The Italian talented manager |
Gelar juara Piala FA, final Liga Champions, suasana kondusif ruang ganti, membaiknya permainan para pemain. Apa lagi yang harus dibuktikan oleh Roberto Di Matteo?
Di Matteo, Italiano berwajah Asia kelahiran Swiss ini adalah seorang gelandang jempolan semasa bermain. Umpan akurat dan tendangan jarak jauh adalah spesialisasinya. Lazio dan Chelsea adalah klub yang membesarkan namanya hingga malang melintang di tim nasional Italia dan bermain sebanyak 34 kali, termasuk keikutsertaan di Piala Eropa 1996.
Semasa bermain di Chelsea, Di Matteo mampu mengomandoi lini tengah yang tangguh berkat kolaborasi apiknya bersama Gustavo Poyet, Dan Petrescu dan Dennis Wise. Di Matteo membawa Chelsea memenangi berbagai gelar bergengsi, dari Piala FA (1997 dan 2000) hingga gelar UEFA Cup Winners Cup dan Piala Super Eropa (1998), yang membuat Chelsea menjadi tim yang diperhitungkan.
Di Matteo kemudian tercatat sebagai best eleven Chelsea sepanjang masa namun ironisnya harus mengakhiri karir lebih dini akibat cedera patah kaki saat membela tim kosmopolitan ini. Usia 31 tahun terlalu muda untuk akhir karir seorang pemain profesional.
Di Matteo kemudian memulai karir kepelatihannya di klub Milton Keynes Dons. Dia mengajak rekannya semasa bermain di Chelsea, Eddie Newton. Di MK Dons, Di Matteo membawa klub London tersebut ke posisi ketiga klasemen League One. West Bromwich Albion kemudian mendapatkan jasanya. Di Matteo membuat impresi dengan meloloskan WBA ke Premiership di musim pertamanya. Namun dalam partai debut bersama WBA di English Premier League, Di Matteo menyaksikan anak asuhnya dibantai oleh klub kesayangannya, Chelsea, enam gol tanpa balas.
Di Matteo sempat menjadi Manager of the month September 2010 English Premier League untuk kemudian dipecat akibat hasil-hasil buruk menghapiri WBA. Di Matteo menemukan bahwa Chelsea adalah rumahnya. Saat ditawari manajemen untuk mendampingi Andre Villas-Boas sebagai asisten manajer, dia langsung mengiyakan.
Villas-Boas adalah pelatih muda dengan CV mentereng. Gajinya selangit dan metodenya revolusioner. Apa yang didapatnya berupa prestasi bersama Porto membuatnya merasa bisa berkata pada penghuni skuad "I am the boss."
Villas-Boas tidak kenal kompromi. Dia memaksakan Chelsea bermain sesuai metode dan kemauannya, bermain cepat dan menyerang dalam formasi 4-3-3. Hal ini sangat berlawanan dengan ciri khas Chelsea sebagai tim yang bermain lambat tapi pasti. Pemain-pemain senior juga dengan berani ditinggalkannya. Frank Lampard dan Didier Drogba bukanlah favoritnya. Dia tidak menyadari bahaya dari tindakannya.
Para senior itu dibela John Terry, sang kapten yang sudah seperti makhluk mitos diruang ganti. Pembangkangan terjadi, hasil di lapangan tidak bersahabat, Villas-Boas dipaksa menerima pesangon jutaan pound untuk angkat koper dari Stamford Bridge. Si pemilik tak sabaran, Roman Abramovich mengontak Guus Hiddink, kolega lamanya yang sempat menjalani periode fantastis di Chelsea, namun sang meneer menolak. Jadilah Roberto Di Matteo diangkatnya sebagai caretaker.
Di Matteo mengambil langkah sederhana. Dia hanya mengambil jalan berlawanan dengan Villas-Boas yang telah diamatinya selama 8 bulan. Dia mengubah pola 4-3-3 warisan AVB menjadi 4-2-3-1, formasi paling lazim di Eropa saat ini, sebagai upayanya melindungi lini belakang dengan dua orang gelandang yang melapisi pertahanan. Dia juga mendatangi pemain senior, mengajak semua pemain berbicara secara personal dan mendengarkan ide-ide mereka.
