Bahwa sepakbola eropa sudah menjadi industri bukanlah barang baru. Segala yang berurusan dengan sepakbola disana bisa kecipratan untung. Dan tentunya disana sepakbola mampu menggerakkan perekonomian secara masif. Dari pemain, pelatih, dokter tim, fisioterapis, pemelihara lapangan, penjual merchandise, televisi, produk-produk olahraga, dan lain-lain semua merasakan berkah dari perputaran super cepat dunia kulit bundar ini.
Saya mau bicara soal Manchester City alias The Eastlands sebagai contoh. Klub sekota Manchester United ini sudah mulai menggeliat untuk menerobos kemapanan big four English Premier League (EPL) yang selama ini diisi Manchester United, Chelsea, Arsenal dan Liverpool sejak diambil alih oleh Thaksin Shinawatra, eks perdana menteri Thailand. Saat itu Thaksin mulai menginjeksi puluhan juta euro untuk memperbaiki kinerja City, terutama di bursa transfer termasuk mendatangkan pelatih eksentrik Sven Goran Eriksson sebagai bukti konkrit. Sayang, kiprah Thaksin hanya sebentar karena dia tersandung kasus korupsi di negaranya, yang membuatnya harus angkat kaki dari City of Manchester Stadium.
Namun pada tahun 2008 lalu, angin segar kembali melanda si biru langit dari kota Manchester setelah proses akuisisi oleh Abu Dhabi United Group. Dengan deal yang dilaporkan mencapai 200 juta pound, City menjadi "orang kaya baru" di ranah sepakbola eropa. Bisa ditebak, City langsung menggebrak di bursa transfer dengan mendatangkan bintang Brasil, Robinho dari Real Madrid sebesar 32,5 juta pound, yang saat itu memecahkan rekor transfer termahal di Inggris. Pada musim tersebut, City menduduki peringkat 10 dan mencapai babak perempat final Europa League.
Selanjutnya, City makin menggila dan seolah menguasai bursa transfer. Total senilai kira-kira lebih dari 100 juta pound dikuras dari kas klub dalam waktu 2 tahun untuk mendatangkan pelatih Roberto Mancini dan pemain-pemain mahal semisal Gareth Barry, James Milner, Wayne Bridge, Aleksandr Kolarov, Joleon Lescott, Nigel De Jong, Jeremaine Boateng, Patrick Vieira, David Silva, Emmanuel Adebayor, Carlos Tevez, kakak beradik Kolo dan Yaya Toure, sampai si bengal Mario Balotelli dan jagoan Bosnia, Edin Dzeko. Hasilnya, pemain-pemain ini mampu membawa City lolos ke Liga Champions dengan menduduki peringkat 4 EPL dan juara piala FA musim 2010/2011 yang baru berakhir. Roberto Mancini berkomentar bahwa gelar piala FA ini hanyalah awal dari kejayaan dinasti City.
Sensasi City tidak berhenti sampai disitu. Dengan proyek super-ambisius pimpinan Sheikh Mansour, City masih mengincar banyak pemain bertalenta yang tentunya berharga mahal dan bergaji tinggi setiap tahunnya. Target mereka menguasai EPL pun diramal hanya tinggal menunggu waktu saja. Tapi masih ada lagi sensasi yang dibuat City diluar dunia transfer pemain, yaitu masalah sponsorship.
City dimiliki oleh konsorsium Abu Dhabi United Group, dimana salah satu perusahaannya adalah Etihad Airways, yang namanya terpampang di seragam City. Baru-baru ini Etihad selaku sponsor mengucurkan dana super fantastis sebesar 400 juta pound untuk durasi kontrak 10 tahun. Jumlah inilah yang dipermasalahkan banyak pihak seiring dengan kebijakan UEFA selaku otoritas sepakbola tertinggi eropa untuk menggulirkan Financial Fair Play mulai tahun 2013.
Presiden UEFA, Michel Platini mulai gerah dengan perkembangan sepakbola terkini, dimana klub-klub sepakbola dinilainya sudah kehilangan akalnya. Klub-klub kaya lebih mementingkan prestasi instan dengan cara mendatangkan pemain asing berharga mahal daripada mempercayakan pembinaan jangka panjang dari akademi klub sendiri. Hal ini akan menghambat pembinaan sepakbola usia muda, dan tidak sejalan dengan spirit keprihatinan global pasca krisis ekonomi, juga terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam kompetisi sepakbola, dan klub akan kehilangan jati dirinya karena makin minimnya jumlah pemain lokal dalam klub.
