Pages

Tuesday, May 19, 2015

Tidak Mudah Menjadi Pemilik Baru Milan

"Sepuluh atau lima belas tahun silam, kompetisi Seri A Italia mungkin masih menjadi destinasi utama para bintang sepak bola dunia. Namun saat berada di puncak kejayaan tersebut, mereka tidak banyak berpikir akan masa depan."

Begitulah ucapan James Palotta, presiden klub AS Roma, sekaligus pemilik asing pertama bagi klub Seri A Italia pada awal jabatannya. Perkataan pria asal Amerika Serikat ini memang menyimpulkan bahwa Seri A adalah simbol dari dua hal, yaitu kejayaan era 90an hingga awal milenium dan potret dari rangkaian mismanagement yang akhirnya menggerus reputasi mereka sendiri. Dalam laporan Deloitte Football Money League 2015, posisi klub-klub Italia semakin tertinggal saja dibandingkan klub-klub Inggris dan Jerman.  Meski perbaikan sudah tampak pada musim ini dengan performa menawan klub-klub Italia di kompetisi antarklub Eropa, namun secara percepatan, mereka sudah lebih dulu tertinggal dan tentu saja harus bekerja lebih keras lagi.

Dari Simbol Kejayaan Menjadi Raksasa Terluka
Berbicara tentang kejayaan Seri A pada masa 90an tersebut, nama AC Milan sangat identik dengannya. Sebagai klub yang pertama kali memperkenalkan model bisnis 'beli pemain bintang, bermain atraktif lalu meraih gelar dengan gaya', langkah revolusioner Milan kemudian ditiru oleh para rival mereka di negeri Peninsula, dan bahkan menular hingga ke ranah Britania. Model pengelolaan klub seperti ini -meski dapat diperdebatkan- kemudian diadopsi oleh sebagian klub Liga Primer Inggris saat mereka mulai membangun reputasi global.

Milan saat itu mencontohkan cara untuk menjadi pemenang sejati yang melegenda. Bahwa untuk menjadi klub yang namanya tidak lekang zaman, dibutuhkan kemenangan yang kontinyu dan menyeluruh. Bukan tahun ini juara lalu tahun depan melempem, bukan pula sekadar juara domestik tapi tak berdaya di kancah Eropa. Kejayaan Milan saat itu berupa gelar back to back Eropa 1989-1990 dan juara liga domestik tiga musim beruntun 1992-1994 seakan menjadi contoh terbaik.

Jika periode ditarik lebih panjang lagi hingga tahun 2011 -tahun terakhir kali Milan meraih trofi- akan terpampang total 15 trofi domestik dan 14 trofi kontinental dan intetnasional. 29 trofi bergengsi itulah yang didapat pada masa kepemimpinan seorang raja media, politisi sekaligus sosok pria flamboyan dengan total kekayaan sebesar 8,2 US$ bernama Silvio Berlusconi.

Dengan koleksi trofi sebanyak itu, yang turut menjadikan Milan sebagai salah satu pemegang Badge of Honour Liga Champions yang merupakan simbol kejayaan kontinental, sekaligus menempatkan Milan sebagai salah satu klub dengan koleksi trofi internasional terbanyak di dunia, Berlusconi jelas merupakan salah satu presiden klub tersukses sepanjang sejarah sepak bola.

Maka sudah teramat wajar jika apapun langkah Milan akan didasari keinginan Berlusconi. Seleranya yang tinggi dan kehidupannya yang glamor senantiasa dinapaktilasi Milan di lapangan. Dari helikopternya, ia mampir kapanpun ia suka ke Milanello, kompleks latihan Milan. Pada jeda pertandingan, ia dapat menuju ruang ganti untuk berbicara pada pelatihnya perihal keinginan bermain dengan dua penyerang, lalu di tribun kehormatan stadion San Siro membisiki Adriano Galliani dan (dulu) Ariedo Braida terkait keinginannya menggaet seorang pemuda berbakat besar dari Brasil.

