Pages

Monday, September 24, 2012

Alibi Allegri

Allegri, si kambing hitam



Hingga bulan lalu, saya menganggap Allegri adalah pelatih Milan yang biasa saja, yang hanya mengandalkan Zlatan Ibrahimovic sebagai kunci serangan dan Thiago Silva sebagai kunci pertahanan. Dalam dua musimnya, Allegri membawa Milan dan sekali menjuarai liga, sekali menjadi runner-up musim lalu. Di kancah Eropa, pencapaian Allegri hanya sebatas perempat final musim lalu setelah dikalahkan Barcelona.

Di mata saya beberapa waktu lalu, Allegri tidak mampu berbuat banyak setelah Ibra dan Thiago Silva dijual ke Paris Saint Germain. Allegri seperti pelatih kaku yang tidak punya banyak pilihan taktik dan formasi. Pola 4-3-1-2 seperti satu-satunya pola yang bisa dimainkan Allegri.
Banyak yang menghujatnya, terutama setelah tiga hasil buruk di awal musim. Kalah 0-1 di San Siro melawan Sampdoria dan Atalanta serta seri 0-0 lawan Anderlecht di pembukaan Liga Champions. Dalam pertandingan-pertandingan itu, terutama saat takluk dari Atalanta, Allegri terlihat kaku dengan tetap memaksakan pola 4-3-1-2 terlebih setelah tertinggal, alih-alih mencoba strategi lainnya yang bisa memberi kemungkinan lebih banyak terhadap perubahan hasil pertandingan.

Allegri juga disorot atas hubungan kurang baiknya dengan para senior, yang seolah terjustifikasi dengan sempurna lewat kabar pertengkarannya dengan Filippo Inzaghi, yang sebenarnya bisa saja dibesar-besarkan oleh media, atau dengan Gennaro Gattuso yang terus mengkritiknya. Kedua pemain ini memang barisan sakit hati Allegri karena kurang mendapat peran di musim terakhir mereka. Soal itu, Allegri tentu punya pertimbangan mengingat menurunnya performa Gattuso pasca cedera mata yang memaksanya absen lama, atau kurang klopnya Inzaghi dengan Ibra. Dengan kata lain, Allegri juga dianggap tidak menguasai ruang ganti.

Well, segala hal tersebut memang yang dihembuskan media, dan pertengkarannya dengan Pippo memang boleh jadi benar-benar terjadi, tapi pantaskah kita semata-mata hanya menyalahkannya atas buruknya start Milan di musim ini?

Fakta terbaru, Milan menyerah 1-2 lawan Udinese di Friuli. Skor memang tidak memihak Rossoneri, tapi jika kita menonton pertandingan semalam, terlihat Allegri telah melakukan segalanya untuk membawa skuadnya mengalahkan Udinese. Allegri menjawab segala permintaan publik dengan memakai formasi 4-3-3. Ia menempatkan Riccardo Montolivo dan Antonio Nocerino, dua gelandang langganan timnas dengan kapten Massimo Ambrosini. Dia juga memasang tridente Urby Emanuelson, Stephan El Shaarawy dan Giampaolo Pazzini di depan. Di belakang, Cristian Zapata dan Philippe Mexes diduetkan di sentral, diapit Ignazio Abate dan Djamel Mesbah.

Milan bermain bagus hingga 10 menit awal pertandingan. Kombinasi tridente di depan dan permainan rapi Montolivo di tengah setidaknya menghasilkan 4 peluang di menit-menit awal itu, yang kebanyakan mampu digagalkan kiper Udinese yang bermain gemilang. Allegri juga memainkan Kevin-Prince Boateng setelah Milan tertinggal, yang melalui upayanya membuat Milan menyamakan kedudukan lewat El Shaarawy.

Keadaan berubah memburuk ketika Cristian Zapata diusir keluar dan Milan mendapat hukuman penalti. Tapi perlu diingat bahwa setelah tertinggal, Allegri tidak memarkir bus untuk menghindari kekalahan lebih telak, dia justru memasukkan Bojan Krkic. Allegri jelas menginginkan kemenangan, dia tidak menyerah. Sayangnya, Boateng berbuat bodoh dengan dua pelanggarannya yang tidak perlu. Well, pemain dengan nomor 10 memang ada saatnya bertindak bodoh alih-alih membantu tim memenangi laga, dan Boateng nampak masih berusaha memenuhi ekspektasi tifosi terkait nomor punggungnya itu.

