Penyerang
sayap Manchester United, Memphis Depay tengah tertekan. Ia dianggap gagal
menjustifikasi harga mahal dan ekspektasi tinggi yang berada di pundaknya.
Kritik pun datang dari banyak pihak, terutama pendukung.
Bahkan, di media sosial begitu banyak yang menyebut Depay
hanyalah pemain dengan ego Cristiano Ronaldo, namun dengan kemampuan seperti
Bebe. Begitu pula dalam pembicaraan warung kopi di sebuah daerah sub-urban
Indonesia yang juga tidak ketinggalan memberi kritik pedas kepada pemain ini.
Cerita seperti ini bukanlah hal baru di Manchester United, klub yang memang
paling populer di dunia.
Memang tidak mudah untuk sukses di di klub seperti ini, tapi
meski demikian, bukan berarti mereka yang gagal bersinar di sana adalah pemain
yang buruk.
Final Liga Champions 1999 di stadion Camp Nou Barcelona
dipandang sebagai salah satu laga final paling dramatis sepanjang sejarah
kompetisi Liga Champions. United keluar sebagai juara setelah mencetak dua gol
pada masa injury time untuk membalikkan ketertinggalan atas Bayern Muenchen.
Laga tersebut memang sudah lama berlalu, namun dampaknya
dapat dirasakan United hingga sekarang. Bagaimana tidak, sejak kemenangan
tersebut, penggemar-penggemar baru Red Devils bermunculan. Banyak pula di
antara mereka yang saat itu baru melek sepak bola. 16 tahun telah
berlalu sejak final itu, dan mereka yang saat itu baru melek sepak bola, kini mungkin
sudah menjadi dedengkot di kelompok suporter mereka.
Fenomena ini pun tidak bisa disepelekan, karena dalam
lansekap industri sepak bola, bertambahnya penggemar berarti bertambahnya
reputasi dan uang. Laga 90 menit tersebut tidak pelak lagi adalah tonggak
sejarah bagi United hingga mereka kemudian menjadi klub terpopuler dunia dengan
jumlah pendukung yang diklaim oleh majalah Forbes sebanyak lebih dari 659 juta
orang, atau sepersepuluh dari pendukung bumi. Artinya, satu dari sepuluh
penduduk bumi adalah pendukung Manchester United! Luar biasa, bukan?
Reputasi United memang tidak dibangun dalam waktu sembilan
puluh menit di Camp Nou saja. Sebelumnya, United telah memberi tanda-tanda
bahwa mereka akan menjadi penguasa baru Liga Inggris. Selepas final ’99 itu,
United memang mendominasi kompetisi domestik Inggris sekaligus menjadi pionir
bagi mendunianya kompetisi Premier League menggeser kompetisi Seri A Italia
yang berjaya tahun 90an. Belum lagi puja-puji pada banyak pemain mereka seperti
Eric Cantona, Peter Schmeichel dan tentu saja Class of '92. Eks manajer
Sir Alex Ferguson pun dipandang sebagai salah satu manajer sepak bola terbaik
yang pernah ada.
Maka tidak mengherankan jika banyak pemain yang belum
dianggap terkenal-terkenal amat jika mereka belum bermain di United, padahal di
klub sebetulnya mereka sudah terkenal. Ambil contoh Matteo Darmian. Saat bek
sayap ini masih bermain di Torino, siapa yang mengenalnya selain pemerhati Liga
Italia? Kini, sepertinya pendukung United sudah tahu berapa ukuran sepatunya
dan siapa nama orang tuanya. Contoh yang sama berlaku pada Ander Herrera dan
Anthony Martial.
Kembali kepada Memphis Depay dan kritikan yang kini
melandanya. Depay, yang baru berusia 21 tahun dibeli dari PSV Eindhoven dengan
mahar 30 juga pounds pada awal musim ini. Ia datang ke Inggris membawa predikat
topskor kompetisi Eredivisie Belanda. Oleh United, Depay diberikan nomor 7,
yang sebelumnya dikenakan oleh pemain-pemain besar seperti Cantona, David
Beckham dan Cristiano Ronaldo. Di mata pendukung United, Depay setidaknya lebih
terkenal daripada Darmian, Martial atau Herrera, dan semestinya, ia langsung
tokcer dan menjadi pemimpin serangan United.
Delapan laga pembuka Liga Primer Inggris dilaluinya dengan
hanya sumbangan satu gol. Bukan hanya minim gol, pemain sayap kiri ini juga
terlihat lemah dalam akurasi tendangan. Situs squawka pun mencatat hanya 44%
tendangan Depay yang tepat sasaran. Ia pun beberapa kali menyia-nyiakan peluang
bersih di depan gawang lawan dan juga kerap membuang momentum dengan terlalu
banyak menggocek bola. Predikat flop sudah kadung divoniskan oleh para
pendukung meski kompetisi masih berada di tahap awal.
Para pendukung ini sepertinya lupa, bahwa Cristiano Ronaldo
pun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bersinar. Pada awal karirnya di United,
Ronaldo lebih banyak dikenal sebagai pesepak bola egois yang doyan menggocek
bola dan mewarnai rambut. Namun jelang kepindahannya ke Real Madrid, Ronaldo
menjelma sebagai pemain terbaik dunia.
Bukan bermaksud membela Depay tanpa alasan, dan bukan
bermaksud mengatakan bahwa Depay akan menjadi sehebat Ronaldo di masa depan,
tapi memang sungguh prematur untuk menjatuhkan vonis gagal kepada pemain yang memang
belum setengah musim merumput di Liga Primer Inggris. Tentu saja ada proses
adaptasi yang perlu dijalani, belum lagi lingkungan baru, taktik yang berbeda
serta atmosfer pertandingan yang juga jauh berbeda ketimbang di Eredivisie.
Bahkan, jika pun akhirnya Depay benar-benar gagal, ia
sejatinya tidak perlu berkecil hati. Angel Di Maria tetaplah pemain yang sama
hebatnya ketika ia dianggap gagal oleh United. Di PSG, ia tengah merajut jalan untuk menebus kegagalannya. Begitu pula pemain seperti Diego Forlan yang justru menunjukkan
performa menanjak setelah meninggalkan United. Hal yang nyaris serupa juga
terjadi pada Juan Sebastian Veron ataupun Jaap Stam.
No comments:
Post a Comment