Beberapa hari lalu gw mendapat kesenangan dalam bentuk tontonan di Kompas TV tentang Talkshow sepakbola Indonesia. Disitu ada Budiarto Shambazy sebagai host, dan 3 orang bintang tamu yaitu Bob Hippy sebagai anggota Exco PSSI, wartawan senior Yesayas Oktavianus, dan coach Rahmad Darmawan. Nonton acara itu jujur ngasih kesegaran maksimum gw yg padahal baru aja pulang kantor setelah seharian jadi corporate slave. Passion luar biasa pada sepakbola memang selalu membawa gw pada ide2 menulis tentangnya, walaupun yah baru bisa sebatas menulis. Saya cinta sepakbola. Sepakbola adalah jiwa dan raga saya!
Anyway, gw seneng karena om2 tadi di talkshow adalah orang2 yg melek dan ngerti bola. Mereka sadar betul kalau kekalahan lawan Malaysia kemaren bukanlah karena faktor luck. Mereka bukanlah orang2 yg dilanda delusi bahwa timnas kita sebenernya udah bagus. Garang di penyisihan tapi kalah di final, apa itu tolak ukur prestasi bagus? Terus katanya lebih bagus dari timas senior. Lebih bagus dari sisi mana? Panggung Sea Games 2011 ini untuk Timnas U-23 bahkan adalah panggung tertinggi mereka. Mereka belum pernah menghadapi Edinson Cavani dan Luis Suarez, belum pernah menghadapi Javad Nekounam di kualifikasi Piala Dunia seperti senior2 mereka, bahkan belum pernah menghadapi Safee Sali. Dari sisi timnas Malaysia, kasian bgt klo pembinaan bagus dari sang tetangga cuma dibilang keberuntungan. Kasian bgt klo permainan ciamik Baddrol Bakhtiar dan Khairul Fahmi sepanjang turnamen juga cuma dianggap keberuntungan. Yg benar adalah kita kalah persiapan.
Dalam disiplin ilmu manapun, ga ada yg bilang klo kesuksesan bakal datang semalam. Rome wasn't built in a day. Baca juga the art of war Sun Tzu, yg intinya segala kemenangan dan kejayaan berawal dari persiapan. Luck is when preparation meets opportunity, if you fail to prepare then you prepare to fail!
Keliatan di lapangan klo pemain timnas hanya sekedar berbekal insting, bakat alam, dan semangat bertanding. Strategi pelatih mungkin hanya setengahnya terimplementasi. Waktu unggul 1-0 lawan Malaysia di babak pertama final Sea Games 2011, coach RD sebenernya gak nyuruh anak asuhannya mengendurkan tekanan. Tapi yg terjadi di lapangan, pemain malah sering melepas passing terburu2 dan akhirnya berujung banyak membuat kesalahan sendiri. Hal ini nunjukin bahwa para pemain belum matang bermain sebagai sebuah tim dan belum punya mental juara.
Main bola gak sekedar lari, nendang, sundul, tackle. Ada posisi, ada strategi, ada organisasi. Seringkali pemain terjebak dalam khayalan bahwa skill mereka sehebat Ronaldo atau Messi sehingga berpikir bahwa mereka mampu memenangkan tim sendirian, yah ini memang bukan penyakit timnas Indonesia aja tentunya, pemain kelas dunia seperti Carlos Tevez, Zlatan Ibrahimovic atau Wayne Rooney aja masih suka "maksa". Dan yg namanya organisasi permainan inilah yg gw maksud gak bisa selesai dalam waktu semalam layaknya Candi Roro Jonggrang dan Tangkuban Perahu.
Organisasi, pola permainan, filosofi sepakbola adalah sesuatu yg seharusnya sudah ditanamkan di awal karir seorang pemain, dimana hal itu lebih mudah untuk diterima pemain daripada kalau dia baru mempelajarinya saat umurnya udah 20 tahun. Bagaimana cara tim bermain as a team, not only as a player. Setelah paham organisasi dan kuat secara fisik, baru beralih ke faktor tehnik, skill dan lain-lainnya. Di eropa, klub telah punya tim junior dari U-12, sementara mereka mulai belajar nendang bola dari umur 5 tahun! Kalo disini, anak sekolah main bola hanya di kejuaraan yg sifatnya insidentil, gak berlanjut dan gak jelas juntrungannya abis ini mereka mau kemana. Klub2 jarang yg punya akademi berjenjang dan setelah itu membesarkan pemain junior menjadi andalan di tim senior.
