Pages

Wednesday, January 30, 2013

They finally Choose Balotelli over Kaka


Anda membaca tulisan ini setelah upaya comeback Ricardo Kaka ke Milan urung terjadi. Cerita ini mengulangi cerita yang sama beberapa bulan lalu. Milan kembali mundur setelah Real Madrid dibisiki konsultan pajaknya untuk memasang harga 20 juta euro bagi sang pemain terbaik dunia 2007 ini. Dengan uang sebanyak itu, Milan akhirnya memilih untuk mendatangkan Mario Balotelli.

Sekitar lima tahun lalu, Milanisti cewek mana yang tidak memajang poster Kaka di kamarnya? Ah mungkin bukan hanya Milanisti, suporter klub lain juga mungkin akan malu-malu memajang poster pemain bernama lengkap Ricardo Izecson Dos Santos Leite ini bersanding dengan pemain-pemain idola dari klub favoritnya. Ricardo Kaka adalah sosok idola layaknya Besarion “Beso” Djugashvili di abad 19, dimana Caroline Celico berada pada situasi seperti Keke Geladze yang dicemburui oleh sebagian besar wanita yang menginginkan untuk menjadi istri Beso.

Benar, Kaka adalah fenomena saat itu. Ia sudah cocok disebut legenda Milan menjadi penerus figur sentral sebelumnya seperti Dejan Savicevic, Zvonimir Boban atau Manuel Rui Costa. Dalam beberapa aspek, Kaka bernilai lebih dari para seniornya itu. Aspek kesantunan, kesalehan dan ketampanan misalnya. Tapi lebih dari itu, pada tahun 2007 ia memimpin Milan memenangi Liga Champions disaat skuat Milan secara kualitas berada dibawah skuat-skuat pemenang sebelumnya saat Il Diavolo Rosso juga merajai Eropa.

Pemain dengan kontribusi sebesar itu tentu tidak akan dijual, apalagi oleh klub yang memegang prinsip kekeluargaan seperti Milan. Namun siapa sangka vonis hakim pada kasus Fininvest yang bebuntut denda ratusan juta euro membuat Berlusconi terpaksa mengiyakan tawaran sebesar 68 juta euro dari Florentino Perez tiga setengah tahun lalu. Dengan gaji mencapai 10,5 juta euro per musim, Kaka adalah galactico baru yang Perez usung demi menggulingkan anak-anak dari planet lain bernama La Masia.

Tidak usahlah kita membahas apakah upaya Perez menggoyang Barcelona sukses atau tidak, karena dari sukses atau tidaknya Real Madrid selama tiga setengah tahun ini, hanya sedikit kontribusi Ricardo Kaka didalamnya. Dengan bandrol dan gaji sebesar itu, awalnya Perez tentu tidak ingin membeli seorang pemain cadangan. Namun yang terjadi adalah rangkaian cedera mengganggu form dari sang playmaker, meski tidak menggerus skill individu yang dimilikinya. Selain faktor cedera, di posisinya Kaka bersaing dengan Mesut Ozil. Ozil
Kaka lebih sering menjadi guci antik mahal di bangku cadangan Los Galacticos. Musim ini ia baru tampil 7 kali dimana enam diantaranya sebagai pengganti. Ini melengkapi catatan 73 pertandingan dan 20 golnya selama berseragam putih dalam tiga setengah musim. Dari statistik, sebenarnya kontribusi ini bukanlah catatan yang jelek. Kaka hanya kalah panggung dari Cristiano Ronaldo, sang bintang utama.

Aspek finansial kembali menjadi penghalang
Setelah di musim panas Rossoneri tidak mampu memenuhi permintaan transfer 10 juta euro dari Real Madrid, di bursa transfer musim dingin ini, Milan mencoba mengangkat romantisme winter sonata mereka dengan sang mantan bintang. Skema tawaran yang pas dengan kantong mereka terus tawarkan, dan kabarnya Kaka sampai bersedia gajinya dipotong demi bergabung kembali ke Milan.

Ini jelas baik buat karir Kaka karena Milan akan menerima sang mantan bintang dengan tangan terbuka dan pasti akan memaksimalkan tenaganya. Kehadiran Kaka, meskipun kini bukanlah orang yang sama seperti lima tahun silam tetap menjadi berkah bagi Rossoneri, yang kini boleh dibilang tampil tanpa pemain bintang. “Kedatangannya akan jauh meningkatkan aspek tehnik tim ini.” Ujar Adriano Galliani, wakil Presiden Milan.

Meski demikian, baik Milan maupun Madrid tidak bisa gegabah untuk meng-gol-kan transaksi ini. Dari sisi Milan, jelas mereka sedang menjalankan pengetatan keuangan guna menyambut Financial Fair Play. Tidak akan ada gunanya jika mereka mendatangkan pemain berkualitas demi lolos ke  Liga Champions musim depan jika nantinya kondisi finansial malah kemudian memaksa mereka absen dari turnamen itu.

Seperti diketahui, Milan menetapkan salary cap untuk mereka sendiri sebesar 4 juta euro per tahun. Milan bersedia memberi pengecualian bagi Kaka dengan memberinya gaji sebesar 6 juta. Dengan akumulasi gaji Kaka hingga akhir Juni 2015 sebesar 15 juta euro, Milan telah menghitung bahwa biaya ini kurang lebih sama dengan penerimaan transfer Pato dari Corinthians baru-baru ini. Hitung-hitungana sederhana ini menunjukkan bahwa Milan telah memilih pengalokasian dana penjualan Pato semata-mata untuk membayar gaji Kaka.

Milan terancam terjebak pada situasi delusional hebat sesaat lalu kelimpungan karena kemudian hitung-hitungan finansial memaksa mereka kembali menjual pemain. A temporary success for a long term failure. Pembelian Balotelli membuktikan setidaknya Milan memiliki visi kedepan. Dengan usianya yang masih muda, pemain ini memiliki lebih banyak peluang untuk bersinar.

Begitu pula dari sisi Real Madrid. Tawaran 30 bulan loan itu berarti membuat Milan akan memiliki Kaka hinga kontraknya habis tahun 2015 nanti, dan ketika saat itu tiba, Milan bisa menggaet Kaka dengan gratis. Dengan meminjamkan Kaka ke Milan, Madrid memang bisa menghemat biaya gaji hingga 25 juta euro, namun hal itu tidak mereka inginkan karena mereka merasa Kaka masih punya nilai jual mencapai 20 juta (16 juta menurut situs transfermarkt). Dengan nilai itu, Madrid bisa saja berharap klub seperti Paris Saint Germain atau Anzhi Makhachkala untuk membelinya ketimbang terus bernegosiasi alot dengan Milan.

Monday, January 28, 2013

Giornata 22: Action Packed!

The next Batistuta?


Semalam, saya tetap teguh memegang prinsip untuk menonton Seri A meski pada saat bersamaan klub super tajir Real Madrid dengan bintang-bintangnya berlaga melawan Getafe. Dengan pertimbangan selera, saya lebih memilih untuk menonton Bologna vs AS Roma lalu lanjut ke Atalanta vs AC Milan.