Semua pasti juga ingat, pelatih sesukses Carlo Ancelotti juga tidak selamanya mengalami hari yang menyenangkan di Milanello. Tidak jarang Berlusconi mengintervensi taktik Carletto. Bukan rahasia lagi bahwa Berlusconi menginginkan ada dua orang penyerang dalam sebelas pemain, sementara Carletto menyukai taktik satu orang penyerang saja. Bagaimana dengan Leonardo? Milanisti sudah mengecapnya sebagai penghianat karena menyebrang ke Inter Milan. Jika kita melihat pada sisi Leo, lihatlah pencapaiannya membawa Milan menduduki posisi ketiga malah tidak dihargai Berlusconi, yang lagi-lagi mencecar taktik 4-2-fantasia Leo, yang lewat sepak bola full attack-nya itu malah membuatnya sempat digosipkan akan menangani tim nasional Brasil. Keputusan Leo memilih Inter ketimbang tim lain yang menawarinya tentu atas dasar balas dendam yang manis kepada Berlusconi, yang tentunya mengambil konsekuensi dimusuhi Milanisti.

Apa yang berusaha saya katakan? Tidak lain, ini semua politik. Balik lagi ke situasi sekarang, Allegri bisa jadi adalah korban. Allegri bukanlah orang yang memutuskan penjualan pemain, karena itu keputusan manajemen. Manajemen memutuskan untuk melakukan overhaul tanpa mengganti pemain kunci dengan pengganti sepadan, yang memang bijak dari kacamata finansial maupun regenerasi masa depan tapi tidak bagus dari sisi prestasi masa kini.

Bukannya saya membela Allegri, hanya mengatakan bahwa ini tidak semata kesalahan Allegri. Lalu apakah saya juga menyalahkan manajemen? Hahaha sangat bodoh jika menyalahkan manajemen yang telah memberi lebih dari 20 gelar juara bagi klub.

Milan memang mengalami hasil buruk menghadapi lawan-lawan yang memiliki kualitas pemain yang berada dibawah mereka. Memang benar. Tapi masalah Milan tidaklah sesederhana itu, lagi-lagi saya harus tegaskan bahwa Milan kehilangan pemain-pemain yang memang menjadi roh permainan , baik di lapangan, di tempat latihan maupun di ruang ganti. Milan hanya butuh waktu, dan waktu itu menjadi barang mahal bagi Allegri atau siapapun pelatih yang timnya mengalami krisis hasil.

Nikmati sajalah keadaan ini, dan nikmati saja Plastic Fans lain mencela-cela tanpa arah. Ini hanya sepak bola, ada saatnya tim yang kita dukung berada diatas dan ada saatnya berada dibawah. 

Thursday, September 20, 2012

Melodrama Cristiano Ronaldo dan Pajak

Look at me, I am somebody. Repeat after me!
 
 
Cristiano Ronaldo memang memiliki ego yang super tinggi dan keranjingan publisitas yang akut. Di saat publik sepantasnya mendaulat Andres Iniesta, sang peraih gelar pemain terbaik Eropa menjadi pengisi headline berbagai media, Ronaldo membikin sensasi yang memang mau tidak mau akan menarik atensi para jurnalis.
 
Dengan gayanya yang seperti siswa Taman Kanak-Kanak yang habis diomeli gurunya, Ronaldo meringis hampir di sepanjang pertandingan melawan Granada, memegangi pahanya yang menurutnya nyeri, dan puncaknya adalah ekspresi dinginnya sesaat setelah dia mencetak gol keduanya. Ketika dicegat wartawan di mixed zone, Ronaldo dengan tampang kusutnya menjawab pertanyaan wartawan.
“Jika aku tidak merayakan gol yang kucetak, berarti aku sedang tidak bahagia.” Begitulah pembukaan kalimat kegalauan sang bintang.
 
Ronaldo, menutupi rambut penuh gel-nya dengan topi, melanjutkan bahwa klub tahu persis permasalahan yang dihadapinya. Spekulasi berkembang liar, bagaikan efek bola salju.
 
Ada yang berpendapat bahwa kesedihannya berpangkal pada perlakuan klub kepada sahabat-sahabat satu timnya, Ricardo Kaka, Fabio Coentrao, dan Ricardo Carvalho, yang tidak sepantasnya. Ada pula yang mengaitkan pernyataan Marcelo bahwa Iker Casillas pantas memenangi penghargaan pemain terbaik, lalu kegagalan Portugal di kejuaraan Piala Eropa serta kegagalannya meraih gelar pemain terbaik Eropa juga mungkin berpengaruh pada mood sang pencetak 150 gol bagi Los Blancos ini.
 
