Pages

Monday, June 11, 2012

Post Match Analysis Euro 2012: Spain vs Italy

De Rossi, melebihi ekspektasi

Saya beruntung menyaksikan salah satu pertandingan sepakbola paling seru sepanjang 20 tahun lebih saya menyaksikan pertandingan olahraga si kulit bundar ini. Pertandingan tersebut berlangsung tadi malam tanggal 10 Juni 2012 bertempat di Arena Gdansk, Polandia antara Spanyol melawan Italia.

Pertandingan ini mempertemukan dua tim yang memiliki tradisi juara. Spanyol adalah pemenang dua major tournament terakhir, sementara Italia adalah salah satu negara tersukses di dunia sepakbola dengan empat gelar Piala Dunia dan satu kali Piala Eropa. Namun begitu, publik banyak menjagokan tim la furia roja yang juga diwakili oleh sebagian besar pemain dari the mighty club Barcelona.

Tidak banyak yang menempatkan keyakinannya untuk menjagokan Italia. Italia yang penuh masalah menjelang turnamen dianggap akan rontok dengan gampang oleh supremasi tiki-taka yang dianggap sebagai lambang tertinggi level permainan sepakbola. Siapapun yang mencoba melawan tiki-taka akan dianggap sebagai pihak antagonis perusak sepakbola.

Cesare Prandelli awalnya memilih caranya sendiri menghadapi sepakbola sempurna tiki-taka yang diusung Spanyol. Semula Prandelli menyiapkan formasi klasik 4-3-1-2 untuk meredam pola 4-3-3 atau 4-2-3-1 arahan Vicente Del Bosque. Namun cederanya bek sentral tangguh Andrea Barzagli dan kekalahan 0-3 dari Rusia pada uji coba terakhir sebelum berangkat ke Polandia memaksa Prandelli menggunakan cara darurat, yaitu cara Juventus.

Juventus ditangan Antonio Conte mengikuti arus sepertiga dari tim seri a yang menggunakan skema tiga bek. Memang tidak salah juga karena dia memiliki tiga center-back tangguh dalam diri Leonardo Bonucci, Giorgio Chiellini dan Barzagli. Mencadangkan salah satu dari mereka atau menggeser Chiellini ke posisi bek kiri adalah sebuah kemubaziran. Dasar inilah yang dibawa Prandelli untuk La Nazionale, walaupun sepanjang babak kualifikasi Italia selalu menggunakan skema empat pemain belakang.

Cederanya Barzagli diselesaikan dengan menempatkan seorang Daniele De Rossi, yang telah beberapa kali menempati posisi itu di AS Roma. Keraguan dijawab De Rossi dengan elegan. Pangeran baru AS Roma itu tidak disangka mampu mengobati kerinduan penggemar sepakbola akan kehadiran seorang libero handal, walaupun dia tidak secara murni memerankan peran libero karena peran membangun serangan telah dipegang oleh Andrea Pirlo. Tapi setidaknya intercept, visi permainan dan komando De Rossi menjadikan Italia memiliki alasan untuk bersikap optimistis di sisa turnamen.

Tiga bek lawan tiga gelandang serang. Itulah pemandangan yang sering terjadi di sepanjang babak pertama hingga ditariknya David Silva dan Francesc Fabregas. Tiga bek Italia dihadapi Del Bosque dengan tidak menempatkan seorang striker-pun dalam starting lineup-nya. Fabregas sebagai false nine ditopang oleh dynamic duo Andres Iniesta dan David Silva yang selalu membentuk kombinasi segitiga yang rapat.

Kombinasi segitiga rapat tersebut diladeni Italia dengan tiga bek yang juga bermain rapat. Disiplinnya tiga penjagal itu sangat menyulitkan Spanyol dalam melepas tendangan ke gawang Gigi Buffon maupun mengirimkan final ball yang mematikan. Kedisiplinan De Rossi dan kawan-kawan terlihat dari jumlah intersep, blok maupun tekel yang mereka lakukan, sehingga hanya dua saja tembakan yang akhirnya mengarah ke gawang Buffon di babak pertama.