Giornata 22 seri a ini sungguh banyak menghasilkan cerita menarik. kehebatan Mauro Icardi, bomber Sampdoria kelahiran Rosario, Argentina ternyata bukanlah sensasi one match wonder merujuk pada dua golnya ke gawang Gigi Buffon beberapa waktu lalu. Kemarin, penyerang ini mencetak Poker alias empat gol ke gawang Pescara yang dijaga oleh salah satu kiper terbaik Seri a musim ini, Mattia Perin. Gol ke-8 Icardi musim ini.

Tidak hanya Icardi yang masih berusia 19 tahun, Stephan El Shaarawy dan Alberto Paloschi yang juga masih muda juga mampu berjaya di pekan ini. Mereka masing-masing mencetak gol kemenangan ke gawang Atalanta dan Lazio. Bagi Paloschi, gol tersebut adalah yang ke 8 bagi striker milik Milan ini.
***
Sementara dari partai pertama yang saya saksikan di Renato D’all Ara, AS Roma mendapat perlawanan sengit dari tuan rumah Bologna. Mengaburkan fakta bahwa mereka menghadapi tim tertajam di Seri A, Bologna tampil berani dan keluar menyerang sehingga pertandingan ini seru tiada habisnya.

Jika publik EPL ramai-ramai menyanjung seorang Ryan Giggs, mereka mungkin lupa bahwa Seri a punya Francesco Totti, kapten Roma berusia 36 tahun yang masih tampil layaknya 10 tahun lebih muda. Totti kemarin menjadi inspirator serangan Il Giallorossi dengan menyumbangkan dua buah assist kepada juniornya, Alessandro Florenzi dan Panagiotis Tachtsidis yang sama-sama masih berusia 21 tahun. Totti sendiri telah mencetak lebih dari 200 gol di Seri a sejak awal karirnya tahun 1993 lalu.

Di laga ini, anda tidak bisa memalingkan mata pada sosok trequartista dari Bologna, Alessandro Diamanti. Dengan potongan rambut “semau gue”, Diamanti membuktikan bahwa permainannya memang sekeren rambutnya itu. Selain membantu Alberto Gilardino mencetak gol pertama, Diamanti juga seharusnya membawa kemenangan bagi timnya setelah di 10 menit terakhir tendangan-tendangan kerasnya dua kali membentur tiang gawang.

Gelandang serang berusia 29 tahun ini adalah kunci permaian Rossoblu musim ini. Setiap ia tampil bagus, Bologna meraih hasil positif. Terbukti, di pertandingan lawan Roma kemarin situs Whoscored memberinya nilai 8,6. Total, Diamanti telah mencetak 5 gol, 3 assist dan rataan 1,7 key passes setiap pertandingannya.

Pemain yang menjadi penentu dalam adu penalti Italia lawan Inggris di Euro 2012 lalu ini memang berbahaya. Ia melepas rataan 3,6 tendangan ke gawang lawan per pertandingan, dan 3,1 dribbles per game. Dengan kerja kerasnya ini, ia membawa tim miskin bintang seperti Bologna tampil cukup menawan musim ini.
The rockstars

***
Sementara di laga Milan lawan Atalanta di Bergamo, Milan dengan susah payah akhirnya mampu menundukkan tuan rumah dengan skor tipis 1-0. Hasil ini sekaligus membalaskan dendam pada pertemuan pertama saat gol tunggal Luca Cigarini membawa Milan menyerah juga dengan skor 0-1 dari La Dea.

Milan bermodal hasil 7 kali menang dalam 8 laga terakhir Seri a mereka sebelum bertandang ke Bergamo, namun tuan rumah yang dimotori Cigarini dan kapten German Denis mampu memberikan kesulitan bagi anak asuh Allegri.

Turun dengan starter sama ketika mengalahkan Bologna pekan lalu, Milan memang langsung tancap gas di menit-menit awal, namun justru Atalanta lebih banyak mengancam lewat Denis, yang didukung oleh Bonaventura maupun Cigarini. Beberapa kali para pemain Atalanta meneror sayap Milan sebelum memberi umpan silang kepada Denis, namun sang kapten tidak menemukan harinya karena beberapa kali gagal memaksimalkan peluang bagus.

Justru Milan yang perlahan memegang kendali permainan. Kevin Prince Boateng bersama Riccardo Montolivo dan Mathieu Flamini begitu baik memainkan bola dan saling mengumpan. Kerjasama Boateng dan El Shaarawy di sisi kanan pertahanan lawan juga berkali-kali membahayakan pertahanan yang digalang Sebastiano Siviglia.

El Shaarawy akhirnya memecah kebuntuan setelah menerima umpan pendek M’baye Niang. Dengan first touch dan finishing yang sempurna, El Shaarawy menaklukkan Andrea Consigli, kiper tangguh yang juga tampil baik musim ini. Gol di babak pertama ini menandai gol ke 15 sang bintang baru, yang baru saja ditawar Napoli senilai 30 juta euro. Gol ini juga mengubah kebiasaan Milan yang selama ini lebih banyak mencetak gol di babak kedua.

Atalanta bermain keras untuk meladeni kemampuan passing Milan. Permainan itu menjadi senjata makan tuan setelah Davide Brivio terkena dua kartu kuning dan memaksa La Dea mengorbankan German Denis untuk memasang bek pengganti. Dengan kondisi tertinggal dan hanya menggunakan 10 pemain, Milan seharusnya bisa menambah gol, tapi nyatanya tidak.

Atalanta menugaskan Christian Raimondi dan Davide Biondini untuk mengunci pergerakan Boateng dan El Shaarawy sehingga dua pemain ini tidak mampu berbuat banyak sepanjang babak kedua. Dengan serangan Milan yang berat di kiri, Atalanta aman dan malahan mereka mampu mengembangkan permainan.

10 orang pemain Atalanta nyatanya mampu meladeni 11 milik Milan. Kedisiplinan dan permainan keras yang berbuah hujan kartu ini membuat Milan ketar-ketir, belum lagi bek-bek Milan sering membuat pelanggaran di sekitar daerah final third. Atalanta tahu benar lawan mereka ini sangat rentan pada situasi set piece.

Meski menang dan para pesaing kalah –Milan kini berada di posisi 5 dan hanya berselisih 3 poin dari Inter di posisi 4 dan 6 dari Lazio di posisi 3- performa Rossoneri tidak bisa dibilang menggembirakan. Dengan permainan keras dan intimidatif, Atalanta bahkan mampu menandingi Milan dengan 10 pemain. Melempemnya Pazzini juga menyebabkan berkurangnya ketajaman Milan. Beberapa kali sang striker yang telah mencetak 10 gol ini gagal memanfaatkan bola crossing yang sebenarnya menjadi makanannya.

Monday, January 21, 2013

Milan vs Bologna: Mantap dengan 4-3-3

European zone, here we come!


Sebuah pertunjukan menghibur kembali diperagakan dalam laga-laga Liga Italia Seri a di awal tahun 2013 ini, pertunjukan yang menurut saya tidak kalah dengan yang dipertontonkan oleh EPL.