Tidak ada yang tahu pasti kenapa Ronaldo bersikap demikian, hanya dia, Tuhan dan klub yang tahu. Namun dari perspektif uang, jumlah 32 juta euro boleh jadi adalah penyebabnya.
 
Ronaldo kabarnya digaji 10 juta euro, sudah bersih dipotong pajak. Bersama Kaka, mereka adalah pemain bergaji tertinggi di skuad Los Galacticos. Ronaldo, dengan segala kehebatan dan kontribusinya pada klub, merasa pantas untuk mendapatkan kenaikan gaji, sekaligus menjadikannya pemain dengan penghasilan terbesar di dunia.
 
Walaupun mengakui bahwa kontribusi CR7 sangat eksepsional, hitung-hitungan pajak memaksa para petinggi klub menunda lebih lama permintaan kenaikan gaji Ronaldo. Ronaldo, bersama Kaka adalah pemain yang didatangkan pada saat The Beckham Law masih berlaku.
 
The Beckham Law ini memberi klub fasilitas perpajakan menggiurkan bukan hanya untuk pesepakbola asing, namun juga untuk seluruh ekspatriat berpenghasilan diatas 600 ribu euro setahun. Spirit pemerintah Spanyol saat itu adalah mengundang sebanyak-banyaknya ekspatriat ke negara tersebut guna memanfaatkan keahlian mereka dan menjadikan negeri matador lebih maju dalam segala bidang. Dalam kacamata sepak bola, mereka ingin menjadikan kompetisi liga Spanyol menjadi tujuan pemain-pemain terbaik dunia.
 
Klub-klub mereka melakukan pembelian besar-besaran para pemain asing, dimulai dari kedatangan David Beckham ke Real Madrid. Mereka memanfaatkan rendahnya tarif pajak untuk bisa menggaji pemain asingnya lebih besar lagi, sehingga mereka mampu memenangkan persaingan transfer pemain dengan negara-negara yang tarif pajaknya lebih tinggi. Lebih jauh, Beckham Law ternyata hanya membuat kompetisi La Liga mengalami ketimpangan yang menyamai Scottish Premier League saat Glasgow Rangers masih bercokol disana. Beckham Law ini nyatanya paling banyak dinikmati oleh klub-klub seperti Real Madrid dan Barcelona. Kedatangan pemain-pemain terbaik membuat kekuatan dua tim ini sulit disaingi kontestan lain.
 
Lho, bukannya Beckham Law sudah dicabut? Memang benar. Namun Ronaldo saat kedatangannya ke Madrid tahun 2009 menandatangani kontrak kerja dimana Beckham Law masih berlaku. Artinya hingga kontraknya usai di tahun 2015, fasilitas perpajakan berupa tarif 24,75% masih dinikmati Real Madrid. Hitung-hitungan sederhana, Madrid dalam rentang waktu 2009 hingga 2015 nanti akan membayar pajak kurang lebih 15 juta euro hasil dari perkalian 24,75% dari 10 juta euro per tahun.
Hitung-hitungan diatas bisa berantakan jika sekarang Ronaldo merengek meminta kenaikan gaji, yang kabarnya mencapai 15 juta euro per tahun. Dicabutnya Beckham Law mulai tahun 2010 dan kenaikan tarif pajak Spanyol hingga 53% imbas dari krisis ekonomi membuat situasi menjadi tidak lagi sederhana. Memenuhi permintaan kenaikan gaji Ronaldo tidaklah sesederhana memenuhi permintaan anak kecil akan sebuah permen lolipop.
 
Dengan asumsi kontraknya akan diperpanjang dengan durasi empat tahun hingga tahun 2016, pajak yang harus dibayar oleh Real Madrid dari sisa kontrak Ronaldo akan membengkak menjadi 32 juta euro. Petinggi Real Madrid tentu tidak akan begitu saja menyetujui tuntutan Ronaldo, seberapapun hebatnya dia. Tuntutan efisiensi dari kabinet Perdana Menteri Mariano Rajoy plus perangkat Financial Fair Play Michel Platini membuat klub sepak bola sekaya Real Madrid pun kini tidak bisa lagi seenaknya menghambur-hamburkan uang mereka.
 
Sepak bola, seberapapun menarik dan berpengaruhnya pada sebagian besar penduduk bumi, sudah menjadi olahraga yang terlalu mahal.
 

