Pages

Friday, August 21, 2015

Rodrigo Ely dan Bahaya Laten Dario Smoje

Pembenahan lini pertahanan menjadi salah satu prioritas Milan pada bursa transfer musim panas ini. Alessio Romagnoli pun berhasil direkrut dengan bayaran 25 juta euro setelah melalui negosiasi yang panjang. Pemain berusia 20 tahun ini dianggap sebagai sosok yang dapat memperbaiki kualitas lini belakang Rossoneri.

Bagaimanapun, Milan tidak bisa menempatkan asa mereka pada Romagnoli seorang diri untuk menuntaskan problem pertahanan. Romagnoli jelas perlu diapit dua bek sayap yang disiplin, diproteksi oleh para gelandang yang berdiri di depannya, dan tentu saja ditemani rekan duet yang saling mengisi. Setelah kedatangan Romagnoli, sepertinya tidak ada lagi pembelian pemain bertahan baru. Keadaan ini memaksa pelatih Sinisa Mihajlovic untuk memaksimalkan stok bek tengah yang masih dimiliki untuk dipasangkan dengan Romagnoli.

Di atas kertas, sosok yang lebih berpengalaman seperti (Philippe) Mexes, Alex, (Gabriel) Paletta dan (Cristian) Zapata tentu lebih difavoritkan untuk mengisi posisi itu. Namun Mihajlovic sepertinya tengah mematangkan sosok yang sebelumnya tak disangka-sangka untuk menjadi bagian dari back four andalan baru. Rodrigo Ely adalah sosok yang dimaksud.

Pemain berpostur 188 cm ini tiba di Milan tahun 2010 untuk bergabung dengan tim primavera. Saat itu usianya masih 16 tahun, namun oleh sang agen, Mino Raiola, Ely digambarkan akan menjadi pemain berkualitas. “Ia pemain yang hebat dan suatu saat dapat menjadi bagian sukses dari Milan. Hanya butuh waktu baginya untuk menembus tim utama,” ujarnya ketika kali pertama memperkenalkan Ely pada publik Milan.

Mungkin semua orang menganggap apa yang dikatakan Raiola saat itu hanya sebatas lip service untuk mengatakan hal yang baik-baik tentang kliennya. Dan benar saja, setelah datang, tidak ada hal luar biasa yang ditunjukkan Ely untuk meyakinkan staf pelatih agar merekomendasikannya ke tim utama.

Karena itulah Ely kemudian harus menjalani peminjaman ke kesebelasan-kesebelasan yang bermain di divisi lebih rendah yaitu Reggina, Varese dan Avellino agar kemampuannya berkembang. Penampilan cemerlangnya bersama Avellino musim lalu di kompetisi Seri B Italia akhirnya membuat Milan tidak membuang waktu untuk mengikatnya dengan kontrak baru yang berlaku hingga tahun 2019 sebelum masa latihan pramusim dimulai.

Bergabung sejak awal ternyata menguntungkan bagi pemain yang bulan November nanti akan berusia 22 tahun ini. Mihajlovic bersama tim pelatihnya memiliki waktu yang cukup untuk mengamati perkembangan Ely dari latihan ke latihan. Performa baik saat latihan inilah yang sepertinya membuat Mihajlovic tertarik memainkan Ely sebagai starter dalam laga-laga pramusim yang dimainkan Milan. Dan Ely memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.

Kepercayaan Mihajlovic pun berlanjut. Dalam laga resmi perdana Milan musim 2015-16 melawan Perugia di ajang Coppa Italia awal minggu ini, Ely diduetkan dengan Romagnoli di jantung pertahanan. Dengan merumputnya duet ini bersama Mattia De Sciglio dan Luca Antonelli, rataan usia back four Milan dalam pertandingan itu jelas sangat menjanjikan: 22,75 tahun. Ditambah fakta bahwa Ely memiliki kemungkinan untuk memperkuat timnas senior Italia (ia memiliki dual citizenship, Italia dan Brasil), maka prospek untuk menyaksikan back four timnas Italia dihuni oleh seluruh pemain Milan jelas terbuka lebar.

Ely pun sukses menjalani debut kompetitifnya. Bukan hanya berbuah kemenangan, tapi gawang Milan juga bersih dari kebobolan. Melihat keberanian Mihajlovic dalam menurunkan pemain muda dan inkonsistensi yang masih melanda bek-bek sentral Milan yang lain, boleh jadi ini adalah blessing in disguise bagi Ely. Siapa tahu, perkataan Raiola 5 tahun lalu memang baru dapat dibuktikan sekarang.

“Alessio (Romagnoli) dan saya berduet dengan baik, kami juga bekerja dengan baik dengan semua pemain. Kami perlu melanjutkan apa yang kami lakukan sekarang, dan akan menjalani musim yang hebat,” demikian petikan wawancara pemain ini dengan Milan Channel.