Setelah sebelumnya menyaksikan bagaimana Fiorentina berjibaku melawan tangguhnya Napoli -diantaranya disuguhi gol setengah lapangan Facundo Roncaglia-, saya kemudian disuguhi atraksi menawan dari anak-anak Milanello saat menghadapi Bologna. Pesta Spaghetti Bolognaise akhirnya terlaksana.

Masih belum mampu berpesta di babak pertama
Dalam laga ke 11 di San Siro musim ini tersebut, Milan seperti biasa memulai laga dengan positif dan menguasai ball possession. Allegri memasang tridente El Shaarawy, Pazzini dan Niang dan menghapus spekulasi bahwa Il Faraone akan diistirahatkan. El Shaarawy nyatanya menyingkirkan keraguan banyak pihak terkait penurunan performanya. Meski tidak mencetak gol di babak pertama ini –juga hingga usai pertandingan- namun pergerakan tanpa lelah dan skill eksepsionalnya berkontribusi pada raihan 7 tembakan di babak pertama.

Statistik El Shaarawy sendiri cukup memuaskan. Dari 7 tembakan yang dilakukan pemain-pemain Rossoneri, 3 diantaranya adalah hasil jerih payahnya. Berdasarkan catatan saya, beginilah catatan El Shaarawy.

Stephan El Shaarawy: Pass (12/15), Dribble (3/5), Shots (2/3), Tackle 1, Cross (0/1), Intercept 2, Foul ag 1, Headers (0/1).
Tampilnya Niang di sisi kanan penyerangan memang sempat membuat banyak pihak ragu. Nyatanya, Niang memang membukukan catatan dribbling yang apik, ia sukses 4 kali melewati lawan dalam 6 percobaan. Jika kehilangan bola, pemain ini memiliki kecenderungan untuk merebutnya kembali. Crossing-nya juga sering menimbulkan prahara di lini pertahanan lawan. Kelihaiannya ini memang mengonfirmasi bakat besar penyerang yang baru berusia 18 tahun ini. Work rate-nya sangat tinggi. Namun memang dasar masih hijau, pengambilan keputusannya seringkali salah dan kontrol bolanya sering terlepas.

Selain Riccardo Montolivo yang mampu melakukan 33 passing dengan 26 diantaranya tepat sasaran, di babak pertama ini Kevin Constant menunjukkan aksi terbaiknya. Keahliannya mengiris pertahanan lawan lewat kecepatan, kemampuan dribble dan crossingnya yang menawan menjadikannya penampil terbaik di babak pertama ini. Constant tidak hanya apik menyerang, dalam bertahan yang memang menjadi tugas utamanya, pemain kelahiran Guinea ini juga tetap disiplin. Itulah kelebihan Constant yang membuatnya menjadi kandidat transfer terbaik Rossoneri musim ini. Yang luar biasa, Constant berhasil dalam seluruh upaya dribelnya.

Kevin Constant: Pass (17/21), Dribble (7/7), Shot (0/1), Cross (1/2), Intercept 2, Foul against 1. 
I am the best dribbler! Get away!
Gelombang serangan Milan yang membara di menit 30 hingga akhr babak pertama tidak membuahkan gol. Peluang terbaik didapat Giampaolo Pazzini  ketika sundulannya mampu ditepis kiper Federico Agliardi, juga Constant yang terlambat menembak setelah menerima umpan terobosan cantik Montolivo.

Di sisi lain, Milan terbantu dengan penampilan kurang impresif Bologna. Kelelahan karena habis meladeni Inter Milan di Coppa Italia midweek lalu membuat anak asuh Stefano Pioli ini tampil seperti Milan saat menghadapi Sampdoria minggu lalu. Mereka jelas kelelahan. Alessandro Diamanti yang biasanya tampil menginspirasi juga tidak mampu membangkitkan timnya.

Kecenderungan lamban mencetak gol
Melihat penampilan bagus di babak pertama dan Bologna yang tidak memberi perlawanan lebih, memang nampaknya hanya masalah waktu saja bagi Milan untuk memecah kebuntuan. Di babak kedua, Milan lebih banyak menyerang lewan crossing dan karena itu Pazzini jadi lebih berbahaya. Setelah serangkaian kegagalan memanfaatkan bola-bola yang sebenarnya menjadi makanan empuknya, akhirnya di menit 65 sang striker yang sekilas mirip aktor Bradley Cooper ini mampu mencetak gol juga.

Memanfaatkan crossing Abate, Pazzini dengan liat mampu mengalahkan penjaganya dan melepas tendangan mendatar. Bek Bologna sempat melakukan blok namun tetap tidak mampu mencegah terjadinya gol. Setelah gol itu, Milan kian percaya diri, begitu juga Pazzini. Setelah sebelumnya banyak melakukan turn over, dan gagal memanfaatkan crossing, kepercayaan diri sang striker membuat Milan seperti memiliki Ruud Van Nistelrooy di masa jayanya.

Benar saja, beberapa menit setelahnya, aksi terbaik Pazzini tercipta. Dengan teknikal, ia mengontrol crossing dari Boateng dan mengangkat bola melewati kepala pemain lawan sebelum menghujamkan bola ke gawang Agliardi untuk kedua kalinya. Untuk pertama kalinya, gol yang mungkin terbaik sepanjang karir eks striker Inter ini membuat saya melonjak spontan didepan televisi. Gol yang dari prosesnya dapat disamakan dengan gol cantik Paul Gascoigne di Euro 1996 setelah ia mengangkat bola melewati kepala Colin Hendry sebelum menjebol gawang Skotlandia. Gol ke 10 Pazzo musim ini, dimana 5 diantaranya tercipta ke gawang Bologna. He likes Spaghetti Bolognaise a lot.

A goal to remember


Milan seharusnya bisa mengakhiri pertandingan dengan gol ini, namun kenyataannya permainan Bologna berkembang dengan masuknya dua pemain muda, Taider dan Christian Pasquato. Dalam sebuah momen, Pasquato berhasil menyundul bola hasil crossing, yang sialnya malah dihalau Mexes ke gawang sendiri. Sayang sekali gol bunuh diri ini menodai catatan penampilan impresif sang bek Prancis sepanjang pertandingan.

Gol yang menaikkan semangat anak-anak Bologna ini memang membuat tim yang sebelumnya tertidur selama 80 menit berubah garang dalam 10 menit terakhir. Milan terus ditekan, sementara serangan balik yang kemudian mereka andalkan selalu mentah akibat kurang tenangnya para pemain di daerah final third. Beruntung kebangkitan itu hanya di 10 menit akhir, jika pertandingan masih tersisa 10 menit lagi, bukan tidak mungkin Bologna mampu menyamakan kedudukan.