Friday, September 14, 2012

Anton (not) the new Roman

Not ordinary Sugar Daddy
 
 
Penyerbuan Tariq Ibn Zayid tahun 711 Masehi mengawali invasi bangsa Arab ke Eropa melalui Spanyol. Pasukan pimpinan Tariq kemudian berhasil menguasai wilayah selatan Spanyol yang saat itu dipimpin oleh seorang bangsawan bernama Roderic. Atas keberhasilannya, Tariq Ibn Zayid lalu menamai bukit besar disana dengan namanya, Jabal Tariq, atau Bukit Tariq. Bangsa barat kemudian melafalkannya dengan Gibraltar.

 
Berabad-abad kemudian, Gibraltar kemudian menjadi wilayah strategis yang diperebutkan Spanyol dan Inggris. Sebagai wilayah yang membatasi benua Eropa dengan Afrika, wilayah ini jelas potensial. Inggris, seperti biasa, menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa penakluk dengan wilayah kolonial terbesar di dunia lalu mengambil Gibraltar sebagai bagian dari jajahan mereka.

 
Apa hubungannya Gibraltar dengan sepak bola? Nanti dulu, kita akan kesana sebentar lagi. Gibraltar, seperti halnya Cayman Island, Mauritius, Seychelles, Isle of Man, British Virgin Island dan lain-lain dalam dunia ekonomi adalah sebuah yurisdiksi menguntungkan yang dapat mereka manfaatkan. Wilayah ini dinamakan surga pajak, atau dikenal dengan istilah tax haven. Yurisdiksi semacam ini memungkinkan para pemilik modal dari seluruh dunia untuk membuat anak perusahaan yang berdomisili di wilayah semacam Gibraltar ini, lalu menggunakannya sebagai perusahaan perantara sebagai upaya untuk menghindari pajak yang tinggi.

 
Gibraltar turut menarik minat sebuah perusahaan bernama Thames Sports Investment (TSI). Melalui perusahan milik keluarga Zingarevich, multi miliuner Rusia ini, klub EPL Reading FC dibeli dari pemilik lamanya, Sir John Madjeski. Anton, anak dari Boris Zingarevich pemilik TSI, kini menjadi Presiden klub berjuluk The Royals tersebut. Dengan modal 25 juta pound untuk mengakuisisi Reading, bertambahlah daftar “Sugar Daddy” di kancah sepak bola Eropa.

 
Anton Zingarevich bukanlah orang yang asing dengan negeri Ratu Elizabeth. Di usia 16 tahun, dia bersekolah di Bearwood College, tempat dimana ia suka menghabiskan waktu menonton Reading FC bertanding di Elm Stadium, kandang lama Reading. Keterikatannya dengan klub ini sejak usia muda memang menjadi salah satu pengaruh keputusannya membeli 51% saham Reading. Memiliki klub sebenarnya bukanlah kenginan baru Zingarevich. Pada tahun 2004, Zingarevich sebenarnya dikait-kaitkan dengan Everton, yang saat itu membutuhkan suntikan dana, salah satunya agar calon bintang mereka, Wayne Rooney mampu mereka pertahankan. Namun batalnya negosiasi membuat Bill Kenwright, presiden Everton terpaksa menjual Rooney ke Manchester United. “Sayang sekali dia tidak jadi membeli klub ini, Zingarevich adalah seseorang yang memiliki passion pada dunia sepak bola, pengetahuan sepak bolanya seperti ensiklopedia.” Begitu komentar Kenwright mengenai sosok yang juga mampu bermain sepak bola dengan cukup baik ini.

 
Diluar kehidupan sepak bola dan bisnisnya, Anton sering menjadi magnet kerumunan wartawan. Bisa jadi dia tidak terlalu menyadari karena yang menjadi magnet tersebut boleh jadi Yekaterina Demankova, sosok yang selalu berada di sisinya. Super model keturunan Belarusia yang dikenal dengan nama Katsia ini adalah wanita yang dia temui dari hobi selancarnya di dunia maya. Dari perkenalan yang terjadi di tahun 2008, setahun kemudian mereka memutuskan untuk menikah.

 
Musim lalu, klub yang berdiri pada tahun 1871 ini sempat terseok-seok di kompetisi Champions Division. Namun kedatangan Zingarevich memberi dampak signifikan, terutama keberhasilan mereka memperpanjang kontrak Jimmy Kebe dan mendatangkan bomber Jason Roberts. Mereka lantas memenangi 15 laga dari 17 partai terakhir mereka, yang membuat mereka menempati posisi teratas klasemen Championship Division musim 2011/2012.

