Lagi, lagi dan lagi.
Kenapa bangsa kita ga pernah diperdengarkan lagi kabar baik? Selalu kabar buruk. Kalah lagi dari lawan yg sama dikandang sendiri bukanlah suatu kebetulan. Bukan kalah beruntung lagi kalo kejadiannya sampe berkali2.
Padahal secara kualitas, pemain2 Indonesia gak kalah sama pemain Malaysia. Hanya Malaysia unggul di lini tengah, yg katanya sih lini paling vital di permainan sepakbola. Kehadiran Baddrol Bakhtiar benar2 terasa bedanya. Dialah kepingan puzzle terakhir yg sayangnya tidak dimiliki Indonesia. Playmaker yg bermain di Keddah FA ini pernah mengikuti trial 2 minggu bersama Chelsea dan sempat pula diajak trial oleh Wigan Athletic. Tapi dia hanya bisa sebatas mengikuti trial, karena terganjal masaiah work permit Inggris dimana salah satu persyaratannya adalah negara si pemain harus berada di kisaran peringkat FIFA 1-70. Tanpa mengecilkan gelandang2 Indonesia, kualitas gelandang2 Malaysia memang lebih baik. Cuma kapten Egi Melgiansyah yg paling menonjol. Akibatnya, solusi direct pass lagi2 diandalkan, padahal selalu menemui jalan buntu.
Baddrol, tidak salah lagi adalah pemain terbaik turnamen. Dia adalah sosok team player yg gak egois, mendistribusikan bola dari tengah ke sayap atau langsung ke depan, belom lagi ancaman yg datang dari tendangan2 jarak jauh dan eksekusi bola matinya. Dialah sosok nomor 10 masa depan Malaysia, dan calon playmaker terbaik Asia Tenggara. Walaupun terlalu naif membandingkan gaya mainnya dengan Paul Scholes atau Frank Lampard, tapi pemain ini benar2 punya potensi besar.
Tentu bukan hanya karena Baddrol seorang yg membuat Malaysia bisa menang. Malaysia jelas lebih siap menghadapi adu penalti. Perencanaan mereka lebih matang. Pemain nomor 17 mereka, yaitu Fandi dimasukkan di menit perpanjangan waktu karena memang dipersiapkan sebagai salah satu algojo. Bandingkan dengan Ramdani Lestaluhu yg juga dimainkan di babak tersebut tapi ternyata tidak dijadikan sebagai eksekutor.
Permainan yg lebih terkoordinir, lini pertahanan yg disiplin dan rapi adalah juga kunci kemenangan Malaysia. Mereka sangat tenang dan tanpa kompromi, juga biasa tampil dibawah tekanan penonton. Gw ga bisa ngebayangin gimana Indonesia kalo sea games ini terjadi di kandang lawan, bisa gak kita sampai ke final kaya gini? Kelemahan Malaysia mungkin hanya lini depan, dimana mereka gak punya striker2 haus gol layaknya duet Patrich Wanggai-Titus Bonai di tim Indonesia, atau duet Safee Sali-Noorsahrul Idlan di timnas seniornya.
Kita kembali kalah oleh lawan yg sama 2 kali di sea games ini. Jika diliat kebelakang, timnas senior kita juga rontok ditangan Malaysia di Piala AFF 2010. Kita terlalu membenci dan menghujat mereka, sepakbola yg sebenarnya hanya permainan ini berubah jadi pertaruhan gengsi bangsa serumpun dan penyaluran kebencian serta amarah yg gak ada ujungnya. Kalo seandainya kita menang kemarin, kita pasti tambah jumawa dan menghina mereka. Ingat bung, sebuah bangsa yg besar bukan hanya dilihat dari cara mereka menyikapi kekalahan, tapi juga bagaimana menyikapi kemenangan. Kalau kalah jangan terlalu terpuruk tapi kalau menang jangan mabuk kemenangan dan menjelek2an lawan. Mungkin Tuhan juga belum mau memberi kemenangan kepada bangsa yg memang belum siap menang.
Bandingkan dengan sikap Malaysia menghadapi kebencian rakyat Indonesia. Mereka tetap tenang dan fokus pada diri sendiri. Gw gak asal ngomong. Gw punya sodara jauh dari bokap yg warga negara Malaysia. Dia dan keluarganya bermigrasi kesana pada jaman penjajahan Belanda. Melihat fenomena kebencian Indonesia terhadap Malaysia ke segala lininya, dia justru heran. Ini hanya masalah politik yg sebenernya bisa diselesaikan tanpa berlarut2 jika pemerintah Indonesia bertindak tegas mengenai masalah perbatasan, TKI, kebudayaan, maupun masalah2 lainnya. Yah kalo bicara gimana menyelenggarakan negara, kita gausah malu deh klo mereka memang lebih unggul. Pergi aja ke KL sekali2, liat bedanya.
Sampai kapanpun, dengan sikap seperti ini, susah untuk menandingi mereka. Kita maju satu langkah, mereka mungkin sepuluh. Tiap taun, klub2 besar pasti dateng ke negara mereka. Gak heran pemain seperti Baddrol jadi mudah masuk radar klub sebesar Chelsea. Disini? MU mau dateng aja disambut bom Ritz Carlton sama teroris norak yg ga ngerti bola dan phobia sama orang bule! Kompetisi dan pembinaan pemain mereka gausah ditanya.
Yah bukannya gw ngejelek2in bangsa sendiri, tapi karena itulah faktanya. Gw ga percaya kita kemaren kalah beruntung. Ga ada tuh istilah keberuntungan, yg ada adalah persiapan. Mereka menang karena menang lebih siap. Siap ngadepin tekanan penonton, siap adu penalti. "Luck is when preparation meets opportunity"
Udah gausah ngebahas 2 gol kita dianulir, karena memang jelas offside kok, gausah pula nyari kambing hitam lainnya dalam bentuk wasit. Itu juga bagian dari sepakbola. Kita bagaimanapun tetap kalah terhormat. Kalo kita memang baru bisa jadi runner up, just live with it! Piala AFF runner-up 4 kali tanpa gelar. Sea Games juara terakhir 20 taun lalu, ya terima aja.
Harapan? Tentu selalu ada. Dari solusi instan seperti naturalisasi pemain sampai pembinaan berjenjang tersedia, tinggal kita pilih yg mana. Bikin kompetisi teratur tanpa kontroversi dan dualisme dulu aja deh, bisa gak?
Jayalah sepakbola Indonesia!
No comments:
Post a Comment