Debat apakah yang paling tidak berujung di dunia? Jika anda
menjawabnya debat dalam tayangan ILC, maka anda juga perlu melihat timeline
twitter setiap akhir pekan: Debat mengenai klub favorit.
Klub favorit, percayalah, bisa membuat anda gila tanpa anda
sadari. Anda rela menabung, membelanjakan uang, mengorbankan waktu, berkelahi
dengan orang lain hanya untuk membela mereka. Dan debat mengenai klub siapa
yang paling hebat seakan lebih seru ketimbang acara malam mingguan atau tahun
baruan anda bersama teman-teman.
Seperti menjadi kepuasan tersendiri jika klub favorit anda
memenangi laga. Anda secara sukarela memberikan sepersekian hati anda kepada
mereka sehingga anda larut dalam kegembiraan ketika mereka menang padahal anda
tidak ada di lapangan, anda merasa bagian dari klub padahal mereka berada
ribuan kilometer dari tempat anda berpijak, anda merasa klub adalah bagian dari
hidup padahal bagi klub anda hanyalah bagian dari data numerik yang disimpan
rapi oleh bagian marketing tim itu.
Tapi anda tidak peduli, anda menikmatinya dan anda suka
seperti itu. Itu keren dan asik. Begitulah anda berpendapat.
Terserah saja bagaimana anda menjalani hidup sendiri, atau
bagaimana anda menyuruh otak untuk menyukai apapun, atau bahkan tidak menyukai
apapun. Namun sepertinya banyak yang melupakan bahwa klub anda adalah bagian
kecil dari sebuah dunia dan keluarga besar bernama sepak bola.
Dalam bukunya, Alex Bellos bilang kalau bagi orang Brazil,
sepak bola adalah jalan hidup. Bagi sebagian penduduk bumi, semua orang Brazil
bisa bermain sepak bola. Dan jika tim lokal anda ingin meningkatkan level
permainan, maka kontraklah dua atau tiga orang pemain Brazil. Dengan kebiasaannya
menari, berpesta dan bersantai di pantai, orang-orang Brazil memiliki kaki-kaki
alamiah untuk bisa menggocek, menendang juga meliuk-liuk layaknya penari samba.
Bagi orang Brazil, sepak bola adalah kendaraan untuk
meningkatkan taraf hidup sekaligus meraih kebahagiaan. Meski harus meninggalkan
tanah air, meninggalkan Cahaya matahari sepanjang tahun, menjauhi pantai dan
karnaval untuk bermain sepak bola di tim yang berada di belahan dunia lain,
mereka rela melakukannya. Tercatat, Brazil adalah negara pengekspor pemain bola
terbanyak dunia.
Lalu bagaimana jika anda mengartikan sepak bola adalah
sebuah bendera klub? Klub favorit anda adalah segalanya, apapun yang melawan
mereka adalah musuh anda, siapapun yang mendukung mereka adalah teman anda,
anda boleh saja kalah dalam hidup namun klub anda tidak boleh kalah, anda boleh
saja kalah berdebat dalam hal-hal remeh namun jika menyangkut debat klub
favorit anda maka anda selalu benar.
Banalitas dan bigotry adalah hal yang kadang memang
mengasyikkan, karena anda merasa bebas dan tidak peduli pada apapun selain yang
anda bela. Kepuasan tersendiri juga timbul saat klub rival mengalami kekalahan,
apalagi terjerembap dalam kesulitan. Seolah siapapun yang berafiliasi dan
menempel pada klub rival anda itu adalah musuh anda juga, yang perkataannya
harus anda debat, yang kemenangannya harus anda gugat.
Menjalani hidup seperti itu, bagaimanapun adalah pilihan
(termasuk menjalani hidup cara apapun). Namun jauh dibalik segala glorifikasi
atas kemenangan tim favorit yang posternya sudah menyesaki dinding kamar anda
itu, ada hal yang lebih besar dan lebih berharga untuk diperjuangkan: yaitu perjuangan dan perdamaian.
Daripada memandang sepak bola melalui kacamata kuda dan
menghasilkan satu bendera klub saja, alangkah lebih bermanfaat jika sepak bola
dijadikan sebagai alat perdamaian seperti yang dilakukan Didier Drogba dan
kawan-kawan untuk menghentikan perang saudara di negaranya, Pantai Gading. Akan
lebih bermakna pula jika sepak bola dipandang secara luar biasa menjadi
penyelamat hidup seorang Antonio Cassano, yang tumbuh di lingkungan kriminal di
kota Bari. Jika tidak bermain sepak bola, mungki Cassano akan menjadi perusuh
di setiap pertandingan yang ditontonnya.
Atau bagaimana jika kita menanyakan seperti apa sepak bola bagi seorang Bambang Pamungkas? Ia tidak peduli pada hal lain, namun hanya peduli pada kebenaran. Ia bermain di timnas meski klub melarangnya, ia menginisiasi perjuangan.
Atau bagaimana jika kita menanyakan seperti apa sepak bola bagi seorang Bambang Pamungkas? Ia tidak peduli pada hal lain, namun hanya peduli pada kebenaran. Ia bermain di timnas meski klub melarangnya, ia menginisiasi perjuangan.
“In the field, what’s in here (name on back) is not
important than what’s in here (crest on chest)” begitu kata pelatih fiksi Eric
Dornhelm ketika menegur Santiago Munez saat sang pemain terus menerus membawa
bola sendiri dan tidak pernah mengoper kepada kawannya. Dengan bahasa lain,
Dornhelm mencoba mengajak Munez untuk berpikir lebih luas, tidak sesempit
sebelumnya.
Jika anda bisa berbicara bahwa klub lebih besar daripada
pemain, maka seharusnya tidak sulit berbicara bahwa sepak bola lebih dari klub.
Mungkin terdengar kejam, tapi saya sempat berharap PSSI mendapat sanksi dari FIFA karena bisa menjadi alarm buat semua pengurus bola di tanah air bahwa pada akhirnya yang perlu dibenahi total di indonesia ini adalah semua aspek termasuk para pengurusnya. Kisruh sepakbola indonesia ini sudah sangat membuang-buang energi, padahal masih banyak olahraga cabang lain yang perlu diperhatikan, lebih menarik melihat prestasi ganda campuran indonesia yang akhirnya menjuarai All England 2x berturut tanpa publikasi yang heboh.
ReplyDelete-Meitha-
Maaf komentar di atas untuk artikel berjudul "Kekhawatiran Dibalik Kesuksesan KLB" ^_^ -Meitha
ReplyDelete