Lawannya memang hanya Perugia, sebuah kesebelasan dari Seri B. Namun demikian, sebuah laga resmi, sekalipun hanya melawan kesebelasan dari Seri B, tetaplah laga yang penting. Pujian yang datang pun berlanjut dengan masuknya penawaran fantastis untuk Ely dengan nilai berkisar 12-13 juta euro dari sebuah klub Liga Primer Inggris, yang tentu saja langsung ditolak oleh Milan.

Namun demikian, kemunculan Ely ini sedikit mengingatkan saya pada sosok pemain belakang berbakat yang pernah sebentar memperkuat Milan pada tahun 90an, Dario Smoje.

Tahun 1997 kala usia Smoje masih 19 tahun, Milan memenangkan perebutan dengan Juventus dan Parma yang juga tertarik dengan bek tengah asal Kroasia ini. Ketertarikan klub-klub besar memang wajar karena sejak usianya masih muda, Smoje sudah menjadi andalan klub NK Rijeka dan timnas Kroasia U-15 hingga kemudian U-21. Fabio Capello, pelatih Milan saat itu bahkan menilainya dengan amat tinggi. “Ia mengingatkan saya pada Fulvio Collovati,” ujar Capello saat itu, seraya membandingkan Smoje dengan salah seorang bek tengah legendaris Milan dan timnas Italia.

Namun sayangnya karir Smoje hanya berumur singkat di Rossoneri. Dalam debutnya melawan Reggiana di ajang Coppa Italia, Smoje hanya bertahan 10 menit di lapangan karena dikartu merah wasit. Hingga musim 1997-98 berakhir, Smoje hanya diberi kesempatan merumput sebanyak enam kali di kompetisi Seri A. Meski menunjukkan performa yang tidak buruk, namun Capello sendiri sudah dibuat kecewa dengan debut Smoje –dan merasa telah salah menilai terlalu tinggi kemampuan pemainnya.

Akhir musim 1997-98, bek dengan postur 194 cm ini dipinjamkan selama dua musim ke Monza. Meski tampil rutin di klub satelit Milan itu, Rossoneri tidak menariknya kembali. Smoje kemudian dilepas ke Ternana, hanya untuk menjalani tiga pertandingan saja. Merasa sudah cukup, Smoje kemudian memilih mudik untuk bergabung dengan Dinamo Zagreb. Rangkaian kemalangannya selama berkarir di Italia inilah yang kemudian membuat Smoje dikategorikan sebagai pemain bidone, atau gagal.

Gagal di Italia bukan berarti Smoje adalah pesepakbola yang buruk. Terbukti, Smoje berkontribusi besar membawa Dinamo Zagreb memenangkan Piala Kroasia dan juara liga Kroasia. Performa gemilang ini bahkan sempat berbuah satu caps timnas senior Kroasia pada tahun 2003. Tahun 2004 hingga 2010, Smoje kembali berpetualang ke luar negeri bersama Gent dan Panionios, lalu kemudian mengakhiri karir di klub lokal, Hrvatski Dragovoljac.

Cerita singkat dari Smoje seperti membuktikan bahwa perjalanan karir seorang bek di Milan memang tidak bisa ditebak. Seorang bek berbakat pun bisa saja gagal bersinar di Milan akibat tidak mampu mengemban ekspektasi yang tinggi. Status Milan sebagai klub papan atas dan kultur keras sepakbola Italia yang amat menyorot permainan para pemain bertahan juga memberikan beban yang berat bagi pemain muda seperti Smoje.

Pemain seperti (Paolo) Maldini dan (Alessandro) Costacurta seperti telah dijadikan standar. Jika ingin menembus tim utama, kemampuan sang pemain minimal haruslah mendekati mereka. Smoje tentu saja bukan satu-satunya pemain yang nasibnya seperti ini. Bek-bek seperti Roberto Ayala, Fabricio Coloccini, Martin Laursen atau Roque Junior juga merasakan betul betapa tingginya standar itu.

Hal ini juga berlaku pada Ely, yang baru saja menjalani debut kompetitif mengesankan untuk Milan. Debut mengesankan tentu saja membuat sorotan mulai mengarah kepadanya, dan lawan sudah mulai mempelajari kelemahan-kelemahannya. Hal ini berbeda jauh dengan keadaannya beberapa bulan lalu saat namanya sama sekali belum terkenal.

Ely tentu saja memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa bahaya laten Smoje tidak akan terulang pada dirinya. Ia memiliki keuntungan karena telah mengenal kultur sepakbola Italia, dan ia juga tidak memiliki pesaing-pesaing seberat Smoje. 

No comments:

Post a Comment