Pages

Friday, August 14, 2015

Alessio Romagnoli dan Mahalnya Sebuah Tradisi

Suatu sore di Milanello, musim panas tahun 2002, Carlo Ancelotti begitu terpukau menyaksikan umpan dan gocekan Manuel Rui Costa, visi ajaib Andrea Pirlo, kecepatan Andriy Shevchenko dan klinisnya Pippo Inzaghi. Tetapi, ada yang amat mengganjal. Ia begitu terganggu melihat Paolo Maldini yang terlalu keras berjibaku di lini belakang, terlebih saat mengetahui bahwa lutut La Bandiera tidaklah sekuat dulu. Billy Costacurta juga sudah menua. Ia menginginkan tambahan bek sentral.

Bukan sembarang bek sentral, tapi yang berkualitas dunia.

Adegan singkat di atas memang hanya rekaan. Tetapi ketika Milan harus kehilangan Franco Baresi, Mauro Tassotti serta kenyataan bahwa mereka tidak bisa terus menerus mengandalkan Maldini dan Costacurta, lini belakang Milan berada pada risiko. Baik Berlusconi ataupun Galliani bukannya tidak menyiapkan pengganti. Roberto Ayala, Jose Chamot, Luigi Sala, Bruno N’gotty, Taribo West, Fabricio Coloccini, Roque Junior hingga Martin Laursen silih berganti diperkenalkan. Nama-nama tersebut bukanlah pemain kacangan, namun sayangnya mereka tidak cukup memberi rasa aman.

Di benak Ancelotti, hanya ada satu nama yang dianggap pantas untuk memberi rasa aman tersebut. Dialah Alessandro Nesta, salah satu bek tengah terbaik dunia yang saat itu masih berstatus sebagai kapten Lazio.

Dalam keadaan normal, tentu saja mustahil menggaet pemain bintang sekaligus didikan asli klub rival seperti Nesta, terlebih saat itu Nesta masih berusia 26 tahun, usia emas pesepak bola. Namun Milan diuntungkan dengan kesulitan keuangan yang dialami Lazio pasca kebangkrutan perusahaan Cirio milik presiden Sergio Cragnotti. Meski sebenarnya enggan pergi, Nesta pun berhasil digaet dengan nilai transfer 30 juta euro jelang penutupan bursa transfer musim panas tahun 2002. Nilai transfer termahal sepanjang sejarah yang dikeluarkan Rossoneri untuk memboyong seorang pemain bertahan.

Kehadiran Nesta terbukti menyempurnakan lini belakang Rossoneri bersama Maldini, Costacurta, juga (Jaap) Stam, (Kakha) Kaladze, dan Cafu hingga menjadikannya salah satu yang terkuat di Eropa. Nesta kemudian berperan besar membawa Milan meraih dua gelar Seri A, sebuah Coppa Italia, dua Liga Champions, dua Piala Super Eropa dan dua Piala Dunia Antarklub.

Sepeninggal Nesta, Milan sempat memberikan tongkat estafet penerus pada Thiago Silva. Namun bedanya, tidak banyak yang mengenal sosok Silva ketika ia baru menginjak San Siro. Tahun 2009, Silva dibeli dengan harga 10 juta euro dari klub Fluminense saat masih berusia 25 tahun. Bersama Milan, Silva berkembang sebagai bek berkelas dunia. Pemain kelahiran 1984 ini pun didapuk sebagai calon legenda. Namun malang tidak dapat ditolak. Akibat kesullitan finansial, Milan terpaksa menerima tawaran 42 juta euro dari Paris Saint Germain tahun 2012 atas bek timnas Brasil ini.

Kepergian Silva tidak hanya meninggalkan lubang menganga di lini belakang, tapi juga menandai ketiadaan bek tengah berkualitas dunia di skuat Rossoneri. Sebuah 'pelanggaran' atas tradisi yang selama ini telah dijaga.

Kondisi ini, bagaimanapun bukan hanya diakibatkan krisis keuangan yang dialami Rossoneri. James Horncastle dalam kolomnya di ESPN secara gamblang menyebut bahwa dunia sepak bola sekarang ini memang sedang dilanda kelangkaan bek tengah berkualitas dunia.

Nama Alessio Romagnoli kemudian muncul di permukaan sebagai satu purwarupa dari sedikit komoditi langka itu. Posturnya tinggi, namun tidak gempal. Ia memang memiliki atribut serang yang memadai berupa kaki-kaki yang tidak kagok untuk menggiring atau mengoper bola, namun ia juga memiliki kesigapan, tekel yang prima, sekaligus kemampuan man marking sebagai atribut bertahan.