Italia meladeni dengan pertahanan kuat, bukan dengan bertahan. Pertahanan kokoh tersebut dibarengi dengan kejeniusan Andrea Pirlo yang kerap membagi bola diagonal dengan eksepsional kepada Cristian Maggio maupun Emanuele Giaccherini di kedua wing back. Kadang Pirlo juga mengombinasikannya dengan simple passing kepada Motta dan Marchisio, dua gelandang box to box yang dipasang Prandelli. Dinamisnya Motta dan Marchisio sering melahirkan mara bahaya bagi Iker Casillas, yang membuat timeline twitter mendadak diramaikan oleh kaum wanita. Dua percobaan Marchisio dan Motta membuat kiper tangguh ini kelabakan.

Lini depan Italia yang dihuni oleh duet mavericks beda generasi Antonio Cassano dan Mario Balotelli tampil kurang impresif, meskipun Cassano beberapa kali mengancam Casillas dengan tembakan-tembakannya. Balotelli yang sebenarnya lebih diharapkan daripada Cassano yang baru sembuh dari penyakit jantung, sayangnya bermain below par seperti anak muda yang grogi karena baru bermain dengan tim senior. Momen dimana Balotelli terlalu lama menembak bola setelah merebut bola dari Sergio Ramos adalah wujud nyata kelabilan striker bengal ini dalam pengambilan keputusan.

Prandelli melakukan pergantian emosional beberapa saat setelah momen itu. Striker kenyang pengalaman Antonio Di Natale dimasukkan untuk mengubah dinamika pertandingan. Terbukti kekhawatiran saya salah. Di Natale, pemain tajam di kompetisi lokal bersama tim medioker Udinese yang di dua turnamen terakhir Italia gagal bersinar, ternyata malah membuat gol yang sangat klinis hanya 3 menit setelah memasuki lapangan. Umpan cerdas Pirlo setelah menggiring bola melewati garis tengah lapangan diselesaikan Toto dengan finishing yang amat berkelas.

Kekokohan pertahanan yang digalang De Rossi bagaimanapun akhirnya jebol juga oleh umpan terobosan tipikal David Silva, yang sudah sering dia peragakan di Manchester City. Fabregas lalu dengan cerdik menaklukkan Buffon.  Skor satu sama menjadikan pertandingan semakin menegangkan, apalagi setelah Fernando Torres dan Jesus Navas dimainkan. Torres dan Navas yang lebih sering mendribel bola hingga ke sayap membuat pertahanan Italia menjadi lebih renggang. Pergantian yang mengubah total jalannya pertandingan menjadi lebih terbuka ini menghasilkan serangkaian peluang dari kedua kubu yang membuat jantung berdebar. Hanya karena kurang jitunya penyelesaian akhirlah yang membuat skor tidak beranjak dari satu sama.

Spanyol boleh saja menguasai ball possession dengan keunggulan 60-40, ditambah jumlah tendangan ke gawang dan tendangan sudut yang lebih banyak. Tapi soal ancaman nyata ke gawang lawan, Italia jelas lebih unggul. Spanyol benar-benar kehilangan sosok David Villa. Hasil imbang dari pertandingan yang benar-benar berimbang ini menunjukkan kepada dunia akan kehebatan mental Italia. Jika banyak yang beranggapan masalah yang dihadapi gli azzuri melemahkan mereka, justru hal tersebut salah besar. Italia bermain semalam tidak seperti sebuah tim yang sedang didera masalah.

Saya pribadi berharap kedua tim ini bertemu lagi di babak final.

6 comments:

  1. harapan yang tak akan terwujud karena salah satu dari 2 tim ini akan tersingkir di babak grup...entah yg mana :D

    ReplyDelete
  2. nice artikel mas adit, beberapa waktu lalu sempat ngobrol di bbm sm pange soal libero dan sweeper, masih ingat betul pange "udah mulai ditinggalkan dg perkembangan taktik modern" dan tadi malam sebuah posisi yang lama tak terlihat (jarang nonton liga italia hehe) muncul dan menyita perhatian hehehe

    hasbisy

    ReplyDelete
    Replies
    1. klub-klub macam Napoli, Udinese, Genoa, Lecce udah biasa main pake tiga bek. Nah hal ini menjadi besar karena Juventus juga belakangan memakainya dan bisa scudetto tanpa terkalahkan. Emang masih agak jauh dari libero yang bagus, lebih tepat menyebut De Rossi sebagai defensive leader atau sweeper tapi De Rossi perlu pertimbangkan potensinya untuk ganti posisi.

      Delete
  3. Prandelli menunjukkan bahwa posession football bisa diredam dengan menumpuk pemain pekerja keras. :)

    ReplyDelete
  4. feeling saya italia akan sukses di euro kali ini

    ReplyDelete