Please don't mess up this time, Mario |
Salah satu adegan film non-action yang paling saya ingat adalah
ketika Julia Robert dengan lahapnya memakan seloyang Pizza di sebuah restoran
di kota Naples. Dia melahap roti bundar pipih berlapis saos tomat, keju
mozzarella dan potongan aneka daging salami, ham dan bacon itu seolah tanpa
beban.
Dalam perannya sebagai
seorang wanita paruh baya, dia terlihat santai memakan slice demi slice makanan
asli kota Naples itu seraya berkata. “I’m
tired worrying about being fat and counting how many calories I’ve consumed
each day. If my stomach is getting bigger, I would just buy a bigger trouser.”
Dari situ terlihat pola
pikir yang sudah terbentuk dan tertanam di masyarakat Eropa dan masyarakat
dunia barat pada umumnya, dan mindset demikian kini sedang menjalani masa-masa
keemasannya di Indonesia, khususnya di Jakarta. Mindset untuk melakukan segala
kesenangan tanpa mempedulikan dampak bagi kesehatan, dan juga tanpa memedulikan
berapa harga yang harus dibayar.
Pizza hanyalah salah satu
contoh makanan impor mahal yang ada di sekitar kita. Ingat pizza, kita akan
mengingat salah satu negara kontestan Euro 2012, Italia. Negara yang memiliki
tradisi dalam sepakbola ini adalah salah satu yang paling disorot oleh banyak
pihak, walaupun tidak sekencang sorotan terhadap tim nasional Inggris. Dan kita
sebagai penggemar sepakbola, apakah peduli jika harus begadang menyaksikan para
jagoan yang jauh di belahan bumi barat sana beradu di turnamen besar? Sepertinya tidak. Sama
halnya kita tidak peduli berapa lemak yang kita makan saat menyantap pizza.
Bicara tim nasional Italia
bukanlah sekadar bicara pertahanan kokoh. Italia dikenal menghasilkan
penyerang-penyerang hebat dan tampil menentukan di turnamen besar yang mereka
jalani. Taktik bertahan akan sia-sia jika tidak memiliki striker yang piawai
mencetak gol, karena strategi mereka tidaklah memberikan kemewahan berupa
banyaknya peluang untuk mencetak gol. Italia butuh sosok penyerang efisien bertipe
one chance, one goal.
Ketiadaan striker haus gol
ini akan membuat tim azzuri miskin
peluang untuk meraih prestasi. Dalam dua dekade ini, Christian Vieri adalah
striker tertajam Italia dengan mencetak 23 gol dari 49 penampilannya di tim
nasional, 9 gol diantaranya dicetak di Piala Dunia 1998 dan 2002. Di dua Piala
Dunia dimana Vieri tampil gemilang tersebut, Italia hanya kalah adu penalti
dengan Prancis di 1998 dan kalah kontroversial dari Korea Selatan di 2002.
Keberhasilan Italia tanpa
sosok striker tajam terjadi di Piala Dunia 2006. Anomali ini tercipta karena mereka
memenangi trofi emas Piala Dunia tersebut berkat penampilan kolektif dan
cemerlangnya lini pertahanan, dimana mereka hanya kebobolan dua gol saja
sepanjang turnamen.
Kini Italia menghadapi
kondisi berbeda menyambut Euro 2012. Pelatih Cesare Prandelli berkali-kali
menegaskan Italia tidak akan bermain bertahan. Namun kendalanya, Prandelli
tidak lagi memiliki sosok prima punta.
Beberapa kandidat posisi nomor 9 tersebut tampil kurang impresif musim ini. Gianpaolo
Pazzini harus rela ikut ke Jakarta saja dalam tur bersama Inter Milan dan
bukannya ke pusat latihan timnas, Alessandro Matri, Pablo Osvaldo dan Alberto
Gilardino yang juga semula diharapkan, malah tampil tidak konsisten sehingga
Prandelli meninggalkan mereka.
Italia memang masih punya
Mario Balotelli, pemain berkarakter si nomor 9 terbaik dari yang tersisa saat
ini. Namun ulah “maverick” sang
wonderkid membuatnya tidak bisa diharapkan sepenuhnya untuk menjadi tumpuan
mereka dalam mendulang gol. Prandelli seperti memasang bom waktu yang dapat
meledak kapan saja dalam ruang gantinya. Jika dalam form dan attitude
terbaiknya, Balotelli memang calon pemain kelas dunia. Momentum Euro 2012 ini
seharusnya dia jadikan sebagai pembuktian kapasitasnya kepada semua yang
meragukannya.
Prandelli menggantungkan asa
kepada pemain paling berbakat dari generasi sebelum Balotelli, yaitu Antonio
Cassano. Fantanito, si nomor 10, terlihat sudah mulai menemukan kembali
sentuhannya setelah menjalani operasi jantung. Namun agak riskan untuk
memaksakannya bermain penuh di sebuah turnamen besar dengan waktu recovery yang singkat. Fantanito butuh dukungan
maksimal.
Jika sosok si nomor 9 dan
nomor 10 masih diragukan karena alasan yang berbeda, Prandelli perlu menyiapkan
si nomor 18, 19 dan 20 yaitu para penyerang pelapis. Sayangnya, keterbatasan
yang dimiliki membuatnya terkesan melakukan panic
call-up. Prandelli memanggil para penyerang hijau di posisi ini macam
Mattia Destro dan Fabio Borini. Untungnya, Prandelli masih memiliki secercah
harapan dalam diri dua pemain yang tampil gemilang musim ini, Sebastian
Giovinco dan Antonio Di Natale, yang sekali lagi sayangnya mereka bukanlah
sosok prima punta.
Jika ingin menapaktilasi
kejayaan Piala Dunia tahun 2006, Prandelli harus meyakinkan bahwa barikade
pertahanan yang dimilikinya sudah sebaik era Fabio Cannavaro cs. Ada harapan
mengingat pertahanan Italia kini didominasi oleh para Juventini, yang memegang
rekor kebobolan paling sedikit di Seri a. Dengan sudah pasti kompaknya mereka,
saatnya naik kelas dan menjadikan Euro 2012 sebagai penahbisan kelegendaan.
Sebagai penggemar La Nazionale sejak Roberto Baggio nyaris
sendirian membawa Italia ke final Piala Dunia 1994, saya tentu berharap Italia
mampu mengeluarkan permainan terbaiknya di Polandia-Ukraina. Minta tolong ya,
Super Mario. No more fire, no more darts, no more… Just give us goals!
“Oke mbak, saya pesan Large Peperoni with extra parmesan cheese!
Gak pake lama!”
Memang agak "aneh" keputusan Prandelli ini. Selama di Fiorentina pun dia selalu punya sosok prima punta. Atau dgn kata lain, ia tidak punya sejarah menanggalkan prima punta. Apakah Prandelli melihat kesuksesan Juve musim ini yang berjaya tanpa kehadiran prima punta mumpuni? Well, let us see.
ReplyDeleteKeputusan yang sulit, tapi kalo gue jadi Prandelli sih bakal pilih Borini.
Delete