Kesimpulan: Pemantapan pola 4-3-3
Pola 4-3-3 dan penempatan Kevin Prince Boateng di posisi mezz’ala, juga Mathieu Flamini menemani Montolivo memang menjadi kunci bertenaganya lini tengah Milan. Boateng memang belum menemukan jodohnya dengan gawang lawan seperti musim lalu, namun agresivitasnya kadangkala berguna bagi tim. Sementara Montolivo memang menjadi andalan dalam hal distribusi bola. Pemain ini selalu menjadi passer terbanyak Milan yang menjadikan Milan sebagai tim dengan ball possession terbaik nomor dua di Italia dibawah Juventus.

Serangan sayap Milan juga berjalan baik. El Shaarawy yang sering melakukan cut-inside lalu melepas tembakan dan Niang yang mulai percaya diri dengan melakukan cross down the line selalu dibantu overlap kedua full back yang mengirim variasi crossing baik melalui early cross maupun down the line. Dua gol Pazzini kemarin adalah hasil dari dua skema umpan silang tersebut.

Permasalahan akan muncul jika Pazzini absen. Sebagai striker, kemampuan Pazzini menyambut umpan silang masih salah satu yang terbaik di Italia. Ketajamannya di kotak penalti membuatnya mampu meraih produktivitas dua kali lipat ketimbang tahun lalu ia banyak ditempatkan di sayap.

Jika Pazzini absen, Allegri biasanya menempatkan Bojan sebagai ujung tombak, dimana gaya main Bojan sangat berbeda dengan Pazzini. Bojan dengan 1st touch eksepsional lebih piawai dalam bola daerah maupun permainan kombinasi berbekal hasil latihannya di La Masia. Berpartner dengan pemain seperti El Shaarawy, Niang, atau bahkan Urby Emanuelson yang lebih banyak menggiring bola memang menjadikan Bojan belum maksimal menjadi starter di posisi ujung tombak.

Bojan lebih berguna ditempatkan sebagai trequartista dalam skema 4-2-1-3 dimana ia bergerak bebas dibelakang si nomor 9. Dalam hal ini, Allegri memiliki preferensi untuk menurunkan Boateng, dan untungnya ia telah menyadari bahwa Boateng adalah seorang Mezz’ala bernomor 8 ketimbang fantasista bernomor 10.

Lalu dengan peningkatan performa yang juga memantapkan skema 4-3-3 ini, apakah Milan masih butuh kehadiran Ricardo Kaka? Well, pembahasan itu akan saya kupas tuntas di tulisan berbeda.

Sebuah display yang menawan memang diperagakan Milan, namun sedikit kekhawatiran bakal timbul terkait kesulitan mereka untuk membobol gawang lawan di babak pertama. Musim ini gol-gol Milan sebagian besar tercipta di babak kedua. Di satu sisi, hal ini menunjukkan mental bertanding yang bagus dari tim ini karena tidak mudah menyerah, namun di lain sisi menunjukkan bahwa ketidakmampuan mengakhiri perlawanan lawan dengan cepat bukanlah ciri seorang petarung yang baik. Milan perlu memperbaiki hal ini karena jika lambat mencetak gol saat megnhadapi tim kuat, lawan akan lebih dulu melancarkan pukulan mematikan sebelum Milan sempat bangkit. Bercerminlah pada pertandingan lawan AS Roma.

Bagaimanapun, kemenangan ini menjadikan Milan naik ke posisi 6 klasemen sementara, posisi tertinggi Rossoneri musim ini, ironisnya. Milan menggeser Roma yang ditahan Inter di Olimpico beberapa jam setelah pertandingan ini. Kini, selisih Milan tinggal sembilan angka dari posisi 3, posisi impian Milan musim ini. 

Monday, January 14, 2013

Sampdoria vs Milan: A lethargic display


A lethargic display. Kelelahan. Mungkin itulah yang bisa menjadi alasan logis Milan atas ketidakmampuan mereka mempertahankan intensitas permainan selama 90 menit di Luigi Ferraris. Milan harus puas dengan skor kacamata dengan Sampdoria. Skor kacamata pertama dalam 35 pertandingan terakhir seri a yang dilalui Milan menurut Opta Paolo.

Pertandingan Coppa Italia di midweek lawan Juventus memang sangat menguras tenaga. Mexes, De Sciglio, Montolivo, Boateng dan El Shaarawy yang bermain selama 120 beberapa hari lalu kembali menjadi starter dalam skema 4-3-3 Allegri. Nampak sudah comfort dengan patron ini, Allegri kembali menempatkan Boateng di pos Mezz’ala bersama Ambrosini dan Montolivo. Di lini depan, Allegri menurunkan Bojan dan Niang menemani El Shaarawy.

Banyak yang berpendapat bahwa potensi Bojan akan lebih keluar jika bermain sebagai trequartista dalam skema 4-2-3-1, namun saya punya perkiraan bahwa Allegri ingin memaksimalkan peran Boateng. Boateng tampil bagus lawan Juventus, dan nampaknya Allegri makin menemukan pembenaran untuk terus memainkannya. Menempatkan Bojan sebagai trequartista berarti mengorbankan Boateng.



Line up yang sepertinya menjadi line up impian ini seharusnya juga menampilkan permainan yang impresif, namun nyatanya tidak demikian. Kelelahan yang mendera pemain-pemain kunci membuat Milan tidak mampu memainkan permainan terbaiknya. Ambrosini terlihat kentara dengan faktor kelelahan itu. Ia mengalami cedera dan harus diganti Mathieu Flamini. Ball possession cukup baik diperagakan sepanjang 45 menit pertama, namun peluang-peluang yang dimiliki masih gagal menembus gawang Sergio Romero, yang pantas merebut gelar Man of The Match.

Di awal babak kedua, Milan masih mengupayakan penguasaan bola, dengan berporos pada pergerakan Niang dan De Sciglio di sisi kanan lapangan. Niang memang menunjukkan talentanya ketika pada suatu momen berhasil melakukan dribble cantik dan memaksa Romero meregangkan badannya untuk melakukan penyelamatan.

Namun sayangnya ancaman meyakinkan di awal babak itu tidak menjadikan Rossoneri kian berbahaya, malah mereka kehilangan ball retention. Kombinasi 1st touch yang kurang baik dan kesalahan passing berulang kali mengonfirmasi kelelahan sudah melanda tim. Insiden salah passing paling fatal jatuh pada Mexes yang berujung nyaris bobolnya gawang Abbiati oleh Icardi, penyerang muda yang pekan lalu membobol dua kali gawang Gigi Buffon. Mexes seperti berperan sebagai double agent seperti Theodore Winter dalam film thriller konspirasi Salt. Matteo Bonetti bahkan berkelakar jika Mexes akan diperiksa atas tuduhan match fixing di pertandingan ini.

Sejelek-jeleknya ball retention, ancaman dari Milan tetap ada. Kevin Prince Boateng nyaris memecah kebuntuan, jika bukan karena Romero tampil apik. Beberapa peluang juga hadir melalui Niang, namun pemain ini selain menunjukkan bakat besarnya, juga menunjukkan kehijauannya. Seringkali pengambilan keputusannya salah dan ia masih belum mampu mengontrol akurasi tembakannya.

