Give him a chance! |
Ketika liga-liga Eropa mulai
memasuki pertengahan musim, nasib banyak tim di akhir musim nampak mulai
terbaca. Milan yang melalui Galliani semula naïf mencanangkan scudetto sebagai
target mereka, ternyata malah sempat terseok-seok di awal musim sebelum
akhirnya menemukan bentuk permainan terbaik mereka belakangan ini yang kini
membawa mereka ke posisi top half klasemen sementara Seri a.
Target kini sudah direvisi, yaitu
menduduki posisi 3 besar klasemen akhir Seri a yang berarti keikutsertaan di
kompetisi Liga Champions. Meski demikian, banyak hal yang perlu dibenahi dari
skuat Max Allegri ini terutama di lini pertahanan. Hal ini makin terjustifikasi
dengan serangkaian gol-gol tipikal yang bersarang di gawang Marco Amelia di
pertandingan penghujung tahun lawan Roma.
Sangat penting jika sebuah keputusan
tidak diambil berdasarkan knee-jerk reaction sehingga menunjukkan bahwa kita
adalah orang-orang yang reaktif dan mudah terpancing sehingga tidak bisa
melihat hal yang lebih penting daripada sekadar rangkaian hasil buruk.
Sudah berulang kali saya tegaskan
bahwa total enam kekalahan yang dialami Milan adalah buntut dari sebuah
revolusi. Klise? Ya memang klise. Membela Allegri? Tidak juga, tapi saya juga
bukan anti Allegri. Lagipula saya hanyalah fans siaran langsung televisi yang
hanya menonton dari jarak ribuan kilometer. Jika suara Milanisti terbelah
antara yang pro dan anti Allegri, itu mah biasa. Seorang fans yang merasa
memiliki klub pasti mempunyai masing-masing opini dalam kepalanya. Tidak masalah.
Revolusi Milan terkait masalah
finansial mereka adalah sesuatu yang tak terhindarkan, seperti halnya
keruntuhan Uni Soviet dua dekade lalu. Milan musim ini mengambil langkah drastis
dengan melepas pemain-pemain senior dan bintang-bintang yang selama ini menjadi
panutan, andalan dan acuan dalam bermain. Ini masih klise? Well, anda sudah
dewasa tentunya untuk menilai tapi pelatih sehebat apapun tidak akan mampu
membawa Milan pada posisi penantang scudetto dengan skuat ini.
Tapi kan skuat ini tidak
buruk-buruk amat. Ya memang tidak buruk-buruk amat, namun ini mungkin secara
hiperbol bisa saja disamakan dengan menukar akademi La Masia Barcelona dengan
kantong uang Roman Abramovich. Barcelona tanpa alumni dan filosofi La Masia
tidak akan seperti sekarang meskipun diberi anggaran transfer pemain 200 juta
euro sekalipun.
Penggemar lawas Milan mungkin
ingat ketika tim inipun pernah mengalami masa-masa sulit di musim 1996/1997 dimana pemain flop seperti Cristophe Dugarry dan Edgar Davids hadir. Namun lebih dari itu Rossoneri mengalami kesulitan dengan regenerasi pertahanan karena mereka terus mengandalkan Franco Baresi dan Pietro Vierchowod yang sudah menua yang
akhirnya membawa setan merah menduduki posisi 11 klasemen akhir. Pada akhirnya,
masa jaya kembali dimulai di era Carlo Ancelotti ketika Berlusconi menginjeksi
Milan dengan pembelian Alessandro Nesta dan kemudian menciptakan dinasti
kejayaan il Meravigliosi.
Milan musim ini kehilangan Thiago
Silva dan Nesta, dua center back kelas dunia yang dalam potensi terbaik mereka
mampu menahan laju seorang Lionel Messi. Sekarang coba lihat nama-nama yang ada
di lini pertahanan, tidak ada yang bahkan memiliki tiga perempatnya kemampuan
mereka. Mario Yepes yang kebanyakan menganggur di era Thiago-Nesta bertugas
justru kini dianggap sebagai bek tengah tertangguh Rossoneri.
Milanisti memang tidak akan
pernah bisa move on mengenai personel lini pertahanan karena mereka seolah
selalu punya pembanding pada para legenda seperti Franco Baresi, Paolo Maldini,
Alessandro Costacurta, Nesta, Thiago Silva maupun Jaap Stam. Di era mereka,
bek-bek bagus macam Fabricio Coloccini, Roberto Ayala, Martin Laursen hingga
Kakha Kaladze tidak akan pernah mendapat apresiasi setinggi Baresi dkk. Apalagi
personel yang ada sekarang.
Sungguh tidak adil membandingkan
komposisi yang ada sekarang dengan para jagoan itu. Jika problem lini
pertahanan dianggap paling utama, maka beli saja bek-bek berkelas dunia yang
tersedia, yang tentunya berharga mahal seperti halnya Milan membeli Nesta
sepuluh tahun lalu dengan tebusan 30 juta euro. Sayangnya, saat ini Milan
memang tidak memiliki dana sebesar itu untuk menggaet bek setangguh Mats
Hummels atau Adil Rami misalnya. Inilah yang tidak dimiliki Allegri, jika
memang harus membandingkannya dengan Ancelotti.
