Pages

Monday, October 12, 2015

Ini Heavy Metal, Bung!

Borussia Dortmund adalah klub sepak bola yang saya kagumi dan kemudian saya dukung secara logis. Saya mengagumi visi mereka yang brilian –mengandalkan pemain muda dan pemain akademi—, juga memainkan sepak bola yang mengagumkan di bawah asuhan seorang pelatih bernama Juergen Klopp. Pendukung mereka juga amat kreatif. Serta tentunya, mereka bukanlah Bayern Muenchen, klub yang terlalu dominan di Bundesliga.

Berbeda dengan kecintaan kepada Milan, yang timbul sejak masa kanak-kanak, yang tentunya tidak memperhitungkan hal-hal logis seperti itu.

Juergen Klopp, seperti disebut di atas, adalah salah satu alasan saya menyukai Dortmund. Baru-baru ini, Klopp kembali ke kursi kepelatihan setelah menandatangani kontrak dengan Liverpool. Bagi para pendukung Liverpool sendiri, kehadiran Klopp disambut begitu meriah dan penuh suka cita. Sepak bola heavy metal ala Klopp akan mengubah peruntungan The Reds, dari klub yang seperti terkena kutukan, menjadi sebuah klub yang penuh harapan.

Berbicara musik heavy metal, diperlukan musisi-musisi dengan kemampuan teknis sekaligus energi dan stamina di atas rata-rata untuk memainkan musik heavy metal. Tidak seperti premis awam yang bilang kalau musik heavy metal isinya hanya teriakan berisik tanpa estetik, padahal musik ini memerlukan kombinasi presisi, kecepatan tanpa mengorbankan keindahan. Dengan kata lain, tidak sembarang musisi bisa memainkan musik heavy metal dengan baik.

Pengandaian ini adalah analogi situasi yang dialami Klopp saat ini di Liverpool. Sepak bola heavy metal ala Klopp, atau dikenal dengan sebutan gegenpressing menuntut pemain-pemainnya untuk bermain seagresif musisi heavy metal menggeber instrumennya. Pemain arahan Klopp harus berlari lebih jauh, menembak lebih sering dan tidak boleh jogging di lapangan.

Ketika timnya kehilangan bola, Klopp ingin pemainnya melakukan pressing untuk menghambat lawan dari counter attack yang hendak dibangunnya. Ketika bola berhasil direbut kembali, Klopp's boys melakukan counter attack dengan cepat tanpa berlama-lama memegang bola, namun sudah otomatis menempati posisinya. Skema ini sudah ribuan kali dilatih.

Gegenpressing dapat disebut sebagai antitesis dari Tiki-taka. Filosofi turunan dari Total Football ini mengutamakan penguasaan bola dengan operan-operan pendek yang amat cepat. Ketika kehilangan bola, para pemain menekan lawan untuk kembali merebut bola, lalu kembali mengolahnya lewat operan-operan pendek cepat seperti sebelumnya. Sepak bola seperti ini digambarkan Klopp sebagai orkestrasi instrumental yang memang elegan dan menawan. “But it's a silent song. I like heavy metal,” ujarnya ketika menggambarkan permainan Arsenal di bawah Arsene Wenger, yang juga mirip dengan Tiki-taka ala Barcelona. Tentu saja ini masalah selera.

Tapi untuk seorang Juergen Klopp, 'selera' ini telah membawa Dortmund ke level tertinggi dari kondisi nyaris bangkrut.

Dalam membesut The Reds, Klopp dihadapkan pada pemain-pemain yang tidak terbiasa memainkan sepak bola heavy metal. Liverpool di bawah arahan Brendan Rodgers lebih cenderung memainkan gaya Tiki-taka, seperti halnya pendekatan Rodgers saat ia melatih Swansea City. Rodgers pun memiliki reputasi yang juga baik sebelum ia menangani Liverpool, namun sayangnya ia tidak mengakhiri karir di sini dengan khusnul khotimah.

Meski Klopp memiliki reputasi yang bagus, namun tetap saja pergantian filosofi bermain ini membutuhkan waktu untuk mengubah sebuah peruntungan. Ditambah lagi, sepak bola Inggris tidak mengenal winter break, di mana risiko cedera pemain akan semakin besar. Ini jelas akan menjadi problem karena semasa melatih Dortmund, Klopp terbilang jarang mengubah pola bermain dan cenderung jarang melakukan rotasi pemain. 

Apa yang dihadapi Klopp seperti meminta musisi jazz memainkan heavy metal, dan mempersiapkan mereka untuk menggelar konser metal yang megah. 

No comments:

Post a Comment