Selain mengkampanyekan pembatasan jumlah pemain asing dan pengaturan home grown player, Platini juga mencanangkan Financial Fair Play yang mengharuskan posisi keuangan klub dalam kondisi sehat, yang artinya tidak merugi. Pengeluaran klub tidak boleh lebih besar daripada pendapatan asli klub. Pendapatan asli klub ini terdiri dari hak siar televisi, penjualan tiket stadion, penjualan merchandise, dan kegiatan sponsorship. Dengan adanya Financial Fair Play, posisi keuangan fiskal klub diharapkan berada dalam posisi laba, yang tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak yang besar bagi negara. Dalam tahap monitoring 2011/2012 dan 2012/2013, UEFA memberi syarat kerugian maksimum adalah sebesar 45 juta euro. Konsekuensinya, klub yang melebihi angka kerugian tersebut akan terkena sanksi larangan mengikuti kompetisi dibawah payung UEFA, termasuk larangan aktif di bursa transfer pemain.
Namun dengan nilai sponsor yang mencapai 40 juta pound per tahun tadi, City praktis dapat bernapas lega karena suntikan tersebut diyakini meloloskan mereka dari sanksi UEFA tersebut. Posisi keuangan City akan senantiasa berada pada titik aman, karena tiap tahunnya disokong dana besar, dan dengan asumsi pendapatan klub juga akan makin meningkat seiring keikutsertaan mereka di Liga Champions dan penetrasi pasar yang semakin . Artinya, City tetap akan leluasa membelanjakan puluhan juta uangnya di pasar pemain setiap tahun seperti yang mereka lakukan selama ini.
Banyak pihak yang tidak tinggal diam menyangkut hal ini. Manajer Arsenal, Arsene Wenger berkomentar bahwa City telah melakukan transaksi sponsorship yang jauh dari kewajaran, dan menuntut Platini bersama UEFA melakukan investigasi mengenai tingkat kewajaran transaksi ini. Dia mencontohkan Arsenal yang "cuma" mendapatkan kontrak sebesar 100 juta pound dari Emirates Airways dengan durasi kontrak 15 tahun, yang berarti hanya sekitar 1/7 saja dari yang diterima City dari Etihad. Kredibilitas Financial Fair Play dipertanyakan. Hal senada dikeluhkan oleh Ian Ayre, managing direktur Liverpool. Ayre juga terheran dengan digantinya nama stadion City of Manchester Stadium dengan Etihad Stadium sebagai konsekuensi kontrak. Hal ini dikatakannya merupakan pertama kali terjadi di dunia sepakbola.
Permasalahannya adalah, apakah ada harga pasar wajar untuk transaksi sponsorship klub? Apakah pencanangan Financial Fair Play adalah solusi terbaik guna mengembalikan sepakbola pada hakikatnya sebagai permainan yang fair, baik didalam maupun luar lapangan? Pekerjaan rumah yang besar telah menanti Platini, karena klub-klub semacam ini bukan hanya City, tapi sebelumnya telah muncul Chelsea. Dan kini di ranah Iberia muncul Malaga, klub dari wilayah Andalusia, Spanyol, yang baru-baru ini dibeli oleh konsorsium dari Qatar dan siap menggoyang duopoli La Liga dari tangan Barcelona dan Real Madrid dengan kekayaan barunya. Belum lagi Paris Saint Germain yang juga baru diakuisisi konsorsium Qatar.
Sepakbola sekarang memang bukan sekedar permainan, tapi bisnis. Bisnis yang menguntungkan banyak pihak. Tapi apakah sepakbola harus menutup mata pada permasalahan lain di dunia yang lebih mendesak, seperti masalah kelaparan, keterbatasan pangan, kesehatan dan lainnya? Perputaran uang yang terlalu kencang di dunia sepakbola dan terkonsentrasinya kekayaan hanya pada golongan tertentu tentunya sangat menyakiti kaum-kaum marjinal, yang tidak tau hari esok mereka akan seperti apa.
No comments:
Post a Comment