Selamat jalan, Diego. Photo by Okezone |
Berita kematian Diego Mendieta, penyerang Persis Solo
berusia 32 tahun akibat penyakit yang dideritanya membuat nama Indonesia
kembali mendunia, sayangnya untuk hal sangat memalukan.
Kabar miris Diego Mendieta masih lebih menyedihkan daripada
kabar Diego yang lain, yaitu Diego Michiels yang tersandung kasus pengeroyokan.
Jika karir Diego Michiels masih bisa berlanjut, lain halnya Diego Mendieta.
Sebab bukan sekadar karir yang hilang, namun nyawanya yang melayang.
Memang kematian adalah takdir Yang Maha Kuasa, namun setelah
menelisik penyebab non-medis dari kematian pemain asal Paraguay ini, bukan
hanya PSSI atau KPSI, namun seluruh insan sepak bola Indonesia harusnya berintrospeksi.
Saya bisa membayangkan nasib Mendieta, yang kesepian dan
sakit keras di negeri orang yang letaknya beribu kilometer dari tanah
kelahirannya. Ia tergolek sakit tanpa kehadiran orang-orang tercintanya disisi
dan tanpa perhatian orang-orang yang mempekerjakannya. Ah boro-boro bantuan
bersifat sukarela berupa sumbangan dari klub tempatnya bermain, haknya berupa gaji
saja tidak kunjung dilunasi. Dalam pesan singkat di Blackberry Messenger
miliknya, Diego hanya ingin tiket pesawat pulang ke negaranya, menemui ibunya
dan meninggal disana. Keinginan sederhana dari seseorang yang sudah meregang
nyawa itupun tidak mampu dipenuhi. Beginilah potret kejam dari carut marut
persepakbolaan Indonesia.
Namun sebelum menyalahkan dan menghujat kesana-sini tanpa
arah, kita tentu perlu tahu mengapa penunggakan gaji ini bisa terjadi. Dalam wawancaranya,
Taji Prasetyo, rekan setim dari almarhum Diego mengatakan bahwa kondisi Persis
Solo memang memprihatinkan, namun banyak klub lain yang bahkan lebih parah
lagi. Kematian Diego-lah yang membuat Persis kini lebih disorot. Kasus ini
ibarat puncak gunung es dari parahnya manajemen klub sepak bola Indonesia.
Konflik dualisme menggelikan yang telah tersaji di kalangan
elit federasi sepak bola telah memecah federasi yang sama-sama mengklaim
sebagai induk sepak bola Indonesia. Konflik tingkat pusat tersebut kemudian
menular hingga ke level klub. Banyak klub yang juga terimbas dualisme yang tak
kunjung usai karena pihak yang membawahi mereka yaitu PSSI dan KPSI masih saja
berseteru.
Dalam esai obituari untuk Diego yang dibuat oleh Zen RS di Detiksport,
telah dijelaskan secara detail mengenai konflik PSSI dan KPSI yang kemudian
menular ke level klub, dan Persis Solo adalah salah satunya. Zen mengungkapkan
bahwa konflik dua kubu besar di tubuh federasi sepak bola itu memiliki andil
dalam kasus dualisme Persis Solo, tempat Diego bermain. Persis Solo akhirnya
memiliki dua tim yang berkompetisi dibawah PSSI dan KPSI. Diego dalam hal ini
bermain di Persis Solo yang bermain di kompetisi yang berada dibawah naungan
KPSI.
Rekan saya Yoga Cholandha dalam tulisannya di blog Football Fandom mengajak kita semua
untuk tidak saling menyalahkan, melainkan berintrospeksi. Menambahkan esai dari
Zen, Yoga mengemukakan bahwa Persis Solo adalah klub yang terpecah dualisme
namun masih berada dalam satu manajemen. Dengan logika anak Sekolah Dasar pun,
klub pasti akan kesulitan mendanai biaya gaji pemain, yang memang menjadi
komponen biaya terbesar dari klub sepak bola. Tertunggaknya gaji Diego selama
empat bulan senilai lebih dari 100 juta rupiah semakin jelas menunjukkan
ketidakberesan ini.
Kasus kematian Diego Mendieta ini juga menjadi pembuka mata
kita bahwa bangunan sepak bola Indonesia memang sudah keropos dan perlu di
renovasi di setiap jengkalnya. Dalam tulisannya di kolom Yahoo!,
Hedi Novianto mengungkapkan bahwa kurangnya riset dan perencanaan membuat klub
sering melangkah dengan prinsip “pokoknya jalan”. Tidak ada panduan dari induk
organisasi mengenai persyaratan klub yang akan mengikuti kompetisi. Pedoman standar
keuangan klub yang disyaratkan AFC juga tidak dipakai, juga tidak ada petunjuk
untuk mencari sumber dana dan sebagainya mengakibatkan klub banyak yang
beroperasi seadanya saja.
Jika sepak bola adalah representasi sebuah bangsa, lalu
seperti apakah wajah bangsa kita setelah kasus ini? Mungkin jika Indonesia
adalah orang, maka orang itu tidak akan berani bercermin melihat wajahnya
sendiri. Jika sepak bola adalah gambaran nyata dari kehidupan, kasus ini adalah
episode tergelap kehidupan yang bisa dialami seseorang.
Kecaman jelas sudah muncul dari seluruh penjuru bumi, bukan
hanya dari orang-orang Indonesia. Media Inggris BBC juga memberitakan
hal ini, dengan menitikberatkan krisis organisasi merembet kepada klub yang
mengakibatkan banyak klub tidak memiliki sokongan finansial memadai. Asosiasi
pemain FIFPro telah memberikan kecamannya
dan akan meneruskan kasus ini untuk menjadi perhatian FIFA. Kasus ini menurut
saya adalah tragedi besar yang timbul karena konflik yang berkepanjangan dan
mismanagement yang sepertinya sudah menjadi penyakit kronis bagi sepak bola
Indonesia.
Kematian Diego seakan mengikuti jejak hitam kematian
suporter yang hingga kini juga tidak diusut tuntas dan sepertinya juga tidak
dilakukan langkah perbaikan kedepannya. Namun rasanya akan sangat keterlaluan
jika kematian pemain akibat ketidakbecusan pengelolaan klub dan konflik
perebutan kekuasaan para elit sepak bola nasional ini dibiarkan begitu saja. Saatnya
rekonsiliasi penuh antara elit federasi dan setting ulang piramida sepak bola
Indonesia.
Selamat jalan, Diego Antonio Mendieta Romero. Semoga engkau
mendapat tempat yang lebih baik dan beristirahat dengan tenang.
JAGUARQQ | DOMINO 99 | POKER | BANDARQ ONLINE
ReplyDelete* Dengan Minimal Deposit : Rp 15.000,-
* Tersedia 9 Game Dalam 1 User ID
+ BandarQ
+ ADUQ 1120011279200 Ref:
+ SAKONG
+ DOMINO99
+ BANDAR66
+ POKER
+ BANDAR POKER
+ CAPSA SUSUN
+ PERANG BACCARAT
* Bonus Rollingan 0,5% Setiap minggu
* Bonus Referal 20% Seumur hidup
- Kontak Kami -
WA : +855964608606
TELEGRAM : +855964608606
LINE : csjaguarqq
Website : 99jaguar
Twitter : JaguarQQ