Adalah Bruno Conti, eks gelandang Roma yang pertama kali melihatnya bermain, lalu merekomendasikannya ke akademi AS Roma. Saat itu, Romagnoli terbiasa berposisi sebagai gelandang –sedikit menjelaskan kecakapan teknik yang dimilikinya. Namun oleh Sandro Tovalieri --eks penyerang Bari yang saat itu menjabat sebagai pelatih—posisi Romagnoli dipindahkan ke jantung pertahanan.

Selanjutnya, Romagnoli terus berkembang hingga takdir mempertemukannya dengan Sinisa Mihajlovic di Sampdoria. Miha menilai begitu tinggi kemampuan anak muda ini, dan menjadikannya kunci lini belakang Il Samp. Ketika dikontrak Milan pada musim panas ini, maka tidak mengherankan jika Miha menginginkan reuni dengan Romagnoli.

Saga transfer pun mulai terjadi, seperti kondisi yang terjadi 13 tahun lalu saat Milan begitu ingin mendatangkan Nesta. Tetapi kali ini kondisinya berbeda. Roma sebagai pemilik tidak sedang mengalami krisis keuangan seperti Lazio dulu. Namun, sikap Roma juga tidak menunjukkan bahwa Romagnoli adalah pemain yang tak tersentuh. Roma mau saja melepas Romagnoli, namun dengan harga yang mereka tetapkan.

Negosiasi Galliani dengan Walter Sabatini, sporting director Roma, menghasilkan kesepakatan. Romagnoli resmi menjadi bek Milan termahal kedua setelah Nesta setelah ditebus dengan mahar 25 juta euro. Bagi Sabatini dan Galliani, transaksi ini adalah sebuah simbiosis mutualisme. Dengan uang yang didapat dari Milan, Sabatini dapat mendatangkan Edin Dzeko dan Mohamed Salah, sementara Milan mendapatkan sosok pemain yang akan menambal lini belakang.

Apa yang dilakukan Sabatini jelas patut diacungi jempol dari sudut pandang finansial. Bagaimana tidak, dari penjualan dua pemain homegrown seperti Romagnoli (dan Andrea Bertolacci), Roma mendapatkan 45 juta euro. Namun sepak bola jelas bukan melulu soal tampilan juta euro dalam neraca dan laporan laba rugi. Menempatkan sudut pandang sebagai penggemar Milan, saya tentu saja senang dengan kedatangan Romagnoli. Tapi jika menempatkan diri sebagai penikmat netral, saya tentu saja menyayangkan keputusan Roma.

Dengan keputusan ini, Roma seperti menunjukkan bahwa kini mereka adalah tidak lebih dari sebuah entitas internasional yang berbasis di kota Roma, bukan lagi klub asal kota Roma yang melegendakan setidaknya satu-dua pemuda lokal, keunikan yang telah mereka jaga sejalan dengan karir mengagumkan Francesco Totti dan Daniele De Rossi.

Ini memang bukan hal aneh di era industri sepak bola, di mana identitas yang tergerus dan cita rasa lokal yang terlupakan sudah biasa terjadi, dan penjualan pemain lokal kesayangan publik demi keuntungan finansial adalah hal yang memang menjadi tujuan klub. Alih-alih menyaksikan sanak saudara, keponakan atau sepupu berjuang di lapangan, pendukung sudah terbiasa menyaksikan para ‘tentara bayaran’ dari belahan dunia lain untuk mewakili perjuangan klub kota mereka.

Milan memang begitu pintar menciptakan brand image sebgai klub yang masih mempertahankan –atau setidaknya menyisipkan-- warna dan rasa lokal. Namun jangan lupakan bahwa mereka membayar mahal untuk mempertahankan tradisi itu.

Ketika tidak ada lulusan akademi yang dipandang pantas memperkuat di tim senior, Milan akan memburamkan warna lokal klub rival dengan cara membeli para calon legenda mereka. Datangnya Romagnoli hanyalah meneruskan tradisi pembelian Nesta dari Lazio, Gattuso dari Salernitana, Donadoni dari Atalanta, Lentini dari Torino, Massaro dari Fiorentina, Panucci dari Genoa ataupun Gilardino dari Parma. Semuanya asli Italia, dan lebih dulu angkat nama di klub lain. Sebagian dari mereka, ada yang melegenda, ada yang flop, dan ada pula yang hanya bertahan sebentar.

Dan di masa depan, akan selalu ada Romagnoli-Romagnoli berikutnya di Milan. 

1 comment:

  1. Romagnoli sepertinya pantes dihargain segitu, bertolacci yg flop nih.. Tp paling ga trf & gajinya ga semahal eks gelandang as monaco yg rebutan ama rival sekota dan gagal bersinar jg.. Forza Milan!!

    ReplyDelete