Pages

Wednesday, September 12, 2012

Kaka, dari "Karpet Merah" ke "Kartu Merah"

 
Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi punya segudang kemampuan yang mungkin tidak ada habisnya jika dijelaskan satu persatu. Andres Iniesta juga akhirnya mendapatkan pengakuan dunia setelah baru-baru ini menggondol predikat pemain terbaik Eropa. Bersama Xavi Hernandez, mereka dianggap sebagai kuartet pemain bola terbaik dimuka bumi saat ini. Namun Jika Anda memperluas parameter waktu hingga lima-enam tahun kebelakang, jangan pernah lupakan sebuah nama, Ricardo Izecson Leite, alias Kaka.
 
Kaka memainkan sepak bola yang sederhana jika melihat fakta bahwa dia orang Brazil, namun kesederhanaan permainannya itu cukup untuk membuat perbedaan dan menentukan hasil pertandingan. Akselesari dengan bolanya sangat cepat, kemampuannya dalam meloloskan diri dari lawan sangat eksepsional, insting gol dan umpan-umpannya sangat baik, tendangan-tendangan jarak jauhnya juga akurat. Itulah seperangkat kemampuan yang cukup menggambarkan kelasnya. Dan bukan hanya soal sepak bola yang membuat pemain ini layak didaulat menjadi idola, kelakuan santun dan religiusnya ditengah gemerlap dunia yang digelutinya membuat seluruh wanita dan ibu ingin memiliki figur suami seperti dan anak seperti dirinya.
 
Ricardo Kaka adalah fenomena, yang puncak panggung terbaiknya membentang dalam rentang karirnya bersama AC Milan, dimana 95 gol dari 270 penampilan diukirnya selama 6 tahun di Milanello. Momen saat dia mempermalukan Patrice Evra dan Gabriel Heinze di laga semifinal pertama Liga Champions musim 2006/2007 melawan Manchester United adalah momen yang tidak akan mudah Anda lupakan. Di tahun itu pula Kaka meraih puncak tertinggi karirnya sebagai pemain dengan torehan gelar Liga Champions untuk Milan, sekaligus topskor di ajang yang sama, yang kemudian membawanya pada gelar pemain terbaik dunia.
 
Kesulitan keuangan Milan terpaksa membuat mereka mengambil keputusan tidak populer, seperti saat mereka menjual Andriy Shevchenko ke Chelsea. Tahun 2009, Kaka dijual ke Real Madrid dengan transfer fantastis 68 juta euro, setelah Milan pada tahun membelinya hanya 8 juta euro dari Sao Paolo, hasil rekomendasi dari Rivaldo, juga eks pemain Milan.
 
Pindah ke Madrid ternyata bukanlah keputusan yang baik bagi karirnya. Serangkaian cedera, ketatnya persaingan di lini tengah, dan tingginya sorotan publik Los Blancos pada sosok galactico sepertinya membuat sang pemain mengalami dekadensi permainan. Musim lalu sebenarnya Jose Mourinho memberinya cukup menit bermain pada sang gelandang, namun Mou tidak menganggap Kaka memainkan peran integral dalam perjalanan timnya meraih gelar La Liga. Mou menganggap Kaka hanyalah pemain bergaji mahal tanpa kontribusi berarti.
 
Melodramanya dengan Milan sempat membuatnya nyaris kembali ke Milanello. Rossoneri memang membutuhkan kelas dalam skuatnya setelah ditinggal hampir sebagian pemainnya. Kaka yang kini berlabel “eks bintang” pun mereka anggap sebagai sosok paling realistis untuk didatangkan mengingat romantisme yang masih tersisa diantara mereka.
 
Namun Milan adalah calon pembeli yang rewel. Upaya peminjaman setahun plus opsi kepemilikan permanen dengan pembayaran gaji yang ditanggung bersama Madrid adalah tawaran mereka. Madrid merespon dengan memberi kemudahan, mereka tidak ingin melepas Kaka dengan status pinjaman, namun penjualan permanen dengan banderol murah, kabarnya 10 juta euro. Nyatanya 10 juta euro tetaplah jumlah yang terlalu mahal jika melihat kondisi keuangan Milan saat ini. Belum lagi fakta mahalnya gaji sang gelandang dan implikasi pajaknya.
 
Pajak Penghasilan pemain umumnya ditanggung oleh klub, pemain tinggal menerima gaji bersih setelah dipotong pajak. Masalah pajak ini akhirnya membuat Milan mengetok palu tanda akhir dari pengejaran sang mantan pujaan.
 
Pajak jugalah yang turut mengancam karir Kaka di Eropa. Buntut kenaikan pajak di Spanyol imbas krisis yang melanda dan spirit penghematan yang digalang pemerintahan baru Perdana Menteri Mariano Rajoy ikut berimbas kepada klub besar seperti Madrid, terlebih mereka baru saja mendatangkan Luka Modric. Madrid ingin menjual Kaka, tetapi ironisnya Milan tidak sanggup menggaji sang mantan bintang juga karena masalah pajak.
 
Belakangan, Milan telah mendatangkan dua penyerang Mbaye Niang dan Bojan Krkic, serta gelandang Nigel De Jong. Operasi pengembalian Kaka dihentikan. Sebuah ironi bagi sang mantan bintang. Kaka terpaksa tinggal di klub yang tidak lagi menginginkannya, setidaknya hingga Januari. Ulangan memori 55 ribu Madridistas yang tiga tahun lalu menyambut kehadirannya di Santiago Bernabeu seolah tidak lagi berbekas. Dari “karpet merah” ke “kartu merah”.
 
Kaka memang meneruskan kiprah Ronaldo, Rivaldo dan Ronaldinho yang bergantian meraih penghargaan pemain terbaik dunia. Namun Kaka turut mengalami dekadensi permainan yang drastis layaknya para seniornya itu. Kehebatannya terasa terlalu cepat berlalu.
 

No comments:

Post a Comment