Namun di samping sumbangan berbagai gelar, kealpaan Berlusconi dalam mengikuti tuntutan perkembangan sepak bola modern dan serangkaian kasus hukum yang dideritanya lah yang kemudian menggerus kejayaan Milan. Pria kelahiran 1936 ini, entah dengan sadar atau tidak, terus menggunakan formula suksesnya yang sudah ketinggalan zaman ketika klub-klub pesaing telah melangkah lebih jauh tentang bagaimana meningkatkan pendapatan klub dengan membangun stadion baru dan ketika UEFA melalui Financial Fair Play telah mengatur batasan kerugian yang bisa ditolerir agar diperbolehkan mengikuti kompetisi di bawah bendera mereka.

Milan pun berangsur melemah. Terkini, sudah dua musim berturut-turut Milan gagal lolos ke Eropa, plus dibarengi suguhan penampilan menyedihkan di lapangan, kebijakan pembelian pemain gratisan yang telah melewati masa terbaik, pemain-pemain yang kebingungan dan tidak bersemangat di lapangan, tidak jelasnya hirarki kapten tim, dan imbasnya membuat para tifosi dengan mudah menunjuk tiga pelatih terkini mereka sebagai sosok yang tidak kompeten.

Harapan Baru Atau Harapan Palsu?
Lalu secercah cahaya datang dari arah timur. Dari benua Asia, rencana pembelian Milan oleh sekelompok investor yang diwakili oleh seseorang yang bernama Bee Taechaubol mau tidak mau memenuhi agenda rapat Berlusconi. Pria asli Milan ini pun pasang mata, telinga, lalu menggunakan kepalanya untuk berpikir, sekaligus hati kecilnya untuk mempertanyakan.

"Apakah mereka benar-benar memiliki uang dan komitmen untuk menjadikan Milan kembali berjaya, atau hanya sekadar mencari popularitas sesaat?”

"Milan memang sudah mengalir dalam darah saya, namun saya rela terlepas dari klub ini andai benar-benar ada pihak yang mampu membeli dan berniat mengembalikan kejayaan Milan."

Berlusconi menolak keras penjualan Milan kepada pihak yang tidak tepat.

Untuk itulah ia memberi syarat berat baik dari segi materi maupun non-materi. Secara materi, syarat yang diajukan Berlusconi sebagai mahar bagi siapapun yang ingin membeli Milan adalah uang sebesar 1 miliar euro, plus pelunasan hutang-hutang yang seperti dikutip dari Forbes, kini berjumlah 278 juta US$. Sekadar perspektif, dengan uang sebanyak ini, 650 ribu penganggur di Eropa dapat tertampung untuk bekerja. Sementara dari sisi non-materi, Berlusconi menginginkan Galliani dan Barbara Berlusconi, anaknya, untuk tetap berada di jajaran direksi dan turut memegang kendali. Sedikit terdengar megalomania memang, namun ia memang merasa paling tahu bagaimana mengelola klub Italia.

Para Milanisti yang sudah merindukan kejayaan akhirnya lelah dengan era Berlusconi, dan mereka tentu senang dengan kemunculan sosok pria Thailand yang kemudian akrab disapa dengan sebutan Mr. Bee. Namun sebelum terjebak dalam euforia, jawablah terlebih dahulu pertanyaan yang amat mendasar, yaitu apakah Mr. Bee benar memiliki uang sebanyak itu untuk menjadi pengendali baru klub merah-hitam? Kita lihat satu persatu.

Menurut Bloomberg, Mr. Bee memiliki perusahaan keluarga bernama Landmark Development Group Co. Ltd dengan penyertaan saham 5% atas perusahaan properti tersebut. Sementara menurut data dari Forbes, kekayaan Mr. Bee dari perusahaan-perusahaan lain yang dimilikinya termasuk Landmark Development Group Co. Ltd tadi berjumlah 261 juta US$, dengan profit sebesar 100 juta US$ pada tahun 2013. Hal ini mengundang Forbes untuk bertanya, lewat akun twitternya, bagaimana Mr. Bee dapat membeli sepertiga dari saham Milan dengan jumlah kekayaan yang tidak memenuhi price tag yang ditetapkan Berlusconi?

