Eksekutif FIFA pada tanggal 29 Oktober 2007 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2008. Dalam edarannya kepada anggota asosiasi, FIFA menggambarkan CLR sebagai:
“Dokumen kerja dasar untuk sistem perizinan klub, dimana para anggota yang berbeda dari keluarga sepakbola bertujuan untuk mempromosikan prinsip-prinsip umum dalam dunia sepakbola seperti nilai-nilai olahraga, transparansi dalam keuangan, kepemilikan dan kontrol dari klub, dan kredibilitas dan integritas dari kompetisi klub.”

Hal ini mengandaikan bahwa ada persyaratan minimal yang klub sepakbola harus capai dalam rangka untuk dilisensikan agar bisa berpartisipasi dalam kompetisi tingkat nasional, tingkat benua, dan tingkat internasional.

Dokumen kerja dasar (dikenal sebagai FIFA Club Licensing Regulations) telah dihasilkan oleh FIFA dan Konfederasi (misalnya AFC) yang diperlukan untuk membuat peraturan lisensi klub mereka sendiri, sementara anggota asosiasi (misalnya PSSI) pada gilirannya juga diperlukan untuk mengadopsi CLR mereka sendiri untuk pelaksanaan di tingkat nasional.

Oleh karena itu, CLR FIFA diadopsi menjadi CLR AFC, sedangkan PSSI mengadopsi CLR AFC, sejalan juga dengan standar minimal yang ditetapkan dalam CLR FIFA.

Hal ini patut dicatat bahwa pada tingkat nasional, anggota asosiasi diperbolehkan untuk mendelegasikan tanggungjawab lisensi klub untuk liga yang berafiliasi. Misalnya, PSSI dapat mendelegasikan tanggungjawab lisensi klub kepada Club Licensing Committee (CLC PSSI) dan Club Licensing Department (CLD PSSI).

Persyaratan Minimal
Persyaratan minimal adalah kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh klub agar memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam kompetisi nasional atau kontinental. Persyaratan ini dibagi ke dalam lima kriteria. Mereka adalah kriteria olahraga, kriteria infrastruktur, kriteria personel dan administrasi, kriteria hukum, dan kriteria keuangan.

  • Kriteria Olahraga: Kriteria ini membuat klub untuk memiliki program pengembangan pemain muda yang berkualitas. Ini melibatkan memiliki setidaknya satu tim muda masing-masing memiliki rentang usia 15-21 tahun dan 10-14 tahun, serta investasi dalam pendidikan sepakbola dan non-sepakbola serta pelayanan kesehatan. Manfaat ini bagi klub adalah bahwa program pengembangan pemain muda memproduksi pemain berbakat untuk cikal bakal tim senior. Selain itu, klub juga mendapatkan kompensasi untuk pemain di bawah usia 23 tahun yang dilatih oleh mereka yang ditransfer ke klub asing.
  • Kriteria Infrastruktur: Pada kriteria ini, klub diharapkan memiliki stadion yang aman dan dilengkapi dengan kelengkapan yang baik, untuk mengakomodasi penonton serta pers dan juga media. Kriteria infrastruktur termasuk sarana pelatihan yang memadai bagi pemain. Ini dianggap sebagai investasi jangka panjang dengan manfaat bagi fans yang tertarik pada stadion yang aman, mudah diakses, dan dilengkapi dengan kelengkapan yang menjanjikan pengalaman matchday yang menghibur.
  • Kriteria Personel dan Administrasi: Pada dasarnya, sebuah klub sepakbola yang benar-benar profesional membutuhkan ahli di bidang teknis seperti keuangan, pemasaran, hiburan, media, hukum, sumber daya manusia, dll. Dengan meningkatnya kelayakan komersial dari klub sepakbola, maka klub perlu dijalankan dan dikelola secara profesional juga, sehingga ada kebutuhan untuk keterlibatan spesialis dalam kerja langsung dan/atau kapasitas konsultasi sehingga klub bisa bersaing baik di atas maupun di luar lapangan.
  • Kriteria Hukum: Kriteria hukum bertujuan untuk melindungi integritas dari kompetisi dengan menghindari situasi dimana akan ada lebih dari satu klub di satu kompetisi yang sama, atau dikelola dan dipengaruhi oleh entitas yang sama. Fitur lainnya adalah bahwa klub harus memiliki struktur kepemilikan yang transparan dan mekanisme kontrol. Klub juga harus terikat dengan peraturan kompetisi, termasuk melarang kasus jatuh ke pengadilan biasa.
  • Kriteria Keuangan: Kebutuhan di sini adalah agar klub mengadopsi transparansi dan kredibilitas keuangan. Pemeliharaan dan pengawasan catatan dan laporan keuangan akan meningkatkan stabilitas keuangan klub, mempromosikan kredibilitas serta melindungi kreditor dan stakeholder.
Sebuah elemen penting dari sistem perizinan klub adalah poin-poin yang berbeda dari kriteria-kriteria di atas yang dibagi ke dalam kategori A, B, dan C. Masing-masing dari lima kriteria dibagi menjadi berbagai poin, masing-masing dinilai dari segi kebutuhan mereka.
Kelas A dan B adalah persyaratan wajib, sedangkan kelas C merupakan ‘praktik terbaik’ yang diinginkan dan dapat dibuat wajib di masa depan. Mereka dibedakan sebagai berikut:
  • Kriteria ‘A’ (Wajib) – jika klub tidak memenuhi persyaratan Grade A, klub tidak akan memenuhi syarat untuk mengambil bagian dalam kompetisi.
  • Kriteria ‘B’ (Wajib) – meskipun juga menjadi syarat wajib, perbedaan di sini adalah bahwa klub-klub yang gagal memenuhi persyaratan masih bisa diizinkan untuk berpartisipasi dalam kompetisi, meskipun dengan beberapa sanksi. Misalnya, di bawah Kriteria Infrastruktur persyaratan untuk fasilitas stadion klub memiliki fasilitas toilet yang memadai atau sanitasi terdaftar sebagai persyaratan Grade B. Dengan demikian, di mana hal ini kurang, meskipun klub mungkin diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam kompetisi, akan ada beberapa bentuk sanksi, mungkin seperti dipaksa untuk memainkan pertandingan kandang di stadion yang berbeda.
  • Kriteria ‘C’ – kegagalan untuk memenuhi persyaratan ini tidak menyebabkan diskualifikasi dari kompetisi atau sanksi. Namun, klub diharapkan untuk berusaha ke arah ini karena Grade C dapat dibuat menjadi wajib di masa depan. Sebuah contoh adalah persyaratan Kriteria Infrastruktur untuk stadion yang akan dilengkapi dengan kursi individu bernomor atau fasilitas untuk kaum difabel.
Sistem perizinan klub beroperasi sedemikian rupa bahwa klub-klub yang berpartisipasi dalam kompetisi mengajukan permohonan izin, yang mengeluarkan sertifikasi bahwa mereka memenuhi standar minimum di bawah CLR. Namun, ada ruang untuk banding jika aplikasi klub untuk lisensi ditolak.

