Suatu sore di Milanello, musim panas tahun 2002, Carlo
Ancelotti begitu terpukau menyaksikan umpan dan gocekan Manuel Rui Costa, visi
ajaib Andrea Pirlo, kecepatan Andriy Shevchenko dan klinisnya Pippo Inzaghi.
Tetapi, ada yang amat mengganjal. Ia begitu terganggu melihat Paolo Maldini
yang terlalu keras berjibaku di lini belakang, terlebih saat mengetahui bahwa
lutut La Bandiera tidaklah sekuat
dulu. Billy Costacurta juga sudah menua. Ia menginginkan tambahan bek sentral.
Bukan sembarang bek sentral, tapi yang berkualitas dunia.
Adegan singkat di atas memang hanya rekaan. Tetapi ketika
Milan harus kehilangan Franco Baresi, Mauro Tassotti serta kenyataan bahwa mereka
tidak bisa terus menerus mengandalkan Maldini dan Costacurta, lini belakang
Milan berada pada risiko. Baik Berlusconi ataupun Galliani bukannya tidak
menyiapkan pengganti. Roberto Ayala, Jose Chamot, Luigi Sala, Bruno N’gotty,
Taribo West, Fabricio Coloccini, Roque Junior hingga Martin Laursen silih
berganti diperkenalkan. Nama-nama tersebut bukanlah pemain kacangan, namun
sayangnya mereka tidak cukup memberi rasa aman.
Di benak Ancelotti, hanya ada satu nama yang dianggap pantas
untuk memberi rasa aman tersebut. Dialah Alessandro Nesta, salah satu bek tengah
terbaik dunia yang saat itu masih berstatus sebagai kapten Lazio.
Dalam keadaan normal, tentu saja mustahil menggaet pemain
bintang sekaligus didikan asli klub rival seperti Nesta, terlebih saat itu
Nesta masih berusia 26 tahun, usia emas pesepak bola. Namun Milan diuntungkan
dengan kesulitan keuangan yang dialami Lazio pasca kebangkrutan perusahaan Cirio
milik presiden Sergio Cragnotti. Meski sebenarnya enggan pergi, Nesta pun
berhasil digaet dengan nilai transfer 30 juta euro jelang penutupan
bursa transfer musim panas tahun 2002. Nilai transfer termahal sepanjang
sejarah yang dikeluarkan Rossoneri untuk memboyong seorang pemain bertahan.
Kehadiran Nesta terbukti menyempurnakan
lini belakang Rossoneri bersama Maldini, Costacurta, juga (Jaap) Stam, (Kakha)
Kaladze, dan Cafu hingga menjadikannya salah satu yang terkuat di Eropa. Nesta
kemudian berperan besar membawa Milan meraih dua gelar Seri A, sebuah Coppa
Italia, dua Liga Champions, dua Piala Super Eropa dan dua Piala Dunia
Antarklub.
Sepeninggal Nesta, Milan sempat memberikan tongkat estafet
penerus pada Thiago Silva. Namun bedanya, tidak banyak yang mengenal sosok
Silva ketika ia baru menginjak San Siro. Tahun 2009, Silva dibeli dengan harga 10
juta euro dari klub Fluminense saat masih berusia 25 tahun. Bersama Milan,
Silva berkembang sebagai bek berkelas dunia. Pemain kelahiran 1984 ini pun
didapuk sebagai calon legenda. Namun malang tidak dapat ditolak. Akibat kesullitan
finansial, Milan terpaksa menerima tawaran 42 juta euro dari Paris Saint
Germain tahun 2012 atas bek timnas Brasil ini.
Kepergian Silva tidak hanya meninggalkan lubang menganga di
lini belakang, tapi juga menandai ketiadaan bek tengah berkualitas dunia di
skuat Rossoneri. Sebuah 'pelanggaran' atas tradisi yang selama ini telah dijaga.
Kondisi ini, bagaimanapun bukan hanya diakibatkan krisis
keuangan yang dialami Rossoneri. James Horncastle dalam kolomnya di ESPN secara
gamblang menyebut bahwa dunia sepak bola sekarang ini memang sedang dilanda
kelangkaan bek tengah berkualitas dunia.
Nama Alessio Romagnoli kemudian muncul di permukaan sebagai
satu purwarupa dari sedikit komoditi langka itu. Posturnya tinggi, namun tidak
gempal. Ia memang memiliki atribut serang yang memadai berupa kaki-kaki yang
tidak kagok untuk menggiring atau mengoper bola, namun ia juga memiliki
kesigapan, tekel yang prima, sekaligus kemampuan man marking sebagai atribut bertahan.
