Pages

Sunday, March 17, 2013

Sepak bola Lebih Dari Klub!



Debat apakah yang paling tidak berujung di dunia? Jika anda menjawabnya debat dalam tayangan ILC, maka anda juga perlu melihat timeline twitter setiap akhir pekan: Debat mengenai klub favorit.

Klub favorit, percayalah, bisa membuat anda gila tanpa anda sadari. Anda rela menabung, membelanjakan uang, mengorbankan waktu, berkelahi dengan orang lain hanya untuk membela mereka. Dan debat mengenai klub siapa yang paling hebat seakan lebih seru ketimbang acara malam mingguan atau tahun baruan anda bersama teman-teman.

Seperti menjadi kepuasan tersendiri jika klub favorit anda memenangi laga. Anda secara sukarela memberikan sepersekian hati anda kepada mereka sehingga anda larut dalam kegembiraan ketika mereka menang padahal anda tidak ada di lapangan, anda merasa bagian dari klub padahal mereka berada ribuan kilometer dari tempat anda berpijak, anda merasa klub adalah bagian dari hidup padahal bagi klub anda hanyalah bagian dari data numerik yang disimpan rapi oleh bagian marketing tim itu.

Tapi anda tidak peduli, anda menikmatinya dan anda suka seperti itu. Itu keren dan asik. Begitulah anda berpendapat.

Terserah saja bagaimana anda menjalani hidup sendiri, atau bagaimana anda menyuruh otak untuk menyukai apapun, atau bahkan tidak menyukai apapun. Namun sepertinya banyak yang melupakan bahwa klub anda adalah bagian kecil dari sebuah dunia dan keluarga besar bernama sepak bola.

Dalam bukunya, Alex Bellos bilang kalau bagi orang Brazil, sepak bola adalah jalan hidup. Bagi sebagian penduduk bumi, semua orang Brazil bisa bermain sepak bola. Dan jika tim lokal anda ingin meningkatkan level permainan, maka kontraklah dua atau tiga orang pemain Brazil. Dengan kebiasaannya menari, berpesta dan bersantai di pantai, orang-orang Brazil memiliki kaki-kaki alamiah untuk bisa menggocek, menendang juga meliuk-liuk layaknya penari samba.

Bagi orang Brazil, sepak bola adalah kendaraan untuk meningkatkan taraf hidup sekaligus meraih kebahagiaan. Meski harus meninggalkan tanah air, meninggalkan Cahaya matahari sepanjang tahun, menjauhi pantai dan karnaval untuk bermain sepak bola di tim yang berada di belahan dunia lain, mereka rela melakukannya. Tercatat, Brazil adalah negara pengekspor pemain bola terbanyak dunia.

Lalu bagaimana jika anda mengartikan sepak bola adalah sebuah bendera klub? Klub favorit anda adalah segalanya, apapun yang melawan mereka adalah musuh anda, siapapun yang mendukung mereka adalah teman anda, anda boleh saja kalah dalam hidup namun klub anda tidak boleh kalah, anda boleh saja kalah berdebat dalam hal-hal remeh namun jika menyangkut debat klub favorit anda maka anda selalu benar.

Banalitas dan bigotry adalah hal yang kadang memang mengasyikkan, karena anda merasa bebas dan tidak peduli pada apapun selain yang anda bela. Kepuasan tersendiri juga timbul saat klub rival mengalami kekalahan, apalagi terjerembap dalam kesulitan. Seolah siapapun yang berafiliasi dan menempel pada klub rival anda itu adalah musuh anda juga, yang perkataannya harus anda debat, yang kemenangannya harus anda gugat.

Menjalani hidup seperti itu, bagaimanapun adalah pilihan (termasuk menjalani hidup cara apapun). Namun jauh dibalik segala glorifikasi atas kemenangan tim favorit yang posternya sudah menyesaki dinding kamar anda itu, ada hal yang lebih besar dan lebih berharga untuk diperjuangkan: yaitu perjuangan dan perdamaian.

Daripada memandang sepak bola melalui kacamata kuda dan menghasilkan satu bendera klub saja, alangkah lebih bermanfaat jika sepak bola dijadikan sebagai alat perdamaian seperti yang dilakukan Didier Drogba dan kawan-kawan untuk menghentikan perang saudara di negaranya, Pantai Gading. Akan lebih bermakna pula jika sepak bola dipandang secara luar biasa menjadi penyelamat hidup seorang Antonio Cassano, yang tumbuh di lingkungan kriminal di kota Bari. Jika tidak bermain sepak bola, mungki Cassano akan menjadi perusuh di setiap pertandingan yang ditontonnya.

Atau bagaimana jika kita menanyakan seperti apa sepak bola bagi seorang Bambang Pamungkas? Ia tidak peduli pada hal lain, namun hanya peduli pada kebenaran. Ia bermain di timnas meski klub melarangnya, ia menginisiasi perjuangan.

“In the field, what’s in here (name on back) is not important than what’s in here (crest on chest)” begitu kata pelatih fiksi Eric Dornhelm ketika menegur Santiago Munez saat sang pemain terus menerus membawa bola sendiri dan tidak pernah mengoper kepada kawannya. Dengan bahasa lain, Dornhelm mencoba mengajak Munez untuk berpikir lebih luas, tidak sesempit sebelumnya.

Jika anda bisa berbicara bahwa klub lebih besar daripada pemain, maka seharusnya tidak sulit berbicara bahwa sepak bola lebih dari klub.

2 comments:

  1. Mungkin terdengar kejam, tapi saya sempat berharap PSSI mendapat sanksi dari FIFA karena bisa menjadi alarm buat semua pengurus bola di tanah air bahwa pada akhirnya yang perlu dibenahi total di indonesia ini adalah semua aspek termasuk para pengurusnya. Kisruh sepakbola indonesia ini sudah sangat membuang-buang energi, padahal masih banyak olahraga cabang lain yang perlu diperhatikan, lebih menarik melihat prestasi ganda campuran indonesia yang akhirnya menjuarai All England 2x berturut tanpa publikasi yang heboh.

    -Meitha-

    ReplyDelete
  2. Maaf komentar di atas untuk artikel berjudul "Kekhawatiran Dibalik Kesuksesan KLB" ^_^ -Meitha

    ReplyDelete