Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Deloitte edisi 2015 yang
menggambarkan kondisi tahun 2014, AC Milan terlempar dari posisi 10 besar klub
dengan pendapatan terbesar dunia. Pundi-pundi uang yang mereka himpun dari tiga
unsur utama pendapatan klub berupa gate
receipt (pendapatan dari tiket), media
(hak siar) dan commercial (sponsor
dan penjualan merchandise) memang mengalami
stagnansi dalam lima tahun ke belakang.
Pada tahun 2014, pendapatan Milan sebesar 250 juta euro mengalami
penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 264 juta euro. Tahun 2015,
pendapatan kembali menurun dengan jumlah yang belum dapat dipastikan (laporan
belum rilis) karena kegagalan mereka mengikuti kompetisi antarklub Eropa. Tahun
2016 nanti, kondisinya kurang lebih akan sama.
Namun Deloitte tidak menghitung unsur penjualan pemain dalam
daftar yang mereka susun. Untuk beberapa klub, penjualan pemain justru merupakan
unsur yang cukup signifikan dalam pendapatan. Sebut saja FC Porto atau Udinese.
Porto, salah satu klub tersukses Portugal, memang terkenal sebagai klub dengan
model bisnis menjual pemain.
Jika hanya menghimpun pendapatan dari tiga unsur utama tadi,
pendapatan Porto seperti tercantum di laporan keuangan tahun 2014 hanya sebesar
67 juta euro, namun dari penjualan pemain, mereka berhasil mendapatkan 91 juta
euro. Bagi Porto, pendapatan dari penjualan pemain memang amat vital untuk
dapat bersaing dengan klub-klub besar Eropa lain, karena mereka memang sulit
berharap banyak pada pendapatan dari tiga unsur utama tadi.
Porto
menjalankan model bisnis yang cukup unik di dunia sepak bola. Mereka menganggap pemain sebagai aset yang memiliki nilai
jual. Pemandu bakat mereka tidak pernah berhenti mencari pemain-pemain berbakat
di seluruh negeri dan wilayah Amerika Selatan. Dan seperti halnya seorang pedagang
yang cerdas, mereka memoles para pemain hingga memiliki pengalaman dan
kematangan, lalu pemain ini akan dijual saat harga mereka tinggi.
Hebatnya, keseimbangan tidak pernah terganggu dengan penjualan pemain-pemain tersebut. Waktu penjualan pemain telah mempertimbangkan kesiapan pemain lain yang akan menjadi suksesor. Selalu ada pertimbangan matang dalam setiap pengambilan keputusan, dan kebijakan ini telah membantu klub untuk bersaing tidak hanya di kompetisi domestik, namun sesekali mereka juga bermain cukup baik di kompetisi antarklub Eropa.
Hebatnya, keseimbangan tidak pernah terganggu dengan penjualan pemain-pemain tersebut. Waktu penjualan pemain telah mempertimbangkan kesiapan pemain lain yang akan menjadi suksesor. Selalu ada pertimbangan matang dalam setiap pengambilan keputusan, dan kebijakan ini telah membantu klub untuk bersaing tidak hanya di kompetisi domestik, namun sesekali mereka juga bermain cukup baik di kompetisi antarklub Eropa.
Di lain sisi, Milan memang tidak dapat dibandingkan dengan Porto. Kedua kesebelasan menjalankan model bisnis dan strategi transfer yang berbeda. Porto mampu mengumpulkan 300 juta euro dari penjualan pemain dalam empat tahun ke belakang, sementara Milan --terutama pada era Berlusconi-- lebih dikenal sebagai klub yang membeli pemain yang sudah jadi ketimbang mendidik talenta muda lalu menjualnya dengan harga yang mahal.
Data yang terpampang di situs Transfermarkt menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, Milan hanya meraup 145 juta euro dari penjualan pemain, atau setengahnya dari yang didapat Porto. Penulis beranggapan, ada beberapa faktor yang membuat Milan begitu sulit memaksimalkan penjualan pemain untuk mendongkrak pendapatan mereka.
Pembelian Pemain yang
Tidak Memiliki Nilai Jual Kembali
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kesulitan
keuangan melanda, Milan banyak mendatangkan pemain berkemampuan rata-rata air dan
berusia matang. Sebut saja Sulley Muntari, Michael Essien, Bakeye Traore atau Cristian
Zaccardo. Dalam banyak kasus, pemain-pemain seperti ini bukan hanya telah melewati
puncak permainan, tetapi harga mereka juga akan terus menurun.
Memang banyak di antara mereka yang didatangkan dengan
gratis, namun tetap saja ada biaya gaji yang dikeluarkan, dan sudah pasti
mereka meminta gaji yang besar. Sayangnya, kontribusi mereka di lapangan amat
jauh dibandingkan dengan gaji yang mereka terima. Menjual pun menjadi tidak
mudah karena permintaan gaji yang sulit dipenuhi calon pembeli. Zaccardo adalah
contohnya. Pemain ini terus menerus menolak tawaran dari klub lain karena akan
lebih menguntungkan baginya untuk tinggal dan menunggu kontraknya habis.