 
Pelatih Brian McDermott dipertahankan. Zingarevich beranggapan bahwa McDermott memiliki visi untuk membangun tim secara jangka panjang. Tidak salah memang, karena McDermott memang mengawali karir di Reading sebagai kepala tim pencari bakat sejak tahun 2000, pengalaman yang membuatnya sempat melihat bakat besar Eden Hazard saat usia sang gelandang masih 16 tahun. Dengan pola 4-4-2 andalannya, McDermott meraih penghargaan manajer terbaik divisi Championship musim lalu. pemain-pemian seperti Jobi McAnuff, Jimmy Kebe dan Jason Roberts adalah kunci keberhasilan mereka menjuarai kompetisi kasta kedua Inggris itu.

 
Zingarevich lebih jauh menegaskan bahwa dia bukanlah Roman Abramovich baru. Jika Abramovich langsung mengubah wajah Chelski dengan membeli pemain-pemain bintang berharga mahal dan sering memecat pelatih yang dianggapnya gagal, tidak dengan Zingarevich. Sadar bahwa Reading bukanlah klub yang sudah mapan bertarung di level kompetisi tertinggi, Zingarevich, yang berasal dari kota St. Petersburg ini ingin membangun Reading secara perlahan tapi pasti. “Dalam 5 tahun, target kami adalah tetap bertahan di EPL, kemudian dalam 10 tahun mampu berada di zona eropa.” Demikianlah visi jangka panjangnya.

 
Di awal kepemilikannya ini, Zingarevich hanya menghabiskan dana 5 juta pound untuk membeli striker kompatriot Rusianya, Pavel Pogrebnyak. Zingarevich bahkan turun langsung menemui sang striker guna meyakinkannya bermain di Berkshire. Diluar itu, skuad Reading diisi mayoritas pemain yang membawa mereka promosi ke EPL musim lalu. Sayangnya, mereka gagal membawa pulang Gylfi Sigurdsson, gelandang serang andal yang sempat bersama mereka pada tahun 2009. Pergerakan yang jauh dari agresif ini memperkuat anggapan bahwa Reading adalah tim yang memang menjalankan sepak bola dengan bijak.

 
Zingarevich akan memperbaiki fasilitas latihan dan akademi The Royals, termasuk menjalin kerjasama dengan klub-klub Asia dan Amerika Utara. “Kami ingin pemain-pemain berbakat di seluruh dunia bermain untuk tim ini. Kami ingin mengumpulkan mereka untuk kemudian kami jadikan fondasi tim kami di masa depan.”

 
Menarik menunggu kiprah tim ini dalam lima tahun kedepan ditangan “sugar daddy” yang juga terlihat visioner dan tidak meledak-ledak ini.

 
(Tulisan ini dimuat di www.footballfandom.net | follow @footballfandom1)

Wednesday, September 12, 2012

Kaka, dari "Karpet Merah" ke "Kartu Merah"

 
Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi punya segudang kemampuan yang mungkin tidak ada habisnya jika dijelaskan satu persatu. Andres Iniesta juga akhirnya mendapatkan pengakuan dunia setelah baru-baru ini menggondol predikat pemain terbaik Eropa. Bersama Xavi Hernandez, mereka dianggap sebagai kuartet pemain bola terbaik dimuka bumi saat ini. Namun Jika Anda memperluas parameter waktu hingga lima-enam tahun kebelakang, jangan pernah lupakan sebuah nama, Ricardo Izecson Leite, alias Kaka.
 
Kaka memainkan sepak bola yang sederhana jika melihat fakta bahwa dia orang Brazil, namun kesederhanaan permainannya itu cukup untuk membuat perbedaan dan menentukan hasil pertandingan. Akselesari dengan bolanya sangat cepat, kemampuannya dalam meloloskan diri dari lawan sangat eksepsional, insting gol dan umpan-umpannya sangat baik, tendangan-tendangan jarak jauhnya juga akurat. Itulah seperangkat kemampuan yang cukup menggambarkan kelasnya. Dan bukan hanya soal sepak bola yang membuat pemain ini layak didaulat menjadi idola, kelakuan santun dan religiusnya ditengah gemerlap dunia yang digelutinya membuat seluruh wanita dan ibu ingin memiliki figur suami seperti dan anak seperti dirinya.
 
