Borussia Dortmund adalah klub sepak bola yang saya kagumi
dan kemudian saya dukung secara logis. Saya mengagumi visi mereka yang brilian –mengandalkan
pemain muda dan pemain akademi—, juga memainkan sepak bola yang mengagumkan
di bawah asuhan seorang pelatih bernama Juergen Klopp. Pendukung mereka juga amat kreatif. Serta tentunya, mereka bukanlah Bayern Muenchen, klub yang terlalu dominan di Bundesliga.
Berbeda dengan kecintaan kepada Milan, yang timbul sejak
masa kanak-kanak, yang tentunya tidak memperhitungkan hal-hal logis seperti
itu.
Juergen Klopp, seperti disebut di atas, adalah salah satu
alasan saya menyukai Dortmund. Baru-baru ini, Klopp kembali ke kursi kepelatihan setelah menandatangani kontrak dengan Liverpool. Bagi para pendukung Liverpool sendiri, kehadiran
Klopp disambut begitu meriah dan penuh suka cita. Sepak bola heavy metal ala Klopp akan mengubah
peruntungan The Reds, dari klub yang seperti terkena kutukan, menjadi sebuah
klub yang penuh harapan.
Berbicara musik heavy
metal, diperlukan musisi-musisi dengan kemampuan teknis sekaligus energi
dan stamina di atas rata-rata untuk memainkan musik heavy metal. Tidak seperti premis awam yang bilang
kalau musik heavy metal isinya hanya
teriakan berisik tanpa estetik, padahal musik ini memerlukan kombinasi presisi,
kecepatan tanpa mengorbankan keindahan. Dengan kata lain, tidak sembarang
musisi bisa memainkan musik heavy
metal dengan baik.
Pengandaian ini adalah analogi situasi yang dialami Klopp
saat ini di Liverpool. Sepak bola heavy
metal ala Klopp, atau dikenal dengan sebutan gegenpressing menuntut pemain-pemainnya untuk bermain seagresif musisi heavy metal menggeber instrumennya. Pemain arahan Klopp harus berlari lebih jauh, menembak lebih sering dan tidak boleh jogging di lapangan.
Ketika timnya kehilangan bola, Klopp ingin pemainnya melakukan pressing untuk menghambat lawan dari counter attack yang hendak dibangunnya. Ketika bola berhasil direbut kembali, Klopp's boys melakukan counter attack dengan cepat tanpa berlama-lama memegang bola, namun sudah otomatis menempati posisinya. Skema ini sudah ribuan kali dilatih.
Ketika timnya kehilangan bola, Klopp ingin pemainnya melakukan pressing untuk menghambat lawan dari counter attack yang hendak dibangunnya. Ketika bola berhasil direbut kembali, Klopp's boys melakukan counter attack dengan cepat tanpa berlama-lama memegang bola, namun sudah otomatis menempati posisinya. Skema ini sudah ribuan kali dilatih.
Gegenpressing dapat
disebut sebagai antitesis dari Tiki-taka.
Filosofi turunan dari Total Football
ini mengutamakan penguasaan bola dengan operan-operan pendek yang amat cepat. Ketika
kehilangan bola, para pemain menekan lawan untuk kembali merebut bola, lalu
kembali mengolahnya lewat operan-operan pendek cepat seperti sebelumnya. Sepak
bola seperti ini digambarkan Klopp sebagai orkestrasi instrumental yang memang elegan dan menawan. “But it's a silent song. I like heavy metal,”
ujarnya ketika menggambarkan permainan Arsenal di bawah Arsene Wenger, yang juga mirip dengan Tiki-taka ala Barcelona. Tentu saja ini masalah selera.
Tapi untuk seorang Juergen Klopp, 'selera' ini telah membawa Dortmund ke level tertinggi dari kondisi nyaris
bangkrut.
Dalam membesut The Reds, Klopp dihadapkan pada pemain-pemain
yang tidak terbiasa memainkan sepak bola heavy
metal. Liverpool di bawah arahan Brendan Rodgers lebih cenderung memainkan gaya
Tiki-taka, seperti halnya pendekatan Rodgers saat ia melatih Swansea City. Rodgers pun memiliki reputasi yang juga baik sebelum ia menangani Liverpool, namun sayangnya ia tidak mengakhiri karir di sini dengan khusnul khotimah.
Meski Klopp memiliki reputasi yang bagus, namun tetap saja pergantian filosofi bermain ini membutuhkan waktu untuk mengubah sebuah peruntungan. Ditambah lagi, sepak bola Inggris tidak mengenal winter break, di mana risiko cedera pemain akan semakin besar. Ini jelas akan menjadi problem karena semasa melatih Dortmund, Klopp terbilang jarang mengubah pola bermain dan cenderung jarang melakukan rotasi pemain.
Meski Klopp memiliki reputasi yang bagus, namun tetap saja pergantian filosofi bermain ini membutuhkan waktu untuk mengubah sebuah peruntungan. Ditambah lagi, sepak bola Inggris tidak mengenal winter break, di mana risiko cedera pemain akan semakin besar. Ini jelas akan menjadi problem karena semasa melatih Dortmund, Klopp terbilang jarang mengubah pola bermain dan cenderung jarang melakukan rotasi pemain.
Apa yang dihadapi Klopp seperti meminta musisi jazz
memainkan heavy metal, dan mempersiapkan mereka untuk menggelar konser metal yang megah.
No comments:
Post a Comment