Kelelahan juga menandai performa buruk El Shaarawy. Sebelum ditarik keluar, ia melakukan 3 turn over dan membuang 2 eksekusi tendangan pojok. Hal ini juga membuat serangan Milan jarang dilakukan melalui tempatnya bermain, sehingga terlalu berat di posisi Niang dan De Sciglio.

Zonal Marking pernah mengatakan bahwa 1st touch yang baik adalah modal dasar untuk mempertahankan penguasaan bola. Milan yang biasanya begitu baik mempraktekkan hal ini jadi terlihat pincang karena buruknya 1st touch.

Sampdoria juga bukan tim kacangan. Tridente Eder, Icardi dan Estigarribia berulang kali merepotkan Abbiati dibawah mistar gawang. Kesigapan kiper veteran ini berulang kali menyelamatkan Milan dari kebobolan.

Pertahanan kolektif rapat Sampdoria yang digalang Daniele Gastadello juga mampu memaksa Milan terus bermain melebar. Kombinasi crossing kurang sempurna dan tidak adanya Pazzini yang piawai memanfaatkannya membuat Milan memang harus puas berbagi angka sama dengan tuan rumah.

Formasi improvisasi ketika dipaksa bermain melebar


Disini terlihat bahwa Milan telah terbiasa mengandalkan Pazzini sebagai prima punta. Meskipun bukanlah yang terhebat yang pernah dimiliki Milan, Pazzini cukup handal menahan bola, memenangkan tendangan bebas, dan juga memanfaatkan crossing. Peran bergantian dengan Bojan yang selama ini berjalan memang cukup efektif karena Bojan memang seorang game changer, yang dalam kondisi terbaik dan bugarnya sering mengubah jalannya laga dengan visi, kontrol bola dan 1st touch eksepsional miliknya.

Memang kemenangan urung diraih, pembalasan atas kekalahan di San Siro juga urung terjadi, namun inilah hasil maksimal yang bisa didapat. Beberapa pemain tampil baik. Flamini, De Sciglio dan Abbiati terutama. Khusus Flamini, pemain ini sedikit menutupi kekhawatiran karena nyatanya ia mampu menutupi area gelandang bertahan. Selisih tinggal 1 poin dengan AS Roma diatas tentunya akan melebarkan kans untuk terus merangkak ke tangga lebih tinggi.

Saturday, January 12, 2013

Ketika Shevchenko adalah saya di kehidupan lain




Saya adalah salah satu dari mungkin ribuan, atau mungkin jutaan anak di dunia yang tumbuh bersama Andriy Shevchenko ketika baru mengenal sepak bola tahun 90an. Saya memiliki banyak pemain idola, dan memang senantiasa berganti. Roberto Baggio, Dejan Savicevic, Marco Simone, George Weah, Christian Vieri, Zvonimir Boban, Manuel Rui Costa, Zinedine Zidane, Juan Roman Riquelme, Juan Sebastian Veron dan Ronaldo Luis Nazario Lima adalah pemain-pemain yang saya nikmati permainannya.

Saya juga mengidolai beberapa pemain lagi ketika beranjak semakin dewasa. Andrea Pirlo, Ricardo Kaka, Ronaldinho, Antonio Cassano dan kini El Shaarawy. Saya tidak akan menyebut Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo karena terlalu mainstream.

Namun diantara semuanya, saya bisa bilang kalau Andriy Shevchenko adalah yang paling berkesan. Sheva hadir di kehidupan saya pada usia remaja dimana apapun yang saya sukai saat itu terlihat serba indah dan overrated, seindah dan se-lebay perasaan saya pada gebetan-gebetan saya dulu. Hanya melihat mereka saja sudah senang, mengajak ngobrol tidak berani. Dan perasaan menggebu-gebu itu turut saya bawa ketika duduk anteng didepan layar kaca hanya untuk menyaksikan Sheva bermain.

Saat Sheva mencetak hattrick ke gawang Lazio di Olimpico, saya dengan bangga meledek teman saya yang seorang Laziale keesokan harinya. Begitupula ketika Sheva berhasil mengecoh Gigi Buffon untuk membawa Milan meraih gelar keenam Liga Champions, teman-teman saya yang Juventini memberi selamat. Ya, saya ikut bahagia atas apa yang Sheva lakukan –juga Milan menangkan-, seolah saya yang ikut berkontribusi didalamnya. Begitulah mungkin cara gampang seorang anak kecil menikmati sepak bola.

Setiap Sheva mencetak gol, saya tidak sabar untuk pergi ke sekolah keesokan harinya. Saya tidak sabar untuk bermain di lapangan sekolah dan mempersonifikasi permainan Sheva di lapangan upacara yang disulap menjadi lapangan sepak bola mini. Saya tidak akan lupa pada teriakan penonton yang meneriaki saya “Ayo Sheva!” dalam pertandingan classmeeting. Saya sampai merasa bahwa Sheva adalah saya dalam kehidupan yang lain.

Entah ada berapa poster Sheva yang terpajang di tembok kamar. Dari poster yang saya dapat dari tabloid olahraga hingga yang saya beli dari abang-abang yang berjualan di terminal. Saya lapisi dengan papan dan lakban seadanya agar poster itu tidak lecek, saya tutupi dengan plastik agar poster itu tidak berdebu.


Saya juga menabung untuk membeli jersey Milan bernomor tujuh bertuliskan namanya, meskipun uang jajan saya dulu hanya cukup untuk membeli produk Multi Sport saja. Memakai jersey itu ketika sedang bermain membuat saya makin merasa seperti dirinya saja. Disaat teman-teman saya lebih memilih membelanjakan uang jajan terbatasnya untuk mentraktir pacarnya makan di restoran junk food dan menonton AADC berulang kali, saya malah lebih memilih untuk melengkapi koleksi Milan dan Sheva saya, bersanding dengan koleksi kaset album Metallica dan Bon Jovi. Anda bisa bayangkan betapa hancurnya hati saya ketika ia pindah ke Chelsea, terlebih ketika ia terus mengalami dekadensi permainan disana.

Tidak cukup sampai disitu, ketika teknologi internet dan email mulai masuk ke Indonesia tahun 90an akhir, username email saya dimanapun domainnya adalah aditchenko_7, dan alamat ini masih saya gunakan sebagai user ID yahoo saya sampai sekarang. Saya juga masih memakai email dengan user aditchenko untuk segala keperluan, baik resmi maupun main-main. Saya melamar pekerjaan, mengisi form di polis asuransi dan pembukaan rekening bank, sampai keanggotaan klub-klub sosial dengan email ini. Tidak lupa, akun twitter saya adalah @aditchenko karena nama itulah yang terpikir pertama kali ketika diminta ”Please create you username”. Sebegitu besarnya arti seorang Andriy Mkhaylovich Shevchenko dalam hidup simple saya ini.

