Pages

Friday, November 18, 2011

Belajar dari kekalahan!

Euforia. Mental. Lagi2 itulah penyakit sepakbola Indonesia. Dengan penduduk berperingkat 4 terbanyak di dunia setelah Cina, India dan AS, serta tingkat fanatisme dahsyat berisi gabungan antara suporter sejati, suporter dadakan, dan suporter labil melebur jadi satu kalau bicara timnas sepakbola Indonesia. Tapi itu setelah dikurangi suporter yg ngambek ya.

Personel timnas seolah jadi milik bersama rakyat Indonesia. Diundang sana sini, diekspos sana sini, mereka mendadak tenar melebihi artis sinetron dan band alay, serta diperlakukan lebay kaya presenter Dahsyat memperlakukan bintang tamunya.

Euforia berlebih ini memiliki 2 sisi. Bisa mendongkrak semangat juang tim, bisa juga membebani pemain. Sayangnya untuk kasus timnas kita, hal yg disebut belakangan itulah yg kerap terjadi. Udah banyak contoh, tapi paling gampang ya Piala AFF 2010 lalu. Saat 2nd leg di GBK, Indonesia mungkin bisa berpeluang lebih besar andai Firman Utina mampu mengeksekusi penalti, tapi sayangnya tekanan dan harapan terlalu tinggi membuat sang kapten gugup dan tidak mampu mengeluarkan power pada eksekusinya.

Di Sea Games 2011 dengan tim U-23 yg menjanjikan, timnas memang benar2 tampil bagus di 3 partai pertama. Kamboja dibantai setengah lusin gol tanpa balas, Singapura dan Thailand yg diatas kertas bakal menyulitkan ternyata mampu diatasi. Tiket semifinal pun diraih sebelum matchday terakhir penyisihan grup menghadapi musuh bebuyutan, Malaysia.

Ternyata Malaysia memang mimpi buruk, baik di percaturan politik, dunia ketenaga kerjaan, sampai ke sepakbola. Di Piala AFF lalu memang Indonesia tampil beringas dari penyisihan hingga semifinal dengan menyapu bersih seluruh kemenangan termasuk diantaranya membantai Malaysia 5-1, tapi di partai final pertama di Kuala Lumpur, penampilan anak2 asuhan Alfred Riedl kala itu sangat anti-klimaks. Timnas dihajar bertubi2 bukan hanya oleh laser ijo, tapi juga oleh kegesitan Safee Sali, kecepatan Noorsahrul Idlan, dan visi apik Safiq serta ketangguhan yg membuat benteng2 Indonesia runtuh dan striker2 kita jadi macan ompong.

Sebelum berangkat ke KL, timnas memang didaulat bagai juara dunia, diangkat dan diagungkan layaknya tim tak terkalahkan, padahal juara aja belom. Akibatnya memang fatal, timnas garuda bermain dengan beban 1 ton di sayapnya, sehingga mudah dimangsa harimau malaya yg menang tampil tanpa beban. Irfan Bachdim, Cristian Gonzalez, Okto Maniani dkk gagal meneruskan penampilan cemerlangnya.

Kejadian serupa terulang lagi di event yg berbeda. Ditengah euforia penampilan cemerlang Titus Bonai, Patrich Wanggai, Andik Vermansyah, Egi Melgiansyah dkk, timnas kembali takluk 0-1 ditangan Malaysia, sang juara bertahan sepakbola Sea Games 2009. Biar diteriakin seisi stadion, lagu kebangsaannya dicela, pemain2 diintimidasi, terbukti Malaysia adalah lawan tangguh bermental baja. Mereka lebih terbiasa menghadapi tekanan ketimbang pujian. Itulah yg membuat mereka superior.

Kekalahan tetap saja kekalahan, tapi kekalahan kali ini adalah hal yg pantas disyukuri. Kekalahan ini diyakini akan membuat pemain2 timnas lebih terpacu untuk menebusnya. Pemain pelapis yg diturunkan kemarin akan lebih siap karena sudah teruji menghadapi lawan tangguh. Kekalahan ini juga diharapkan menjauhkan timnas dari euforia berlebihan, sehingga fokus pemain tetap terjaga untuk memenuhi target medali emas. Coach Rahmad Darmawan adalah seorang yg tenang dan disiplin. Dia juga terkenal mampu memotivasi pemain. Jangan lupa, pengalamannya membawa Persipura juara Liga Indonesia beberapa tahun lalu akan sangat berharga mengingat timnas U-23 diisi oleh pilar2 asal Papua.

Evolusi taktik timnas dari kebiasaan formasi 3 bek menjadi 4 bek sudah berjalan mulus, walaupun berakibat lini pertahanan lebih rentan karena pemain2 sayap masih jarang membantu pertahanan yg membuat lawan mudah menembus sektor sayap. Dari sektor serangan, kecepatan Okto, Andik, Ferdinand, Tibo dan insting gol tinggi Wanggai masih menjadi andalan, cuma sayangnya permainan eksplosif ini hanya berumur 1 babak karena masalah stamina. Coach RD menekankan pentingnya transisi saat bertahan dan menyerang. Pemain dimintanya tidak buru2 melepas bola kedepan.

Semoga kali ini kita gak lagi disuguhi kata2 "kekalahan adalah kemenangan yg tertunda" atau kata2 penghibur semu lainnya. Kita butuh kemenangan. Bangsa ini butuh gelar, karena satu gelar mungkin akan menjadi gerbang bagi gelar2 berikutnya serta pembuka masa depan cerah persepakbolaan Indonesia!

No comments:

Post a Comment