Disini, dari yg saya dengar dari om-om tadi, hal itu baru dilakukan pas pemain umur 20 tahun, saat kaki mereka udah lagi gak lentur, saat otak mereka mungkin udah terlalu jenuh untuk disusupi doktrin filosofi sepakbola yg benar. Gak ada yg bisa diharapkan dari sesuatu yg sporadis dan serba mendadak. Belum cukup, bahkan di klub seniorpun mereka bakal kesulitan menembus tim utama seiring membanjirnya pemain asing. Pemain2 asing inipun gak sekedar numpang lewat, tapi mereka menjadi roh tim, menduduki posisi2 sentral di permainan seperti striker, defensive leader, dan playmaker. Sementara pemain2 Indonesia kebanyakan cuma "kebagian" jadi bek sayap atau gelandang "angkut air". Ini fakta peninggalan rezim Nurdin, dimana semasa kepemimpinannya, Indonesia terbukti GAK PUNYA PLAYMAKER.
Gw ngerti klo klub bola disini gak se-bonafide klub2 eropa, yg diinjeksi dana melimpah dari pemiliknya yg notabene orang2 kaya yg rela merogoh dalam2 koceknya demi klub sepakbolanya. Balik lg ke pembinaan klub, didalam membina pemain sejak usia kanak2 tentu butuh dana yg besar, infrastruktur yg mendukung serta kurikulum yang sedemikian rupa sehingga kita bisa menghasilkan pemain2 yg tangguh. Disini gimana mau bikin tim junior klo ngurus tim seniornya aja udah empot2an. Akhirnya apa yg dilakukan klub? Mereka cuma bisa ngambil solusi instan dengan beli pemain asing, dan kalo mau ngedidik pemain, itupun dari usia 20 taun seperti yg gw sebutin diatas!
Gw punya temen yg umurnya 25 tahun. Dia emang lumayan tehnik main bolanya, tapi dia gak pernah gabung di klub profesional hanya sebatas main tarkam. Tiba2 dia ngabarin gw akan diseleksi masuk sebuah klub LPI. Tanpa mengecilkan kemampuan temen gw tadi, bagaimana bisa sebuah klub profesional yg berada di liga utama suatu negara menyeleksi pemain usianya udah 25 tahun yg bahkan gak ada pengalaman main sepakbola profesional? Apa dia bakal curi umur? Wallahualam! Pemain2 dadakan ini mungkin aja jago secara individu, tp apa mereka bisa bermain sebagai tim? Apa mental mereka udah cukup ditempa sejak kecil di kompetisi yg sehat? Coba aja liat klub2 lokal kita bermain. Mereka mainin bola direct yg cuma ngandelin fisik, boleh jadi karena mereka gak pede dan gak mampu mengorganisir sebuah skema permainan, itu karena gak dibiasain bermain sebagai tim sejak kecil!
Klo klub emang gak mampu, disinilah PSSI berperan. Tolong dong PSSI, cariin solusi untuk mengeksekusi sebuah pola pembinaan pemain yg kontinyu dan jelas, bukan insidentil dan sporadis. Juga kompetisi yg sehat tanpa dualisme dan carut marut kepentingan golongan, perbaiki kinerja wasit, perbaiki infrastruktur, batasi pemain asing. Klo PSSI jg kurang duit, tolonglah pemerintah cariin dana untuk pembinaan klub. Panggil pemain keturunan Indonesia, toh mereka juga ada darah Indonesianya. Bukan pemain naturalisasi, kecuali kalo pemain2 itu memang terbukti kemampuannya.
Mari bangkit dan tinggalkan budaya instan! Bangkitlah sepakbola Indonesia!!
agen sabung ayam s128, sv388 terpercaya indonesia
ReplyDeleteYuk Gabung Bersama Bolavita Di Website bolavita1.com
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
Telegram : +62812-2222-995 / https://t.me/bolavita
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita