Pages

Monday, August 17, 2015

Mengapa Milan Kurang Memaksimalkan Penjualan Pemain

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Deloitte edisi 2015 yang menggambarkan kondisi tahun 2014, AC Milan terlempar dari posisi 10 besar klub dengan pendapatan terbesar dunia. Pundi-pundi uang yang mereka himpun dari tiga unsur utama pendapatan klub berupa gate receipt (pendapatan dari tiket), media (hak siar) dan commercial (sponsor dan penjualan merchandise) memang mengalami stagnansi dalam lima tahun ke belakang.

Pada tahun 2014, pendapatan Milan sebesar 250 juta euro mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 264 juta euro. Tahun 2015, pendapatan kembali menurun dengan jumlah yang belum dapat dipastikan (laporan belum rilis) karena kegagalan mereka mengikuti kompetisi antarklub Eropa. Tahun 2016 nanti, kondisinya kurang lebih akan sama.

Namun Deloitte tidak menghitung unsur penjualan pemain dalam daftar yang mereka susun. Untuk beberapa klub, penjualan pemain justru merupakan unsur yang cukup signifikan dalam pendapatan. Sebut saja FC Porto atau Udinese. Porto, salah satu klub tersukses Portugal, memang terkenal sebagai klub dengan model bisnis menjual pemain.

Jika hanya menghimpun pendapatan dari tiga unsur utama tadi, pendapatan Porto seperti tercantum di laporan keuangan tahun 2014 hanya sebesar 67 juta euro, namun dari penjualan pemain, mereka berhasil mendapatkan 91 juta euro. Bagi Porto, pendapatan dari penjualan pemain memang amat vital untuk dapat bersaing dengan klub-klub besar Eropa lain, karena mereka memang sulit berharap banyak pada pendapatan dari tiga unsur utama tadi.

Porto menjalankan model bisnis yang cukup unik di dunia sepak bola. Mereka menganggap pemain sebagai aset yang memiliki nilai jual. Pemandu bakat mereka tidak pernah berhenti mencari pemain-pemain berbakat di seluruh negeri dan wilayah Amerika Selatan. Dan seperti halnya seorang pedagang yang cerdas, mereka memoles para pemain hingga memiliki pengalaman dan kematangan, lalu pemain ini akan dijual saat harga mereka tinggi.

Hebatnya, keseimbangan tidak pernah terganggu dengan penjualan pemain-pemain tersebut. Waktu penjualan pemain telah mempertimbangkan kesiapan pemain lain yang akan menjadi suksesor. Selalu ada pertimbangan matang dalam setiap pengambilan keputusan, dan kebijakan ini telah membantu klub untuk bersaing tidak hanya di kompetisi domestik, namun sesekali mereka juga bermain cukup baik di kompetisi antarklub Eropa.

Di lain sisi, Milan memang tidak dapat dibandingkan dengan Porto. Kedua kesebelasan menjalankan model bisnis dan strategi transfer yang berbeda. Porto mampu mengumpulkan 300 juta euro dari penjualan pemain dalam empat tahun ke belakang, sementara Milan --terutama pada era Berlusconi-- lebih dikenal sebagai klub yang membeli pemain yang sudah jadi ketimbang mendidik talenta muda lalu menjualnya dengan harga yang mahal.

Data yang terpampang di situs Transfermarkt menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, Milan hanya meraup 145 juta euro dari penjualan pemain, atau setengahnya dari yang didapat Porto. Penulis beranggapan, ada beberapa faktor yang membuat Milan begitu sulit memaksimalkan penjualan pemain untuk mendongkrak pendapatan mereka.

Pembelian Pemain yang Tidak Memiliki Nilai Jual Kembali
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kesulitan keuangan melanda, Milan banyak mendatangkan pemain berkemampuan rata-rata air dan berusia matang. Sebut saja Sulley Muntari, Michael Essien, Bakeye Traore atau Cristian Zaccardo. Dalam banyak kasus, pemain-pemain seperti ini bukan hanya telah melewati puncak permainan, tetapi harga mereka juga akan terus menurun.

Memang banyak di antara mereka yang didatangkan dengan gratis, namun tetap saja ada biaya gaji yang dikeluarkan, dan sudah pasti mereka meminta gaji yang besar. Sayangnya, kontribusi mereka di lapangan amat jauh dibandingkan dengan gaji yang mereka terima. Menjual pun menjadi tidak mudah karena permintaan gaji yang sulit dipenuhi calon pembeli. Zaccardo adalah contohnya. Pemain ini terus menerus menolak tawaran dari klub lain karena akan lebih menguntungkan baginya untuk tinggal dan menunggu kontraknya habis.