Adalah Bruno Conti, eks gelandang Roma yang pertama kali melihatnya
bermain, lalu merekomendasikannya ke akademi AS Roma. Saat itu, Romagnoli
terbiasa berposisi sebagai gelandang –sedikit menjelaskan kecakapan teknik yang
dimilikinya. Namun oleh Sandro Tovalieri --eks penyerang Bari yang saat itu
menjabat sebagai pelatih—posisi Romagnoli dipindahkan ke jantung pertahanan.
Selanjutnya, Romagnoli terus berkembang hingga takdir
mempertemukannya dengan Sinisa Mihajlovic di Sampdoria. Miha menilai begitu
tinggi kemampuan anak muda ini, dan menjadikannya kunci lini belakang Il Samp. Ketika dikontrak Milan pada musim panas ini, maka tidak mengherankan jika Miha menginginkan
reuni dengan Romagnoli.
Saga transfer pun mulai terjadi, seperti kondisi yang
terjadi 13 tahun lalu saat Milan begitu ingin mendatangkan Nesta. Tetapi kali ini
kondisinya berbeda. Roma sebagai pemilik tidak sedang mengalami krisis keuangan
seperti Lazio dulu. Namun, sikap Roma juga tidak menunjukkan bahwa Romagnoli
adalah pemain yang tak tersentuh. Roma mau saja melepas Romagnoli, namun dengan
harga yang mereka tetapkan.
Negosiasi Galliani dengan Walter Sabatini, sporting director Roma, menghasilkan
kesepakatan. Romagnoli resmi menjadi bek Milan termahal kedua setelah Nesta setelah ditebus
dengan mahar 25 juta euro. Bagi
Sabatini dan Galliani, transaksi ini adalah sebuah simbiosis mutualisme. Dengan uang yang didapat dari Milan, Sabatini
dapat mendatangkan Edin Dzeko dan Mohamed Salah, sementara Milan mendapatkan
sosok pemain yang akan menambal lini belakang.
Apa yang dilakukan Sabatini jelas patut diacungi jempol dari
sudut pandang finansial. Bagaimana tidak, dari penjualan dua pemain homegrown seperti Romagnoli (dan Andrea
Bertolacci), Roma mendapatkan 45 juta euro. Namun sepak bola jelas bukan melulu
soal tampilan juta euro dalam neraca dan laporan laba rugi. Menempatkan sudut
pandang sebagai penggemar Milan, saya tentu saja senang dengan kedatangan Romagnoli.
Tapi jika menempatkan diri sebagai penikmat netral, saya tentu saja menyayangkan
keputusan Roma.
Dengan keputusan ini, Roma seperti menunjukkan bahwa kini mereka
adalah tidak lebih dari sebuah entitas internasional yang berbasis di kota Roma, bukan lagi klub
asal kota Roma yang melegendakan setidaknya satu-dua pemuda lokal, keunikan yang
telah mereka jaga sejalan dengan karir mengagumkan Francesco Totti dan Daniele
De Rossi.
Ini memang bukan hal aneh di era industri sepak bola, di
mana identitas yang tergerus dan cita rasa lokal yang terlupakan sudah biasa terjadi, dan penjualan pemain lokal kesayangan publik demi keuntungan finansial adalah hal yang memang menjadi tujuan klub. Alih-alih menyaksikan sanak saudara, keponakan atau sepupu
berjuang di lapangan, pendukung sudah terbiasa menyaksikan para ‘tentara
bayaran’ dari belahan dunia lain untuk mewakili perjuangan klub kota mereka.
Milan memang begitu pintar menciptakan brand image sebgai klub yang masih mempertahankan –atau setidaknya menyisipkan--
warna dan rasa lokal. Namun jangan lupakan bahwa mereka membayar mahal untuk
mempertahankan tradisi itu.
Ketika tidak ada lulusan akademi yang dipandang pantas
memperkuat di tim senior, Milan akan memburamkan warna lokal klub rival dengan
cara membeli para calon legenda mereka. Datangnya Romagnoli hanyalah meneruskan
tradisi pembelian Nesta dari Lazio, Gattuso dari Salernitana, Donadoni dari
Atalanta, Lentini dari Torino, Massaro dari Fiorentina, Panucci dari Genoa ataupun
Gilardino dari Parma. Semuanya asli Italia, dan lebih dulu angkat nama di klub
lain. Sebagian dari mereka, ada yang melegenda, ada yang flop, dan ada pula yang hanya bertahan sebentar.
Dan di masa depan, akan selalu ada Romagnoli-Romagnoli berikutnya
di Milan.
Romagnoli sepertinya pantes dihargain segitu, bertolacci yg flop nih.. Tp paling ga trf & gajinya ga semahal eks gelandang as monaco yg rebutan ama rival sekota dan gagal bersinar jg.. Forza Milan!!
ReplyDelete