Dan kini, saya mendengar bahwa pemain yang sama dengan yang saya idolakan menemani saya tumbuh dewasa itu akan hadir di kota saya bersama Milan Glorie. Ia memang sudah pensiun, dan aksi-aksinya sudah tidak dapat saya nikmati sepuas saat ia masih berjaya, tapi dia tetap Shevchenko yang sama. Ia akan meminum air yang sama dengan yang saya minum, ia mungkin akan mencicipi nasi goreng dan sate ayam, juga mungkin akan tampil dan dikerjai Olga di acara Dahsyat.

Tapi entah kenapa, saya tidak lagi memiliki rasa yang sama seperti dua belas tahun lalu itu. Segala buku dan bacaan yang saya lahap serta teman-teman baru yang juga memberi pandangan baru menjadikan saya lebih rasional. Saya sudah membebaskan diri dari kungkungan roman picisan berbungkus fanatisme semacam itu. Disaat saya seharusnya menjemput Sheva di bandara, mengikutinya kemanapun ia pergi di Jakarta, mengejar tanda tangan dan foto bareng atau duduk paling depan dalam acara meet & greet atau bahkan datang ke studio televisi untuk ikutan berjoget cuci jemur, ternyata saya memilih untuk tidak akan melakukannya. Dalam hidup, memang ada perubahan. Begitupula perubahan dalam menyikapi momen bertemu idola.


Cara saya menikmati sepak bola sudah tidak seperti itu lagi. Saya sudah tidak pernah mengupdate status blackberry messenger hasil pertandingan klub favorit, dan mengupdate foto pemain favorit saya dari berbagai angle. Tidak lagi menggembor-gemborkan diri sebagai suporter setia sebuah klub seperti satu dekade lalu. Tidak juga tertarik untuk banter dengan suporter lain.

Tapi bukan berarti saya akan menghapus Sheva begitu saja dari ingatan. Meski dengan tingkat berbeda, namun saya tidak akan lupa bahwa pemain ini adalah salah satu alasan saya mencintai sepak bola. Ia tetaplah panutan akan sosok seorang pemenang dan legenda di mata saya. Hanya saja, kini cara pandang saya yang berbeda. 

Thursday, January 10, 2013

Pertunjukan sebenarnya The New Milan

Nothing to be ashamed, though


Tidak ada yang bisa diperbuat Max Allegri selain memainkan tim terbaik saat menghadapi tim terbaik di kandangnya. Coppa Italia memang menjadi ajang yang diseriusi Milan demi menyelamatkan musim ini dari ancaman nirgelar.

Allegri menurunkan kuartet Abate-Mexes-Acerbi-De Sciglio untuk melapis Marco Amelia di mistar gawang. Cederanya Kevin Constant memaksa Allegri menempatkan De Sciglio di kiri. Sebenarnya jika jadi Allegri, saya pun bingung menentukan mana kuartet belakang terbaik mengingat kualitas center back yang dimiliki tidaklah memadai dan mampu bermain konsisten sepanjang musim.

Francesco Acerbi adalah bek potensial, namun layaknya pemain muda dan hanya berpengalaman di seri b, Acerbi belumlah bisa diharapkan menjadi palang pintu tim dengan tradisi sukses seperti Milan, belum lagi Milan memang dikenal sebagai tim penghasil bek-bek kelas dunia sehingga komparasi antara pengisi line up sekarang dengan pendahulu mereka seolah tak terhindarkan. Kemarin di Juventus Stadium, Acerbi memang menjadi titik lemah lini pertahanan Milan yang memang tidak kuat-kuat amat, dan Antonio Conte memanfaatkan betul situasi ini melalui kecepatan Sebastian Giovinco.

Milan memulai pertandingan dengan tempo cepat dan terlihat ingin mencetak gol lebih dulu. Upaya ini sukses berkat permutasi posisi dan kombinasi permainan yang apik di lini tengah dan depan yang melibatkan Boateng, Pazzini dan El Shaarawy. Nama terakhir akhirnya sukses membobol gawang Marco Storari setelah kerjasama apiknya dengan dua rekannya itu meloloskannya ke posisi tembak favoritnya. Gol ke 17 il faraone di semua ajang yang dimainkan oleh Milan musim ini.

Nice work, mate!

Bukan Juve namanya jika langsung down ketika kebobolan. Mentalitas menang yang sudah seperti menjadi DNA mereka, terlebih kehadiran kembali Antonio Conte yang meledak-ledak membuat Bianconeri terus berupaya membalas. Hasilnya apik, tendangan bebas Sebastian Giovinco melesat manis melewati pagar betis dan hanya didiamkan Amelia.

Selanjutnya, jual beli serangan terjadi. Juventus terus coba menyerang di posisi Abate berada dengan menempatkan Giovinco disana. La formica atomica ini seolah menjadi mimpi buruk bagi barisan pertahanan Milan. Sementara serangan-serangan Milan selalu berhasil dipatahkan karena permutasi posisi El Shaarawy dengan Boateng tidak berjalan lagi. Belum lagi Emanuelson dikawal dengan sempurna oleh Martin Caceres dan di cover Mauricio Isla, yang dengan jeli ditempatkan Conte untuk menghalau inverted winger Milan tersebut.

Meski Juve lebih memegang kendali permainan dalam interval kedua dan ketiga pertandingan, mereka tetap tidak mampu menjaga positioning ataupun membuat peluang berarti karena mereka memang tampil tanpa sejumlah personel inti. Arturo Vidal terlihat kepayahan menghadapi lini tengah Milan yang sebetulnya tampil apik. Ambrosini seperti berusia 10 tahun lebih muda memimpin lini tengah menghadapi dua rekan Vidal lainnya, Giaccherini dan Luca Marone.

***

Di interval ketiga ini, Conte menginstruksikan Giovinco bertukar posisi dengan Alessandro Matri untuk agar ia bisa mengekspos kelemahan Acerbi dalam hal kecepatan. Untungnya ia selalu dilapisi Ambrosini, De Sciglio bahkan El Shaarawy. Dalam suatu momen, El Shaarawy bahkan melakukan intersep bersih atas upaya Mirko Vucinic sehingga selamatlah gawang Milan.

Juve memasukkan Pirlo dan Paolo De Ceglie untuk melengkapi Vucinic dalam 3 pergantian pemain yang dilakukan Conte. Marone, Giovinco dan Lichtsteiner keluar. Namun sebenarnya Milan yang lebih diuntungkan dalam hal ini karena mereka masih memiliki M’baye Niang dan Bojan Krkic di bangku cadangan.

Benar saja, setelah Pazzini dan Emanuelson makin tidak efektif dan menghilang karena penjagaan ketat trio Bonucci, Barzagli dan Caceres, akhirnya Niang dan Bojan masuk. Allegri memang masih berpikiran bahwa dua pemain ini adalah seorang game changer, bukan game maker. Untuk memulai pertandingan, rasanya Allegri masih belum pede memainkan mereka.

Penempatan Boateng sebagai left mezz’ala menggantikan Nocerino yang biasa mengisi posisi itu sebenarnya keputusan yang bagus. Boateng terbukti bermain nyaman dan konsisten selama 120 menit untuk membantu serangan sekaligus pertahanan. Allegri hanya perlu lebih cepat menarik Emanuelson dan memasukkan Niang di posisi penyerang kanan jika pria Belanda tersebut tidak bermain baik.

