Pages

Saturday, December 29, 2012

Patience is a virtue - Year end review

Give him a chance!


Ketika liga-liga Eropa mulai memasuki pertengahan musim, nasib banyak tim di akhir musim nampak mulai terbaca. Milan yang melalui Galliani semula naïf mencanangkan scudetto sebagai target mereka, ternyata malah sempat terseok-seok di awal musim sebelum akhirnya menemukan bentuk permainan terbaik mereka belakangan ini yang kini membawa mereka ke posisi top half klasemen sementara Seri a.

Target kini sudah direvisi, yaitu menduduki posisi 3 besar klasemen akhir Seri a yang berarti keikutsertaan di kompetisi Liga Champions. Meski demikian, banyak hal yang perlu dibenahi dari skuat Max Allegri ini terutama di lini pertahanan. Hal ini makin terjustifikasi dengan serangkaian gol-gol tipikal yang bersarang di gawang Marco Amelia di pertandingan penghujung tahun lawan Roma.

Sangat penting jika sebuah keputusan tidak diambil berdasarkan knee-jerk reaction sehingga menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang reaktif dan mudah terpancing sehingga tidak bisa melihat hal yang lebih penting daripada sekadar rangkaian hasil buruk.

Sudah berulang kali saya tegaskan bahwa total enam kekalahan yang dialami Milan adalah buntut dari sebuah revolusi. Klise? Ya memang klise. Membela Allegri? Tidak juga, tapi saya juga bukan anti Allegri. Lagipula saya hanyalah fans siaran langsung televisi yang hanya menonton dari jarak ribuan kilometer. Jika suara Milanisti terbelah antara yang pro dan anti Allegri, itu mah biasa. Seorang fans yang merasa memiliki klub pasti mempunyai masing-masing opini dalam kepalanya. Tidak masalah.

Revolusi Milan terkait masalah finansial mereka adalah sesuatu yang tak terhindarkan, seperti halnya keruntuhan Uni Soviet dua dekade lalu. Milan musim ini mengambil langkah drastis dengan melepas pemain-pemain senior dan bintang-bintang yang selama ini menjadi panutan, andalan dan acuan dalam bermain. Ini masih klise? Well, anda sudah dewasa tentunya untuk menilai tapi pelatih sehebat apapun tidak akan mampu membawa Milan pada posisi penantang scudetto dengan skuat ini.

Tapi kan skuat ini tidak buruk-buruk amat. Ya memang tidak buruk-buruk amat, namun ini mungkin secara hiperbol bisa saja disamakan dengan menukar akademi La Masia Barcelona dengan kantong uang Roman Abramovich. Barcelona tanpa alumni dan filosofi La Masia tidak akan seperti sekarang meskipun diberi anggaran transfer pemain 200 juta euro sekalipun.

Penggemar lawas Milan mungkin ingat ketika tim inipun pernah mengalami masa-masa sulit di musim 1996/1997 dimana pemain flop seperti Cristophe Dugarry dan Edgar Davids hadir. Namun lebih dari itu Rossoneri mengalami kesulitan dengan regenerasi pertahanan karena mereka terus mengandalkan Franco Baresi dan Pietro Vierchowod yang sudah menua yang akhirnya membawa setan merah menduduki posisi 11 klasemen akhir. Pada akhirnya, masa jaya kembali dimulai di era Carlo Ancelotti ketika Berlusconi menginjeksi Milan dengan pembelian Alessandro Nesta dan kemudian menciptakan dinasti kejayaan il Meravigliosi.

Milan musim ini kehilangan Thiago Silva dan Nesta, dua center back kelas dunia yang dalam potensi terbaik mereka mampu menahan laju seorang Lionel Messi. Sekarang coba lihat nama-nama yang ada di lini pertahanan, tidak ada yang bahkan memiliki tiga perempatnya kemampuan mereka. Mario Yepes yang kebanyakan menganggur di era Thiago-Nesta bertugas justru kini dianggap sebagai bek tengah tertangguh Rossoneri.

Milanisti memang tidak akan pernah bisa move on mengenai personel lini pertahanan karena mereka seolah selalu punya pembanding pada para legenda seperti Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, Nesta, Thiago Silva maupun Jaap Stam. Di era mereka, bek-bek bagus macam Fabricio Coloccini, Roberto Ayala, Martin Laursen hingga Kakha Kaladze tidak akan pernah mendapat apresiasi setinggi Baresi dkk. Apalagi personel yang ada sekarang.

Sungguh tidak adil membandingkan komposisi yang ada sekarang dengan para jagoan itu. Jika problem lini pertahanan dianggap paling utama, maka beli saja bek-bek berkelas dunia yang tersedia, yang tentunya berharga mahal seperti halnya Milan membeli Nesta sepuluh tahun lalu dengan tebusan 30 juta euro. Sayangnya, saat ini Milan memang tidak memiliki dana sebesar itu untuk menggaet bek setangguh Mats Hummels atau Adil Rami misalnya. Inilah yang tidak dimiliki Allegri, jika memang harus membandingkannya dengan Ancelotti.