"Saya memang tidak memiliki (uang) sebanyak itu, tapi saya bisa mencarikannya." Mr. Bee, dalam sebuah wawancara dengan Wordfolio setelah menginjeksi modal kepada sektor SME (Small Medium Entrepreneur) dua tahun lalu di Thailand.

Berita kemudian berseliweran. Bahwa Mr. Bee adalah sosok yang ditunjuk untuk menggolkan perjanjian ini oleh para investor di belakangnya. Sentuhan Raja Midas yang menaikkan reputasi Mr. Bee disebut berhasil meggiring banyak nama tycoon untuk menjadi sponsornya dalam mengakuisisi Milan. Mengenai siapa saja investor tersebut, spekulasi kemudian bergerak liar. Doyen Sports, perusahaan pemilik hak ekonomi banyak pemain dunia disebut menjadi salah satu sponsor Mr. Bee, yang kemudian dikampanyekan akan turut menggiring para pemain-pemain terkenal yang dimilikinya ke San Siro, sesuatu yang amat seksi dan menyejukkan bagi Milanisti. Begitu pula beberapa nama yang kemudian muncul seperti dua pengusaha Turki bernama Fettah Temince dan Tevfik Arif, bahkan keluarga Rothschild.

Apakah berita-berita tersebut benar adanya? Entahlah. Namun yang jelas hal ini masih belum mampu membuat kubu Berlusconi bergeming. Pihak sponsor Mr. Bee bisa saja menggoreng berita apapun yang ia mau, dan menggiring opini bahwa pihaknya telah siap membeli Milan. Namun selama belum ada klaim tanggapan yang valid dari pihak Berlusconi, maka realisasi proses pengambilalihan ini pantas untuk dipertanyakan.

Harga Milan sesuai valuasi dari Forbes tahun 2015 ini adalah 755 juta US$, tergerus 100 juta US$ dibanding tahun lalu dan menjadikan mereka sebagai klub urutan 10 dengan nilai tertinggi di dunia setelah sebelumnya menempati posisi 8. Jauh dibandingkan Real Madrid di posisi teratas yang bernilai 3,2 miliar US$. Jika Berlusconi memasang harga 1 miliar euro plus pelunasan hutang, yang jika ditotal akan menunjukkan nilai 1,3 miliar euro atau sekitar 1,6 miliar US$, maka jumlah uang yang tengah dikumpulkan Mr. Bee jelas masih jauh dari cukup. Meskipun nilai yang disyaratkan tersebut jauh lebih besar ketimbang hasil valuasi Forbes, Berlusconi sebagai pemilik, tentu saja memiliki hak penuh untuk menerima atau menolak segala tawaran. Berlusconi jelas tahu dengan siapa ia berurusan, dan baginya, nilai tersebut sebanding dengan apa yang sejak tiga dekade lalu dibangunnya.

Maka tidak mengherankan jika negosiasi belum mencapai kata sepakat, meski hal ini dikabarkan hanyalah ditunda. Bisa jadi cerita ini hanya mengulangi penolakan Berlusconi pada tawaran seorang pengusaha Singapura, Peter Lim, yang pada awal tahun menawarkan 970 juta euro, juga calon pembeli lain dari Tiongkok, Richard Lee. Untuk saat ini, harapan Milan untuk memiliki presiden baru plus diperkuat para pemain yang terkoneksi dengan Doyen Sport seperti Radamel Falcao, Geoffrey Kondogbia atau Gabriel Barbosa, praktis perlahan menguap.

Menjual klub tidaklah semudah menjual mobil atau rumah. Terlebih bagi seorang Berlusconi, Milan adalah hasil karyanya yang paling agung, dan andai terealisasi, deal penjualan Milan adalah deal terbesar sepanjang hidupnya.

No comments:

Post a Comment