"Like you're getting on a rollercoaster you can't find the brakes!"
Itulah potongan lirik lagu Better Day karya band British 90an Ocean Colour Scene yang mempersonifikasi pertunjukan Milan musim ini yang seperti wahana roller coaster. Tidak selalu kita menaiki wahana penantang nyali semacam itu di taman hiburan. Ada saatnya kita ingin beristirahat menaiki komedi putar atau bom-bom car sekadar untuk menurunkan adrenalin. Kebetulan, saya juga bukan tipe pecandu adrenalin, sehingga terlalu banyak hormon tersebut malah bisa membuat saya bosan.
Itulah yang saya alami selama menonton AC Milan musim ini. Bukan, saya tidak takut tim jagoan saya itu kalah. Tapi penampilan Rossoneri musim ini benar-benar memaksa pendukungnya bosan dengan ketegangan, sehingga pertunjukan yang pada umumnya membuat orang ketar-ketir dan semangat malah berubah menjadi pertunjukan membosankan tim yang menggunakan filosofi "The Power of Kepepet". Dengan alasan itu, plus bersimpati terhadap Gaza dengan tidak mengumbar keriaan, saya memutuskan untuk tidur saja dan tidak menonton pertandingan semalam.
Saya mengerti bahwa konflik yang terjadi di Gaza adalah konflik wilayah, bukan konflik Muslim dan Yahudi. Lagipula tidak semua umat Yahudi adalah Zionis. Tapi hati kecil saya tetap... Ah sudahlah, ini kan artikel bola bukannya politik atau agama.
Bagaimana saya tidak mengatakan hal itu jika Milan seakan baru tersentak ketika tertinggal dua gol lebih dahulu, dan kebanyakan gol-gol itu tercipta dengan mudah akibat keroposnya lini belakang atau kesalahan individual.
Milan seolah pamer ketajaman dan merasa bahwa mereka akan mampu menjebol gawang lawan lebih banyak meski gawang mereka juga banyak kebobolan.
Saya tidak menyukai pertunjukan semacam ini. Pendekatan "The Power of Kepepet" seperti ini sama sekali tidak efektif untuk kompetisi liga yang seperti perlombaan lari marathon. Karena kepepet, saya bisa terpaksa memanjat pagar rumah teman saya, tapi itu bukanlah sesuatu yang seharusnya setiap hari dilakukan. Kompetisi liga adalah kompetisi yang membutuhkan konsistensi, dan Milan sudah terlalu banyak kehilangan angka akibat hasil-hasil buruk yang mereka torehkan melawan tim yang sebenarnya mampu mereka kalahkan. Milan selalu membutuhkan situasi kepepet untuk menyelesaikan masalah.
Milan lagi-lagi membutuhkan kehebatan Stephan El Shaarawy, yang dengan golnya yang ke 10 kemarin membuatnya memimpin daftar cappocannonieri meninggalkan Edinson Cavani dan Erik Lamela dengan koleksi 8 buah. Ketergantungan Rossoneri pada il Faraone juga terlalu tinggi. Dengan koleksi golnya yang ke-10, El Shaarawy mencetak setengah dari gol Rossoneri di Seri a musim ini.
Memang ada sih secercah harapan. Katanya, Boateng bermain cukup lumayan, begitu pula Mbaye Niang yang membuktikan kapasitasnya sebagai penyerang bermasa depan cerah. Menahan imbang tim setangguh Napoli di kandangnya juga bukanlah pekerjaan mudah, namun dengan cara bermain Milan, hal itu tetap membuat saya tidak senang.
Allegri yang biasanya membela timnya, sehabis pertandingan ini menyalahkan pemain-pemainnya yang terlalu banyak melakukan kesalahan dan memberikan gol mudah bagi lawan. Sindiran ini boleh jadi mengarah ke kiper Christian Abbiati, yang sebenarnya mampu mencegah dua gol il Portanopei itu. Namun, mencela kiper berpengalaman dan sudah banyak berjasa bagi tim hanya akan membuat suporter makin berang. Allegri sebaiknya berkonsentrasi menyusun strategi yang mujarab, bukannya menyalahkan anak buahnya.
Dunia seakan tidak berpihak pada Allegri setelah El Shaarawy justru mendedikasikan dua golnya kepada Christian Abbiati, yang notabene dikritik sang allenatore.
@aditchenko
Sore hari di Depok setelah mengalami hari yang lucu
No comments:
Post a Comment