Manfaat CLR
Jika hal tersebut telah dipahami, CLR sangat bermanfaat untuk sepak bola Indonesia. Manfaatnya akan terasa sangat besar dan jelas. Manfaat ini adalah apa yang CLR FIFA tetapkan untuk dicapai, beberapa di antaranya terdaftar dalam bab ‘tujuan’ di dalam regulasi tersebut. Daalm implementasinya, berikut adalah manfaat yang dapat dipetik.

Untuk klub, CLR tentunya akan memprofesionalkan manajemen sepakbola klub dan administrasi kompetisi, mempromosikan kelayakan dan stabilitas finansial, mempromosikan transparansi dalam keuangan, kepemilikan, dan kontrol dari klub.
CLR juga bisa menjaga kredibilitas dan integritas kompetisi klub, sehingga klub dan kompetisi dapat mempromosikan nilai-nilai olahraga sesuai dengan prinsip-prinsip fair play.

Kemudian untuk pemain, CLR akan bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan pemain muda, termasuk pendidikan non-sepakbola. Ini juga akan meningkatkan transparansi dalam hubungan kontraktual atau hukum dengan klub, serta memberikan pemain jaminan perawatan medis.

CLR ini selain bemanfaat bagi klub, kompetisi, dan pemain, ternyata juga memiliki manfaat bagi fans. CLR tentunya akan mempromosikan lingkungan pertandingan yang aman dan meningkatkan pengalaman matchday, serta memastikan kompetisi sepakbola yang menarik.

Kesimpulan
Kenyataannya, CLR ini hampir mustahil untuk seluruh klub Indonesia lakukan. Oleh karena itu, mungkin konsesi harus diberikan jika klub Indonesia ingin mendapatkan pengakuan dari dunia. Namun, tidak ada yang menyangkal fakta bahwa penerapan sistem perizinan klub adalah suatu keharusan jika sepakbola dalam negeri Indonesia ingin menjadi menarik dan sehat secara finansial.

Soal finansial ini sangat penting untuk diletakkan sebagai konteks utama sepakbola di Indonesia. Dalam kendala finansial yang akut, tapi memaksakan diri untuk ikut kompetisi, rentan membuat sebuah kesebelasan akan mengarungi kompetisi dengan kondisi yang mengerikan: gaji tak terbayar, uang latihan tak ada, jatah makan di asrama pas-pasan, tim tidak bisa melakukan perjalanan tandang, tidak memiliki stadion dan harus bermain dan menyewa stdion di kota lain, dll.

Salah satu imbas paling mengerikan dari soal finasial ini adalah pemain-pemain yang tak digaji akan rentan tergoda oleh uang haram suap. Pengaturan skor hingga sepakbola gajah sangat rentan terjadi dalam situasi seperti ini.

No comments:

Post a Comment