Kemampuan Milan membeli pemain
akan amat sangat tergantung pada hasil penjualan yang mereka lakukan di musim
dingin ini. Adriano Galliani terus menekan Corinthians untuk membayar Pato
lebih mahal dari 15 juta euro, karena nilai si bebek menurut situs
transfermarkt memang nyaris dua kali lipatnya, meski situs itu mungkin saja
tidak memperhitungkan situasi terkini Pato yang jarang bermain. Begitu pula Brasilero lainnya, Robinho. Galliani
masih mengupayakan nilai diatas 10 juta euro untuk pemain yang dibesarkan
Santos ini.
Hasil penjualan Pato dan Robinho yang
mungkin paling banyak hanya mencapai 25 juta euro pun rasanya tidak mungkin
dipakai untuk membeli seorang bek berkualitas. Bek dengan harga semahal itu
pasti juga tidak akan mau digaji dibawah 4 juta euro yang saat ini sepertinya
menjadi batas atas gaji personel Rossoneri.
Jika melihat skuat sekarang,
Milan punya Francesco Acerbi yang sebenarnya adalah bek potensial. Kehadiran
Acerbi memang belum berpengaruh, ia akan butuh waktu lagi untuk beradaptasi. Ia
butuh jam terbang. Lihatlah Sir Alex Ferguson di Manchester United. Ia terus
memasang Jonny Evans untuk menggantikan bek tangguh Nemanja Vidic yang cedera
panjang. Hasilnya, Evans kini menjadi bek yang konsisten. Acerbi mungkin saja
perlu diberi kesempatan yang sama dengan Evans.
Jangan lupa pula saat pertama
kali datang dari Fluminense, Thiago Silva bukanlah pemain seperti sekarang. Mendatangkan
bek baru belum tentu menjadi solusi ideal. Terus berpikir gegabah untuk
mengganti ini-itu, membeli si ini-si anu bukanlah hal yang diperlukan saat ini.
Apakah masalah Milan hanya di
lini pertahanan? Tidak, masalah juga terjadi di lini tengah. Lini tengah Milan harus
kehilangan Mark Van Bommel, Rino Gattuso dan Mr Champions League Clarence
Seedorf. Jika Ancelotti diberikan Rui Costa untuk menggantikan Zvonimir Boban,
Allegri tidaklah diberikan pengganti sepadan untuk para old guard ini. Menunggu
Hachim Mastour? Sudahlah, anak itu bahkan kini belum boleh menyetir mobil sendiri,
apalagi menyetir lini tengah Milan.
Bagaimana dengan situasi Milan
yang kehilangan Ibra dan Cassano di lini penyerangan? Oh saya tidak perlu
membahasnya lagi bukan? Kepergian mereka, bahkan ditambah hengkangnya Pato dan
Robinho nanti toh saya rasa tidak akan menimbulkan masalah besar bagi Milan
sebesar masalah di lini pertahanan. Kemunculan El Shaarawy dan M’baye Niang
adalah blessing in disguise dalam situasi ini. Untuk solusi jangka pendek,
dikabarkan Milan sedang mendekati Shanghai Shenhua terkait Didier Drogba.
Lalu bagaimana dengan taktik? Allegri
sudah mencoba berbagai skema dan membongkar pasang line-up demi memilih
kerangka tim, yang baru terbentuk belakangan ini. Ia mencoba memaksimalkan
potensi yang ada. Ia mengharapkan Boateng mengeluarkan kemampuan terbaiknya,
meski memang konyol berharap Prince mampu bermain sebagai trequartista yang
baik.
Boateng bersama Nocerino adalah
gelandang-gelandang yang bersinar ketika sosok Zlatan masih memimpin serangan. Kemampuan
hold-up ball eksepsional dari si jangkung ini membuat mereka banyak mendapat
ruang tembak, sesuatu yang tidak mereka dapatkan sekarang namun masih terus
dicari solusinya oleh Allegri.
Allegri boleh jadi bukan pemilih
pemain yang baik, juga mungkin saja bukan peramu taktik hebat. Namun lihat saja
kepercayaan tinggi yang ia berikan kepada bocah bernama El Shaarawy dan De
Sciglio, seorang gelandang kiri medioker yang ia sulap menjadi bek kiri tangguh
bernama Kevin Constant, juga seorang penyerang yang musim lalu mandul bernama
Giampaolo Pazzini yang hingga kini sudah mencetak 7 gol.
Satu lagi problem di posisi
penjaga gawang juga mulai menghantui Allegri. Menuanya Abbiati, plus beberapa
kali ia menyebabkan terjadinya gol aneh membuat Allegri mulai berani menurunkan
Marco Amelia. Amelia seperti bukan orang yang sama ketika menjadi deputi Gigi
Buffon di timnas Italia beberapa waktu lalu. Amelia kini adalah kiper dengan
rasio kebobolan yang lebih buruk dari Abbiati. Namun jika Milan sabar mempertahankannya
dan terus memberinya kesempatan, kemampuan terbaik eks AS Roma dan Livorno ini
akan terlihat musim depan.
Patience is a virtue.