Menjual dengan Harga Murah
Milan memang sering membeli pemain berkualitas dengan harga yang terbilang miring, namun hal serupa juga kerap terjadi ketika mereka menjual pemain. Terlepas dari rumitnya bisnis sepak bola, beberapa pemain dilepas dengan harga yang terlalu murah, padahal Milan harus membayar harga yang lebih mahal ketika membeli. Contohnya, Kevin Constant. Dibeli dari Genoa tahun 2012 seharga 8 juta euro, harga Constant hanya 2,5 juta euro ketika dijual ke Trabzonspor dua tahun kemudian. Situasi ini memang cukup bisa dimengerti karena saat dijual, Constant dianggap sebagai surplus, menempatkan Milan pada posisi tawar yang rendah.

Hal serupa terjadi pada Riccardo Saponara.  Tahun 2013, Saponara dibeli dari Empoli dengan harga 4,8 juta euro, namun pada bursa transfer 2015 ini, Saponara dibeli kembali oleh Empoli senilai 4 juta euro. Seperti Constant, Saponara juga dipandang sebagai surplus. Namun melihat usianya yang masih muda dan prospeknya yang cukup baik, semestinya Milan bisa sedikit menaikkan harga jualnya.

Selain itu, ada penjualan Adil Rami ke Sevilla pada bursa transfer ini. Meski Rossoneri tidak mengeluarkan uang ketika mendatangkannya dari Valencia, namun penjualan sebesar 3,5 juta euro tentu terlalu murah jika menimbang kualitas yang dimiliki Rami. Terkait hal ini, posisi tawar Milan memang lemah karena mereka menginginkan Carlos Bacca. Milan terpaksa menerima tawaran tersebut agar Los Nervionenses bersedia menerima pembayaran berkala yang diajukan Milan atas Bacca.

Yang cukup disayangkan adalah penjualan dua pemain yang masih terbilang muda, Alexandre Pato dan Stephan El Shaarawy. Pato dijual dengan nilai 15 juta euro ke Corinthians tahun 2012, sementara El Shaarawy dipinjamkan ke Monaco dengan loan fee sebesar 2 juta euro dengan klausul mandatory buying sebesar 16 juta euro.

Bukan hanya soal harga dan prospek sang pemain yang patut disayangkan, namun jika pada akhirnya Milan memutuskan untuk melepas keduanya, mengapa tidak melakukannya saat ada penawaran tinggi? Pato pernah ditawar PSG dan El Shaarawy pernah ditawar Zenit, masing-masing sebesar 35 juta euro, dan saat itu Milan menolak karena status mereka sebagai pemain kunci. Situasi yang memang serba salah, namun dalam hal ini Milan tidak mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sebuah situasi yang tentu saja lumrah dalam bisnis nyata penjualan pemain yang tidak semudah bermain Football Manager.

Membiarkan Pemain Pergi dengan Bebas Transfer
Ini mungkin yang paling disayangkan. Untuk para senatori, yang melakukan ‘bedol desa’ tahun 2012 dengan bebas transfer, sebagian pendukung bisa memahaminya. Kontribusi mereka pada kejayaan Milan tidak bisa ditakar dengan uang. Dalam banyak situasi, Milan memang membeli pemain bukan untuk dijual kembali, terlebih jika sang pemain telah menjadi bagian integral dari kejayaan. Pemain-pemain ini akan dipertahankan terus sampai kontrak mereka habis. Inilah sisi unik Milan membedakan mereka dengan klub-klub besar lain.

Namun untuk beberapa nama seperti Didac Vila, Giampaolo Pazzini, Robinho, atau Urby Emanuelson, Milan sebetulnya bisa saja untuk menjual sebelum kontrak mereka habis. Dengan catatan, memang bukan hal yang mudah untuk menjual pemain surplus atau pelapis seperti mereka. Hukum demand-supply lah yang berlaku.

Penjualan Mahal Karena Alasan Taktis atau Kondisi Finansial
Penjualan Kevin-Prince Boateng ke Schalke dan Mario Balotelli ke Liverpool karena alasan taktis adalah hal yang paling bisa diterima. Milan membeli mereka dengan harga yang cukup mahal, namun kemudian menjual dengan nilai yang kurang lebih sama.

Milan bukannya tidak pernah menjual pemain dengan harga yang amat mahal, dan mengambil keuntungan dari mereka. Andriy Shevchenko, Ricardo Kaka, dan Thiago Silva adalah pemain dengan nilai jual jauh lebih tinggi daripada harga beli mereka. Namun seperti diketahui, Milan tidak pernah berniat menjual mereka. Penjualan ini dilakukan untuk menambal hutang, mengurangi biaya gaji dan mengompensasi kerugian yang sudah teramat besar.

No comments:

Post a Comment