Niang dan Bojan menghadirkan dimensi baru penyerangan Milan. Kecepatan dan eksplosivitas mereka benar-benar memberi lini pertahanan Juve masalah besar. Beberapa peluang sempat didapat Niang namun penyelesaian yang kurang sempurna dari remaja berusia 18 tahun ini membuatnya gagal memenangkan Milan dalam waktu normal.

Wonderkid gives everything


Saya yakin hasilnya akan berbeda jika Ambrosini mampu terus bertahan selama 120 menit. Kedisiplinan dan kemampuannya sebagai holding midfielder sayangnya tidak tergantikan musim ini, apalagi setelah Nigel De Jong cedera panjang. Ambrosini tidak bisa menipu fisiknya karena ia mengalami kram di menit-menit akhir. Allegri akhirnya mempercayakan Bakeye Traore untuk mengarungi babak extra time.

Saya baru melihat permainan Traore sekali ini, dan menilai bahwa ia bukanlah pemain buruk, namun untuk dibilang mendekati Yaya Toure pun tidak sedikitpun. Traore sepertinya tidak menjalankan dengan baik peran Ambrosini akibat asik menyerang karena memang Milan terlihat diatas pasca masuknya Niang dan Bojan.

Akhirnya dari sebuah serangan balik, Giaccherini berlari kencang tinggal melawan kuartet bek Milan tanpa filter dari lini tengah. Sebuah umpannya memang tidak mampu dijangkau Vucinic, namun tekel Mexes kurang mantap untuk menghalau bola dan De Ceglie tiba-tiba muncul dari wilayah yang seharusnya bisa diamankan Abate. Defensive awareness yang buruk dari Abate memang tidak menjadikannya seperti Christian Panucci, apalagi Cafu. De Ceglie akhirnya hanya mendorong bola kepada Vucinic yang dengan klinis mampu menjebol gawang Amelia.

Milan masih punya 20 menit memang setelah gol itu, namun Juve sudah keburu merapatkan pertahanan. Tidak ada pilihan lain selain full attack. Paruh kedua perpanjangan waktu berlangsung terbuka dan seru. Beberapa peluang bagus sempat dihasilkan Niang, El Shaarawy dan terakhir Traore. Sayang sekali Traore gagal membuat impresi karena tendangan first time kaki kirinya mengarah tepat ke Storari, kiper spesialis Coppa Italia yang berperan seperti Jose Manuel Pinto di Barcelona.

He's done everything, but he's not Yaya Toure (yet)


***

Pertandingan tadi seperti terus mengekspos kelemahan Milan di (lagi-lagi) lini pertahanan. Gol-gol Juve tidak perlu terjadi jika tidak ada kesalahan individu para pemain bertahan maupun kiper. Milan juga tidak bisa terus mengandalkan Ambrosini mengingat fisiknya tidak bisa ditipu lagi.

Mempercayakan Acerbi terus di sisa musim memang beresiko karena ia lambat dan pengambilan keputusannya masih jauh dari harapan, namun jika terus dipercaya tentu kemampuannya membaca permainan akan terasah dan kelemahannya dari sisi kecepatan akan mampu ditutupi. Ingat, Thiago Silva tidak menjadi bek hebat dalam semalam. Tapi Thiago Silva belajar langsung dari Nesta, Acerbi belajar dari siapa?

Philippe Mexes sebenarnya diharapkan mampu menjadi mentor Acerbi, bukannya Yepes karena posisi the beast sama dengan Acerbi yang juga kidal. Kepergian Pato membuat Mexes kini menjadi pemain bergaji tertinggi di skuat Rossoneri. Ironis, karena dengan gaji tertinggi itu penampilan Mexes malah jarang memuaskan, terlebih ia sering bertingkah ceroboh dan emosional. Semalam seharusnya ia sudah dikartu merah setelah beberapa kali melakukan pelanggaran bodoh. Hobinya meneriaki orang di telinga mengingatkan kita pada kakak senior sok jago dan sok galak di ospek sekolah atau kampus.

Ketimbang jadi figur senior yang sok jagoan, ia sebaiknya berupaya mencontoh kalemnya Nesta. Jangan lupa, Nesta juga yang membuat Thiago Silva melesat seperti sekarang. Jika memang Mexes tidak mampu menjadi pembimbing Acerbi, Milan memang sebaiknya menjualnya dan mengalokasikan 4 juta euro per tahun gajinya untuk bek yang lebih baik. Namun realistis saja, sulit mencari pembeli Mexes di jeda transfer singkat ini.

Lini depan Milan sangat menjanjikan, terlebih ketika komposisi muda Bojan (22), El Shaarawy (20) dan Niang (18) bermain bersama. Skema tiga penyerang ini melengkapi kehadiran Pazzini, Emanuelson dan Robinho yang tidak jadi hengkang. Kondisi ini cukup logis untuk tidak mencari penyerang baru.

Milan memiliki uang 15 juta euro hasil penjualan Pato, dan 6 juta euro yang berhasil mereka hemat dari gaji Pato hingga musim panas 2014. Potensi itu dapat mereka maksimalkan untuk membeli seorang holding midfielder baru, yang lebih krusial untuk didatangkan. Skema Allegri yang ofensif membutuhkan pertahanan mumpuni yang dimulai dari tengah.

Milan memiliki Montolivo yang mampu bermain sebagai deep-lying playmaker, namun potensi terbaik Monto akan keluar jika dilindungi gelandang defensif yang mampu melakukan “pekerjaan kotor”. Situasi agak rumit karena pemain komplit di posisi ini sangat jarang tersedia di bursa transfer. Kevin  Strootman sebagai sosok yang paling ramai dibicarakan sayangnya berharga terlalu mahal, 22 juta euro. Attacking minded Berlusconi tentu membuatnya tidak akan rela mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membeli seorang gelandang bertahan.

Keberadaan Boateng dan Nocerino sebagai mezz’ala sudah cukup, ditambah lagi Milan masih memiliki Sulley Muntari dan Traore di posisi ini. Twit dari seorang teman bahkan memberi optimisme bahwa kesuksesan Boateng sebagai Mezz’ala akan memberi dimensi baru pada peran seorang pemain bernomor 10.

Pertandingan tadi seperti final prematur di Coppa Italia, sayangnya kedua tim sudah harus saling bunuh di babak perempat final. Overall, meski hasil akhir memihak tuan rumah, perjuangan Milan sangat layak diapresiasi. Pertandingan juga berlangsung relatif tanpa kontroversi, mungkin hanya soal Mexes saja. Jika Milan yang menang, Juventini pasti akan meributkan hal ini. Secara keseluruhan, it was a good fight by both team. Spirit pantang menyerah Milan juga ternyata tidak kalah dari Lo Spirito Juve. Hasil ini mengulangi sedikit cerita Musim lalu dimana Juve butuh 120 menit untuk menyingkirkan Milan di semifinal Coppa Italia.