Kekuatan mendengarkan tersebut sangat dahsyat. Chelsea kembali segar. Pemain senior kembali ke lapangan membimbing para newcomers untuk mengawali berbagai streak kemenangan dan periode positif the blues. Posisi liga membaik, begitu pula performa di Piala FA dan Liga Champions.
Di Matteo menggerakkan Chelsea sebagai unit, bukan Chelsea muda dan bukan Chelsea senior. Pengalamannya sebagai bekas pemain membuatnya lebih dihargai. Kultur Italiano yang melekat membuatnya mampu menyadarkan para punggawa Chelsea bahwa sebuah tim tidak hanya harus menyerang, namun juga harus bertahan dengan baik. Bertahan adalah seni, yang dia tunjukkan kepada dunia saat menghadapi Barcelona. Bersama Vincenzo Montella dan Antonio Conte, Di Matteo adalah pelatih masa depan Italia.
Nasib Di Matteo bagaimanapun belumlah jelas meski berhasil membawa angin segar kepada The Blues. Abramovich yang merasa mengerti sepakbola ini bisa saja sekadar membandingkan Di Matteo dengan Avram Grant, yang hanya berselisih satu tendangan terpeleset John Terry saja untuk menjadi yang terbaik di Eropa di Moscow tahun 2008.
Entah Roman menyadari atau tidak, Di Matteo bukan sekadar membawa Chelsea juara Piala FA dan melaju ke final Liga Champions, tapi Di Matteo membuat pemainnya mampu mengeluarkan permainan terbaiknya. Itulah sebenarnya yang diharapkan dari seorang manajer tim. Pelatih Bayern Muenchen, Jupp Heynckes bahkan memberikan dukungannya. Menurutnya, harmoni dalam tim adalah hal terpenting yang harus dibentuk seorang manajer. "You need continuity at clubs. The harmony between the players and the coach is very important, and I don't think there's any argument for him not to continue."
Lihatlah sekarang performa Fernando Torres yang kini lebih pede berkali-kali lipat ketimbang enam bulan lalu. Di Matteo bahkan lebih sukses memaksimalkan Torres ketimbang Carlo Ancelotti. Lihat pula bagaimana dia menjadikan pertahanan Chelsea yang semula keropos kini menjadi kokoh bagaikan batu karang. Dia mampu menjadikan Garry Cahill tandem pas buat John Terry, namun tidak mematikan potensi David Luiz.
Pemain yang semula dianggap sudah habis macam Salomon Kalou juga mulai kembali. Kalou terbukti mampu mencetak beberapa gol dan assist penting belakangan ini, diluar keraguannya dalam menembak ke gawang yang memang sudah menjadi naluri dasarnya. Anda juga perlu melihat kiprah Michael Essien yang kini berjuang mengembalikan performa terbaiknya sebelum cedera, dan jangan lupakan Ramires dan Juan Mata yang kini menjadi roh permainan. Tidak lupa, Di Matteo kerap memberikan jam terbang kepada beberapa pemain muda. Nama Ryan Bertrand dan Sam Hutchinson kini mulai akrab di telinga pecinta EPL.
Apapun hasil pertandingan malam ini melawan Bayern Muenchen, Abramovich layak mempertahankan Di Matteo, yang mungkin saat ini sedang mengotak-atik komposisi lini belakangnya yang tanpa John Terry serta tidak fitnya Gary Cahill dan David Luiz.
Anda tidak bisa menyalahkan secara total tim yang memainkan kuartet Paulo Ferreira-Jose Bosingwa-Cahill/Luiz-Cole jika mereka menderita menghadapi Frank Ribery-Arjen Robben-Thomas Mueller dan striker yang tengah on-fire, Mario Gomez. Anda tidak juga bisa mengesampingkan Chelsea akan menghadapi pertaruhan besar. It's do or die game buat Chelsea yang akan menjadikan pertandingan nanti malam menarik. Mereka harus menang jika ingin kembali bermain di Liga Champions musim depan.
Rasa penasaran Didier Drogba cs akan menghadapi optimisme tinggi tim tuan rumah yang dilatih oleh Jupp Heynckes, si pemilik ambisi menjadi pelatih keempat yang membawa dua klub berbeda menjuarai Liga Champions.
Apapun hasilnya nanti, open your eyes, Roman!
No comments:
Post a Comment