Pages

Monday, May 4, 2015

Tragedi Superga, Akhir Dari Sebuah Generasi Emas

Photo: Wikipedia.it

Tulisan ini pernah dimuat di Yahoo Indonesia, 4 Mei 2013. Penulis menuliskan ulang di blog ini dengan melakukan edit seperlunya.
______________________________________________________________

Meski bukanlah kompetisi sepak bola tertua di dunia, kompetisi sepak bola Liga Italia tetap dianggap sebagai kompetisi klasik yang sudah berjalan sejak tahun 1898. Sebelum kompetisi dengan format Seri A digulirkan mulai tahun 1929, kompetisi sepak bola Italia menggunakan sistem turnamen regional.

Secara total, Juventus menjadi pengumpul gelar juara terbanyak kompetisi negeri ini. 31 atau 33 gelar, itu tergantung pada keimanan masing-masing. Di bawah Juve, muncul AC Milan dan Inter Milan yang mengikuti dengan 18 gelar.

Selanjutnya, tercipta jarak yang cukup besar soal pengumpul terbanyak gelar juara liga karena setelah trio ini baru muncul nama Genoa yang mengumpulkan sembilan gelar. Di bawah Genoa, terdapat tiga klub yang mengumpulkan tujuh gelar yaitu Torino, Bologna dan Pro Vercelli.

Baik Torino, Bologna maupun Pro Vercelli merajai Liga Italia di masa lampau. Sebelum Seri A bergulir, Genoa dan Pro Vercelli adalah tim terbaik, sementara Bologna banyak disebut sebagai tim favorit Benito Mussolini, pemimpin berhaluan fasis Italia saat itu. Namun setelah Seri A bergulir, Torino adalah tim fantastis yang mencuat dengan mengumpulkan 5 gelar pada periode 1940an. Il Toro merajai Seri A lima musim beruntun pada masa itu berkat permainan gemilang yang diperagakan oleh tim yang dikenal dengan sebutan Il Grande Torino.

Kegemilangan Il Grande Torino dimulai saat klub dibeli oleh Ferruccio Novo, industrialis lokal yang mengakuisisi tim ini tahun 1939. Di bawah kepemimpinan Novo dan manajer asal Hungaria, Erno Egri “Ernst” Ebrstein, Torino disebut-sebut sebagai klub yang pertama kali memperkenalkan sistem pencarian bakat (talent scouting). Novo juga mempekerjakan orang-orang yang memang kompeten di bidangnya agar Torino bertransformasi dari klub semenjana menjadi klub besar. Sistem ini sekarang telah digunakan oleh hampir seluruh klub sepak bola profesional di dunia.

Usaha pencarian bakat yang sistematis tersebut sukses. Hasilnya, Torino mendapatkan pemain-pemain yang kelak menjadi legenda mereka seperti Franco Ossola, Ezio Loik, dan tentu saja Valentino Mazzola.

Ebrstein disebut sebagai orang yang berperan besar dalam mencari dan memilih para pemain ini sekaligus mengembangkan mereka sebagai yang terbaik. Ebrstein memperlihatkan perannya sebagai manajer, bukan sekadar pelatih. Pendekatan personal kepada pemain demi mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.  Semasa masih bermain, pria yang sempat melarikan diri dari Italia akibat Anti-Semitic Manifesto yang diberlakukan Mussolini ini mengakhiri karir di klub Brooklyn Wanderers di Amerika Serikat sebelum terjun ke dunia kepelatihan. Ia kemudian terbang ke Italia untuk menangani Bari dan Lucchese sebelum Torino menariknya tahun 1938.

Di lapangan, Ebrstein memperagakan permainan dengan taktik revolusioner 4-2-4, dengan memodifikasi permainan umpan-umpan pendek tim Eropa daratan dengan kedisiplinan dalam taktik Sistema yang diperagakan Vittorio Pozzo, pelatih timnas Italia tahun 1930an yang hingga kini menjadi satu-satunya yang berhasil membawa timnya memenangi dua Piala Dunia. Taktik tersebut menurut para pengamat menjadi inspirasi bagi tim Brasil saat mereka menjuarai Piala Dunia 1958 dan juga tim nasional Belanda tahun 1970an.
Torino menunjuk Valentino Mazzola sebagai kapten tim. Mazzola sering dianggap sebagai salah satu gelandang terbaik yang pernah dilahirkan di Italia berkat tehniknya yang tinggi, fisik yang kuat serta kharisma di ruang ganti. Penjaga gawang Valerio Bacigalupo adalah salah satu penjaga gawang yang pertama kali terlihat sering keluar gari sarang untuk menghalau serangan lawan. Mario Rigamonti dan Romeo Menti yang juga anggota tim ini bahkan diabadikan namanya menjadi stadion markas klub Brescia dan Vicenza.

Kehebatan mereka diakui secara luas di mana pada periode tersebut tim nasional Italia beranggotakan sebagian besar pemain Torino. Bahkan dalam sebuah laga uji coba melawan Hungaria tahun 1947, 10 dari 11 pemain starter tim Italia adalah pemain Torino. Sebuah pengakuan yang wajar mengingat dalam kurun waktu tahun 1943 hingga 1949, Torino selalu menjadi juara Seri A.

Takdir memang datang tanpa bisa diduga. Kedigdayaan Il Grande Torino harus berakhir selama-lamanya oleh tragedi kecelakaan pesawat pada tanggal 4 Mei 1949, tepat 66 tahun yang lalu. Sekembalinya dari kota Lisbon untuk melakoni pertandingan uji coba melawan Benfica, pesawat yang mengangkut skuat Torino beserta staf pelatih dan beberapa jurnalis menabrak bukit Superga akibat terbang terlalu rendah saat hendak mendarat.

Tragedi ini juga mengubah sejarah sepak bola Italia, terutama tim nasional. Mereka kehilangan pemain-pemain andalan yang memang selama ini berporos tim Torino. Karena trauma, tim nasional Italia berangkat ke Brasil dengan kapal laut untuk mengikuti Piala Dunia 1950, di mana mereka langsung tersingkir akibat kondisi fisik yang tidak memadai selepas perjalanan jauh.

Butuh waktu hingga 1 dekade untuk mengembalikan kebesaran sepak bola negeri ini. Tim hebat berikutnya baru muncul pada tahun 60an dari kota Milan. Milan di bawah asuhan Nereo Rocco yang memperagakan taktik catenaccio, yang kemudian disempurnakan Inter di bawah asuhan Helenio Herrera untuk kemudian menyandang julukan Il Grande Inter, seperti halnya Torino. Uniknya, Il Grande Inter menguasai Italia dan Eropa saat itu dengan mengandalkan pemain tengah mereka, Sandro Mazzola, anak dari Valentino.

Banyak pula pihak yang menganggap tragedi ini mempengaruhi peta kekuatan klub sepak bola di Eropa. European Cup –turnamen yang menjadi cikal bakal Liga Champions dihelat pertama kali tahun 1955 dimana saat itu Real Madrid berjaya dengan pemain seperti Alfredo Di Stefano.

Jika tim Il Grande Torino masih ada, banyak pihak menduga Real Madrid tidak akan mudah memenangi 5 gelar turnamen secara beruntun dalam kurun waktu tahun 1956 hingga 1960 tersebut. Pendapat yang cukup masuk akal karena saat tragedi Superga terjadi, kebanyakan pemain Torino masih berusia di bawah 30 tahun. 

No comments:

Post a Comment