Dengan pembelian pemain yang tepat, The New Milan memiliki potensi besar untuk menghadang hegemoni Juve di masa depan.

Our bright future

Monday, January 7, 2013

Una giornata perfetta!



“A win is a win.” Mungkin begitulah yang bisa didapat Milan dari pertandingan penutup di putaran pertama kompetisi underrated, Seri a. Kemenangan tipis atas Siena meskipun tidak diraih dengan cara spektakuler toh tetap tidak mengubah fakta bahwa inilah kemenangan kelima dari enam laga terakhir Rossoneri.

Well, pekan yang makin aneh ketika melihat rival turut bertumbangan. Inter tumbang 0-3 ditangan Udinese, Fiorentina menyerah 0-2 ditangan Pescara, Roma menyerah 1-4 atas Napoli, dan yang mengejutkan tentu saja Juventus yang menyerah dari 10 pemain Sampdoria 1-2 di Juventus Stadium.

Ini seolah pesan bagi Bianconeri bahwa Seri a masih jauh dari usai karena kursi mereka di capolista tidaklah seempuk sebelumnya. Lazio mengintai dengan selisih tinggal lima poin. Juventus, bagaimanapun juga memang sangat wajar untuk memenangi seri a musim ini mengingat kualitas yang mereka punya ditambah inkonsistensi dari para pesaingnya. Tapi kekalahan semalam tentu membuat Antonio Conte perlu memainkan kembali lagu Butterflies and Hurricanes guna menyemangati para pemainnya, terutama menularkan spirit kemenangan pada si anak baru, Federico Peluso.

Kelucuan memang kerap terjadi disini saban pertandingan Liga Eropa bergulir. Timeline di twitter as usual berisi celoteh para fanboy yang lucu-lucu. Salah satunya ketika ada yang bilang “keep dreaming” saat saya ngetwit lini belakang Milan menghadapi Siena diisi Italiano. Apakah Ignazio Abata-Mattia De Sciglio-Francesco Acerbi-Luca Antonini bukan Italiano? Antonini memang gak jadi starter semalam, tapi tetap saja dia bermain 30 menit. Lagipula musim lalu juga Milan sering menggunakan kuartet Italiano di lini belakang mereka dengan kombinasi Abate-Nesta-Bonera-Antonini. Saya tidak sedang bermimpi tentunya.

Anyway, Milan seperti yang saya kemukakan di paragraf sebelumnya memang tampil dengan kuartet lini belakang serba darurat karena berbagai alasan. Meski “hanya” menghadapi Siena dan pertandingan berlangsung di San Siro, tetap ada kekhawatiran mengenai kebocoran lini belakang. Ditambah lagi pertandingan ini adalah yang pertama setelah winter break, yang biasanya sulit diprediksi hasilnya. Milan juga menyerah dari Atalanta dan Sampdoria di San Siro.

Kemarahan memang kadang menjadi bahan bakar hebat untuk menang. Milan marah karena aksi rasisme baru menyerang mereka beberapa hari sebelum pertandingan ini. Sikap Kevin Prince Boateng dan sisa tim menuai pujian dari berbagai kalangan, dan Milan membawanya dalam pertandingan lawan Siena kemarin.

Setelah melalui babak pertama yang menggemaskan karena tidak satupun peluang berhasil dimanfaatkan, Milan memulai babak kedua masih dengan kurang meyakinkan. Untungnya Allegri cepat menyadari situasi dan menarik keluar Antonio Nocerino yang bermain kurang impresif, lalu memasukkan Bojan, sang penyelamat Milan musim ini.

Akan makin banyak Milanisti yang merasa lebih mengerti taktik ketimbang Allegri, terlebih setelah kesekian kalinya Bojan mampu bermain apik setelah masuk dari bangku cadangan. Mengulangi kiprahnya lawan Roma di giornata sebelumnya, semalam Bojan memecah kebuntuan setelah rangkaian upaya Rossoneri gagal. Hebatnya, Bojan melakukannya dengan sundulan!

Seperti ada kekuatan dalam gol ini, yang melepas crossing terukur sehingga Bojan tidak perlu melompat adalah Boateng. Gol ini sontak mengingatkan saya pada Alberto Paloschi, yang empat tahun lalu juga menjadi game changer setelah sentuhan pertamanya di pertandingan yang juga lawan Siena mampu memenangkan Milan.
Grazie, La Masia boy

Moral Milan meningkat setelah gol ini. El Shaarawy tetaplah impresif meski semalam kembali absen mencetak gol. Ia penuh determinasi, membantu pertahanan, menciptakan peluang, melepas banyak umpan dan juga tidak mengambil penalti, padahal Edinson Cavani, pesaingnya di jajaran topskor,  sudah mencetak 4 gol dari titik putih yang membuatnya sudah mencetak dua gol lebih banyak dari Il Faraone.

Penalti meragukan yang didapat Milan akhirnya dieksekusi Giampaolo Pazzini yang membuat margin melebar menjadi dua gol. Mengejutkan, ini adalah gol ke 8 Pazzo musim ini dari 18 pertandingannya. Statistik yang jauh meningkat dari musim lalu bersama Inter dimana ia hanya mencetak 5 gol dari 33 pertandingan.

Jika ada hal yang mengganggu, tentu saja cederanya Kevin Constant, bek yang semalam bermain paling baik. Pemain berposisi asli gelandang serang yang menjadi transformasi sukses Milan ini harus digantikan Luca Antonini, yang masih saja belum memberikan impresi positif kepada Milanisti. Hal lain yang mengganggu adalah kembali bobolnya gawang Milan lewat sundulan. Kali ini Michele Paolucci berhasil menggetarkan gawang Christian Abbiati, setelah sebelumnya sang kiper melakukan penyelamatan gemilang atas tendangan Alessandro Rosina yang mungkin bisa mengubah jalannya pertandinan.

Kemenangan ini ditambah kombinasi kekalahan dari para rival memang masih tetap membuah Milan tertahan di posisi 7, namun selisih poin yang tinggal 2 dari Roma di peringkat enam tetap patut disyukuri. Ditambah lagi, konstelasi klasemen banyak berubah diatas Milan, terutama anjloknya Inter ke posisi 5 dengan nilai 35, sama dengan Fiorentina diatasnya. Bahkan jika menarik sedikit lagi keatas, selisih Milan dengan Lazio di posisi kedua kini 9 poin. Secara matematis dan melihat tren positif Milan belakangan ini tentu saja optimisme patut dipelihara.

Milan juga tidak boleh lengah karena tim-tim yang berada dibawah mereka, Parma dan Udinese juga tengah meraih momen positif lewat kemenangan mereka. Selain Udinese yang mencukur Inter di Friuli, Parma juga membukukan kemenangan 2-1 atas Palermo. Ishak Belfodil kembali mencetak gol, gol keempatnya dari lima pertandingan terakhir. Calon bintang telah lahir di liga pencetak bintang.

Apapun itu, tetap saja kemenangan di kandang sendiri plus kekalahan para rival ini menjadi pekan aneh namun menyenangkan. Una giornata perfetta!