Ricardo Kaka adalah fenomena, yang puncak panggung terbaiknya membentang dalam rentang karirnya bersama AC Milan, dimana 95 gol dari 270 penampilan diukirnya selama 6 tahun di Milanello. Momen saat dia mempermalukan Patrice Evra dan Gabriel Heinze di laga semifinal pertama Liga Champions musim 2006/2007 melawan Manchester United adalah momen yang tidak akan mudah Anda lupakan. Di tahun itu pula Kaka meraih puncak tertinggi karirnya sebagai pemain dengan torehan gelar Liga Champions untuk Milan, sekaligus topskor di ajang yang sama, yang kemudian membawanya pada gelar pemain terbaik dunia.
 
Kesulitan keuangan Milan terpaksa membuat mereka mengambil keputusan tidak populer, seperti saat mereka menjual Andriy Shevchenko ke Chelsea. Tahun 2009, Kaka dijual ke Real Madrid dengan transfer fantastis 68 juta euro, setelah Milan pada tahun membelinya hanya 8 juta euro dari Sao Paolo, hasil rekomendasi dari Rivaldo, juga eks pemain Milan.
 
Pindah ke Madrid ternyata bukanlah keputusan yang baik bagi karirnya. Serangkaian cedera, ketatnya persaingan di lini tengah, dan tingginya sorotan publik Los Blancos pada sosok galactico sepertinya membuat sang pemain mengalami dekadensi permainan. Musim lalu sebenarnya Jose Mourinho memberinya cukup menit bermain pada sang gelandang, namun Mou tidak menganggap Kaka memainkan peran integral dalam perjalanan timnya meraih gelar La Liga. Mou menganggap Kaka hanyalah pemain bergaji mahal tanpa kontribusi berarti.
 
Melodramanya dengan Milan sempat membuatnya nyaris kembali ke Milanello. Rossoneri memang membutuhkan kelas dalam skuatnya setelah ditinggal hampir sebagian pemainnya. Kaka yang kini berlabel “eks bintang” pun mereka anggap sebagai sosok paling realistis untuk didatangkan mengingat romantisme yang masih tersisa diantara mereka.
 
Namun Milan adalah calon pembeli yang rewel. Upaya peminjaman setahun plus opsi kepemilikan permanen dengan pembayaran gaji yang ditanggung bersama Madrid adalah tawaran mereka. Madrid merespon dengan memberi kemudahan, mereka tidak ingin melepas Kaka dengan status pinjaman, namun penjualan permanen dengan banderol murah, kabarnya 10 juta euro. Nyatanya 10 juta euro tetaplah jumlah yang terlalu mahal jika melihat kondisi keuangan Milan saat ini. Belum lagi fakta mahalnya gaji sang gelandang dan implikasi pajaknya.
 
Pajak Penghasilan pemain umumnya ditanggung oleh klub, pemain tinggal menerima gaji bersih setelah dipotong pajak. Masalah pajak ini akhirnya membuat Milan mengetok palu tanda akhir dari pengejaran sang mantan pujaan.
 
Pajak jugalah yang turut mengancam karir Kaka di Eropa. Buntut kenaikan pajak di Spanyol imbas krisis yang melanda dan spirit penghematan yang digalang pemerintahan baru Perdana Menteri Mariano Rajoy ikut berimbas kepada klub besar seperti Madrid, terlebih mereka baru saja mendatangkan Luka Modric. Madrid ingin menjual Kaka, tetapi ironisnya Milan tidak sanggup menggaji sang mantan bintang juga karena masalah pajak.
 
Belakangan, Milan telah mendatangkan dua penyerang Mbaye Niang dan Bojan Krkic, serta gelandang Nigel De Jong. Operasi pengembalian Kaka dihentikan. Sebuah ironi bagi sang mantan bintang. Kaka terpaksa tinggal di klub yang tidak lagi menginginkannya, setidaknya hingga Januari. Ulangan memori 55 ribu Madridistas yang tiga tahun lalu menyambut kehadirannya di Santiago Bernabeu seolah tidak lagi berbekas. Dari “karpet merah” ke “kartu merah”.
 
Kaka memang meneruskan kiprah Ronaldo, Rivaldo dan Ronaldinho yang bergantian meraih penghargaan pemain terbaik dunia. Namun Kaka turut mengalami dekadensi permainan yang drastis layaknya para seniornya itu. Kehebatannya terasa terlalu cepat berlalu.