Menjual dengan Harga Murah
Milan memang sering membeli pemain berkualitas dengan harga
yang terbilang miring, namun hal serupa juga kerap terjadi ketika mereka
menjual pemain. Terlepas dari rumitnya bisnis sepak bola, beberapa pemain dilepas
dengan harga yang terlalu murah, padahal Milan harus membayar harga yang lebih
mahal ketika membeli. Contohnya, Kevin Constant. Dibeli dari Genoa tahun 2012
seharga 8 juta euro, harga Constant hanya 2,5 juta euro ketika dijual ke
Trabzonspor dua tahun kemudian. Situasi ini memang cukup bisa dimengerti karena
saat dijual, Constant dianggap sebagai surplus, menempatkan Milan pada posisi
tawar yang rendah.
Hal serupa terjadi pada Riccardo Saponara. Tahun 2013, Saponara dibeli dari Empoli dengan
harga 4,8 juta euro, namun pada bursa transfer 2015 ini, Saponara dibeli
kembali oleh Empoli senilai 4 juta euro. Seperti Constant, Saponara juga
dipandang sebagai surplus. Namun melihat usianya yang masih muda dan prospeknya
yang cukup baik, semestinya Milan bisa sedikit menaikkan harga jualnya.
Selain itu, ada penjualan Adil Rami ke Sevilla pada bursa
transfer ini. Meski Rossoneri tidak mengeluarkan uang ketika mendatangkannya
dari Valencia, namun penjualan sebesar 3,5 juta euro tentu terlalu murah jika
menimbang kualitas yang dimiliki Rami. Terkait hal ini, posisi tawar Milan
memang lemah karena mereka menginginkan Carlos Bacca. Milan terpaksa menerima
tawaran tersebut agar Los Nervionenses bersedia menerima pembayaran berkala
yang diajukan Milan atas Bacca.
Yang cukup disayangkan adalah penjualan dua pemain yang
masih terbilang muda, Alexandre Pato dan Stephan El Shaarawy. Pato dijual
dengan nilai 15 juta euro ke Corinthians tahun 2012, sementara El Shaarawy
dipinjamkan ke Monaco dengan loan fee
sebesar 2 juta euro dengan klausul mandatory buying sebesar 16 juta euro.
Bukan hanya soal harga dan prospek sang pemain yang patut
disayangkan, namun jika pada akhirnya Milan memutuskan untuk melepas keduanya,
mengapa tidak melakukannya saat ada penawaran tinggi? Pato pernah ditawar PSG
dan El Shaarawy pernah ditawar Zenit, masing-masing sebesar 35 juta euro, dan
saat itu Milan menolak karena status mereka sebagai pemain kunci. Situasi yang
memang serba salah, namun dalam hal ini Milan tidak mendapatkan keuntungan yang
maksimal. Sebuah situasi yang tentu saja lumrah dalam bisnis nyata penjualan pemain
yang tidak semudah bermain Football Manager.
Membiarkan Pemain Pergi
dengan Bebas Transfer
Ini mungkin yang paling disayangkan. Untuk para senatori, yang melakukan ‘bedol desa’
tahun 2012 dengan bebas transfer, sebagian pendukung bisa memahaminya. Kontribusi
mereka pada kejayaan Milan tidak bisa ditakar dengan uang. Dalam banyak
situasi, Milan memang membeli pemain bukan untuk dijual kembali, terlebih jika
sang pemain telah menjadi bagian integral dari kejayaan. Pemain-pemain ini akan
dipertahankan terus sampai kontrak mereka habis. Inilah sisi unik Milan
membedakan mereka dengan klub-klub besar lain.
Namun untuk beberapa nama seperti Didac Vila, Giampaolo
Pazzini, Robinho, atau Urby Emanuelson, Milan sebetulnya bisa saja untuk
menjual sebelum kontrak mereka habis. Dengan catatan, memang bukan hal yang
mudah untuk menjual pemain surplus atau pelapis seperti mereka. Hukum demand-supply lah yang berlaku.
Penjualan Mahal
Karena Alasan Taktis atau Kondisi Finansial
Penjualan Kevin-Prince Boateng ke Schalke dan Mario
Balotelli ke Liverpool karena alasan taktis adalah hal yang paling bisa
diterima. Milan membeli mereka dengan harga yang cukup mahal, namun kemudian
menjual dengan nilai yang kurang lebih sama.
Milan bukannya tidak pernah menjual pemain dengan harga yang
amat mahal, dan mengambil keuntungan dari mereka. Andriy Shevchenko, Ricardo
Kaka, dan Thiago Silva adalah pemain dengan nilai jual jauh lebih tinggi
daripada harga beli mereka. Namun seperti diketahui, Milan tidak pernah berniat
menjual mereka. Penjualan ini dilakukan untuk menambal hutang, mengurangi biaya
gaji dan mengompensasi kerugian yang sudah teramat besar.
No comments:
Post a Comment