Kemampuan Milan membeli pemain akan amat sangat tergantung pada hasil penjualan yang mereka lakukan di musim dingin ini. Adriano Galliani terus menekan Corinthians untuk membayar Pato lebih mahal dari 15 juta euro, karena nilai si bebek menurut situs transfermarkt memang nyaris dua kali lipatnya, meski situs itu mungkin saja tidak memperhitungkan situasi terkini Pato yang jarang bermain.  Begitu pula Brasilero lainnya, Robinho. Galliani masih mengupayakan nilai diatas 10 juta euro untuk pemain yang dibesarkan Santos ini.

Hasil penjualan Pato dan Robinho yang mungkin paling banyak hanya mencapai 25 juta euro pun rasanya tidak mungkin dipakai untuk membeli seorang bek berkualitas. Bek dengan harga semahal itu pasti juga tidak akan mau digaji dibawah 4 juta euro yang saat ini sepertinya menjadi batas atas gaji personel Rossoneri.

Jika melihat skuat sekarang, Milan punya Francesco Acerbi yang sebenarnya adalah bek potensial. Kehadiran Acerbi memang belum berpengaruh, ia akan butuh waktu lagi untuk beradaptasi. Ia butuh jam terbang. Lihatlah Sir Alex Ferguson di Manchester United. Ia terus memasang Jonny Evans untuk menggantikan bek tangguh Nemanja Vidic yang cedera panjang. Hasilnya, Evans kini menjadi bek yang konsisten. Acerbi mungkin saja perlu diberi kesempatan yang sama dengan Evans.

Jangan lupa pula saat pertama kali datang dari Fluminense, Thiago Silva bukanlah pemain seperti sekarang. Mendatangkan bek baru belum tentu menjadi solusi ideal. Terus berpikir gegabah untuk mengganti ini-itu, membeli si ini-si anu bukanlah hal yang diperlukan saat ini.

Apakah masalah Milan hanya di lini pertahanan? Tidak, masalah juga terjadi di lini tengah. Lini tengah Milan harus kehilangan Mark Van Bommel, Rino Gattuso dan Mr Champions League Clarence Seedorf. Jika Ancelotti diberikan Rui Costa untuk menggantikan Zvonimir Boban, Allegri tidaklah diberikan pengganti sepadan untuk para old guard ini. Menunggu Hachim Mastour? Sudahlah, anak itu bahkan kini belum boleh menyetir mobil sendiri, apalagi menyetir lini tengah Milan.

Bagaimana dengan situasi Milan yang kehilangan Ibra dan Cassano di lini penyerangan? Oh saya tidak perlu membahasnya lagi bukan? Kepergian mereka, bahkan ditambah hengkangnya Pato dan Robinho nanti toh saya rasa tidak akan menimbulkan masalah besar bagi Milan sebesar masalah di lini pertahanan. Kemunculan El Shaarawy dan M’baye Niang adalah blessing in disguise dalam situasi ini. Untuk solusi jangka pendek, dikabarkan Milan sedang mendekati Shanghai Shenhua terkait Didier Drogba.

Lalu bagaimana dengan taktik? Allegri sudah mencoba berbagai skema dan membongkar pasang line-up demi memilih kerangka tim, yang baru terbentuk belakangan ini. Ia mencoba memaksimalkan potensi yang ada. Ia mengharapkan Boateng mengeluarkan kemampuan terbaiknya, meski memang konyol berharap Prince mampu bermain sebagai trequartista yang baik.

Boateng bersama Nocerino adalah gelandang-gelandang yang bersinar ketika sosok Zlatan masih memimpin serangan. Kemampuan hold-up ball eksepsional dari si jangkung ini membuat mereka banyak mendapat ruang tembak, sesuatu yang tidak mereka dapatkan sekarang namun masih terus dicari solusinya oleh Allegri.

Allegri boleh jadi bukan pemilih pemain yang baik, juga mungkin saja bukan peramu taktik hebat. Namun lihat saja kepercayaan tinggi yang ia berikan kepada bocah bernama El Shaarawy dan De Sciglio, seorang gelandang kiri medioker yang ia sulap menjadi bek kiri tangguh bernama Kevin Constant, juga seorang penyerang yang musim lalu mandul bernama Giampaolo Pazzini yang hingga kini sudah mencetak 7 gol.

Satu lagi problem di posisi penjaga gawang juga mulai menghantui Allegri. Menuanya Abbiati, plus beberapa kali ia menyebabkan terjadinya gol aneh membuat Allegri mulai berani menurunkan Marco Amelia. Amelia seperti bukan orang yang sama ketika menjadi deputi Gigi Buffon di timnas Italia beberapa waktu lalu. Amelia kini adalah kiper dengan rasio kebobolan yang lebih buruk dari Abbiati. Namun jika Milan sabar mempertahankannya dan terus memberinya kesempatan, kemampuan terbaik eks AS Roma dan Livorno ini akan terlihat musim depan.

Patience is a virtue.

No comments:

Post a Comment