“PATAHIN!! ABISIN!! WASIT G*BL*K!!” Kata-kata kasar
semacam itulah yang pernah saya rasakan ketika mengikuti kejuaraan sepak bola pada
waktu kecil di kota saya dulu. Intimidasi dari orang tua lawan bertanding saya.
Kata-kata dan ajaran yang terdengar seperti pelampiasan kekecewaan mereka
terhadap hidup mereka ketimbang menyemangati anaknya bermain.
Bukan bermaksud mengumbar umpatan-umpatan kasar
dalam tulisan ini, namun begitulah realitanya. Para orang tua itu
mencontohkannya di hadapan anak mereka sendiri, segampang mereka yang dengan
enteng mencontohkan untuk merokok di tempat umum atau membuang sampah
sembarangan kepada anak-anak mereka itu. Apa yang bisa diharapkan dari
orang-orang yang dalam pikirannya cuma berisi bagaimana mematahkan kaki anak
orang lain dan memaki-maki wasit?
Saya yakin dulu banyak diantara anda yang pernah
disemprot orang tua anda ketika anda mengungkapkan niat menjadi pesepakbola.
“Mau jadi apa kamu? Mau makan apa kamu main bola disini?” Omongan-omongan
semacam itu adalah pertanda skeptisme masyarakat kita akan masa depan seorang
atlet sepak bola.
Belum lagi kita banyak mendengar kisah pilu
mantan-mantan atlet bola kita yang sengsara di hari tuanya, dilupakan di hari
kematiannya, padahal dielu-elukan di masa jayanya. Tambah pilu hati kita
mendengar pemain asing yang ditelantarkan klub hingga meninggal dunia. Dan bukan
hanya atlet bola malah, tapi atlet semua cabang olah raga memang sepertinya dibegitukan.
Kedengarannya jadi masuk akal jika orang tua
melarang anaknya untuk menjadi pesepakbola. Pertanyaan mendasar timbul: Apa
yang diharapkan dari menjadi pesepakbola di Indonesia?
Pembinaan yang tidak benar saja sudah menjadi
masalah tersendiri bagi piramida persepakbolaan kita. Jika ditambah lagi dengan
sikap-sikap intimidatif dan tidak suportif semacam itu, pertanyaan klise
retoris lainnya akan muncul: Bagaimana sepak bola Indonesia mau maju jika sikap
kita begini?
Salah satu pengalaman masa kecil saya itu tadi
terulang kembali baru-baru ini ketika saya sudah bekerja di sebuah perusahaan.
Mental meraih kemenangan dengan segala cara dan mental mengintimidasi orang
lain sepertinya memang sudah menjadi makanan sehari-hari bangsa ini.
Coba anda perhatikan pertandingan sepak bola yang
diadakan di perusahaan yang mempertandingkan tim antar divisi, pasti ada saja
bumbu-bumbu seperti itu. Bahkan bukan cuma di pertandingan antar perusahaan,
pertandingan antar sekolah dan antar komplek juga kerap dibumbui keributan. Katanya
gak seru kalo main bola itu gak ribut. Ya, sepak bola memang olah raga penuh
benturan fisik yang rentan dengan perkelahian, namun semua orang juga tahu
kalau sepak bola sejatinya bukanlah ajang adu jotos.
Itulah yang saya alami beberapa waktu lalu di tempat saya bekerja.
Ketika itu pertandingan berlangsung di pagi hari
antara tim saya melawan tim dari site lain. Panitia rupanya kurang kordinasi
yang berakibat tidak tersedianya wasit yang akan memimpin jalannya
pertandingan. Kepanikan ini membuat panitia mengambil langkah “ascom” alias
asal comot. Maksud panitia sebenarnya baik dengan mencomot salah seorang dari
site lain diluar site kami yang akan bertanding untuk menjaga netralitas, namun
apa daya orang yang dicomot itu jauh dari kompeten untuk menjadi seorang wasit.
Inkompetensi si wasit ascom itu benar-benar
terpampang saat ia tidak bisa memutuskan apakah bola sudah masuk ke gawang tim
kami atau belum. Dalam suatu serangan, tim lawan melepas tendangan kearah
gawang kami dan bola sudah masuk ke gawang, namun bola terpental keluar lagi
dari gawang karena membentur tiang yang berada di bagian belakang gawang.
Kejadian berlangsung cepat dan lawan sudah keburu
merayakan “gol hantu” itu. Wasit nampaknya tidak melihat jelas kejadian ini. Kontan
saja tim kami melakukan protes keras kepada si wasit ascom yang kebingungan.
Dibawah tekanan dari kedua pihak, akhirnya wasit “memilih” untuk mengesahkan
gol itu.
Di babak kedua, ada kejadian lebih lucu lagi. Saat
skor imbang, tim kami terus menyerang. Dalam suatu momen, kiper lawan tidak
sengaja menangkap umpan back-pass dari rekannya sendiri. Tim kami dan juga
suporternya secara spontan berteriak “PINALTI!!” “PINALTI, WASIT!!” dengan
membahana. Wasit kembali nampak kebingungan, dan ketidaktegasannya itu
dimanfaatkan betul oleh tim kami untuk terus mengintimidasinya untuk memberi hadiah
penalti untuk tim kami.
Tim lawan yang tidak terima dengan keputusan itu
jelas mencak-mencak, salah seorang suporternya bahkan mendatangi suporter kami
untuk menantang keabsahan hukuman tendangan penalti karena back-pass. Ia
bersikeras untuk mengajak pengurus tim kami untuk browsing di internet dan
mengecek peraturan FIFA! Saling dorong yang nyaris berubah menjadi baku hantam
hampir terjadi. Pertandingan ini berubah menjadi dagelan konyol, dan berubah
menjadi bodoh ketika wasit ascom itu akhirnya memberikan penalti kepada tim
kami, yang sukses membawa kami menang.
“Impas dong, kan tadi babak pertama kami juga
diperlakukan gak adil.” Begitu kata salah seorang rekan pemain kepada wasit.
Dan ketika pertandingan berakhir, celotehan timbul bahwa sebenarnya tadi
insiden di babak pertama itu memang benar gol. Tindakan protes tadi memang
sengaja dilakukan untuk mengintimidasi lawan dan wasit.
Ya begitulah mentalitas kita dalam bersepak bola.
Kemenangan diincar dengan cara apapun, termasuk jika harus mengintimidasi wasit
dan mencederai peraturan dasar bermain. Sesudah pertandingan itu, kami lolos ke
babak selanjutnya dan akhirnya merebut peringkat ketiga, namun saya menolak
untuk bermain. Buat saya, kompetisi sudah rusak dan berubah menjadi panggung
lawak sejak insiden-insiden konyol itu.
Dan si wasit asal comot itu duduk termenung,
memutar lagu-lagu galau, mungkin setelah itu ia meracau di twitter. Permintaan
maaf tulus dari panitia maupun permintaan maaf basa basi dari tim kami tidak ia
gubris. Pagi itu mungkin saja salah satu pagi teraneh dan terjelek yang pernah
ia jalani.
No comments:
Post a Comment