Selama ini saya memang lebih banyak menulis mengenai sepak
bola luar negeri, khususnya sepak bola Eropa. Saya juga bisa dibilang tidak
terlalu mengikuti dengan seksama perkembangan sepak bola tanah air yang berisi
permainan politik tanpa akhir yang mengesalkan. Bicara Liga Indonesia, saya
juga tahu sedikit saja. Liga Indonesia identik dengan permainan kasar, wasit
tidak kompeten, kerusuhan suporter, jadwal tidak jelas, gaji pemain tidak
dibayar, dan sebagainya. Tidak menarik.
Saya dari dulu terlelap dalam eskapisme sebagai pendukung
klub Eropa, karena sepak bola lokal memang tidak pernah menyajikan cerita
menarik buat saya. Saya memilih untuk menjadi pendukung klub yang terletak
beribu kilometer dari saya berdiri, yang sejatinya tidak pernah memberi manfaat
langsung buat saya, juga buat negara ini. Saya gembira akan kejayaan mereka
sekaligus larut dalam kesedihan ketika mereka kalah, seakan-akan saya adalah
bagian dari mereka. Darah saya merah, rambut saya hitam.
Memang cerita sepak bola lokal sekarang masih sama dengan
waktu saya kecil, bahkan mungkin sekarang lebih parah. Sekarang cerita
pencurian umur, pemain titipan, pembinaan tidak serius dan kualitas
infrastruktur yang buruk ditambah lagi dengan konflik tanpa ujung di tubuh federasi.
Tapi perlahan pandangan saya berubah ketika saya mulai
mengenal orang-orang ini. Orang-orang yang kritis dan peduli sepak bola
nasional bagaimanapun keadaannya.
“Percuma kita hapal dan mengikuti perkembangan klub luar
negeri, tapi gak peduli sama sepak bola di sekitar kita sendiri.”
“Kalau bukan kita sebagai warga negaranya, siapa lagi yang
peduli?”
Itulah kata-kata mereka yang cukup mengena buat saya.
Well, kalimat-kalimat seperti itu sontak membangunkan saya
dari tidur panjang dan mimpi indah yang diberikan dalam bentuk tayangan
langsung tiap akhir pekan dan pemberitaan deras dari media.
Tidak, bukannya saya akan secara drastis anti menonton dan
mendukung klub Eropa. Dukungan pada klub Eropa tetap saya berikan karena
merekalah cermin ideal terhadap apa yang kita harapkan dari sepak bola.
Bagaimana sepak bola dimainkan, bagaimana kesejahteraan pemain, keamanan
penonton, bagusnya lapangan, kenyamanan wasit, kedatangan sponsor. Saya justru
berharap segala tayangan gratis sepak bola Eropa yang telah bertahun-tahun kita
nikmati, memberikan kita pelajaran berharga.
Memang disini tempat semua ironi berada. Akses untuk menjadi
penggemar sepak bola disini lebih sulit. Mencari berita sepak bola lokal lebih
sulit daripada berita dari Eropa, terlebih mencari-cari data keuangan klub atau
data statistik pemain detail pemain. Memang ada, namun tidak banyak. Jadwal pertandingan
juga tidak jelas, dan tidak friendly untuk kaum pekerja karena umumnya
pertandingan dilangsungkan sore hari di hari kerja.
“Untuk mencari berita lokal, kita harus pintar memilih
media, kalau perlu kita cari sendiri keluar rumah lalu berbicara dengan
orang-orang yang memang bersinggungan langsung dengan sepak bola kita.”
Demikian ucapan seorang teman.
Saya lantas mencari identitas. Banyak yang bilang bahwa identitas
pendukung sepak bola adalah tim favoritnya. Well, jika itu pertanyaannya, ini
menjadi pertanyaan mendasar buat saya.
Apakah tim lokal favorit saya?
Ini pertanyaan tidak terlalu mudah untuk saya jawab. Saya
lahir di Jakarta, tinggal dan besar di Depok dan Jakarta. Saya memiliki orang tua Jawa Timur
dan Jawa Barat.
Memang tidak ada kriteria tertulis soal ini, tapi jika
berbicara tim lokal, setidaknya anda mesti mendukung tim yang memang dekat
dengan anda. Dekat disini bukan melulu jarak, bisa pula kedekatan historis asal
usul ataupun alasan lain.
Jika anda bertanya pada orang asli Jakarta yang tinggal dan
bekerja di Jakarta, dengan orang tua asli Jakarta, dia kemungkinan besar akan
mantap menjawab Persija sebagai tim favorit.
Hal sama akan anda temui jika kita ganti kata “Jakarta” di
paragraf barusan dengan “Bandung”, “Surabaya”, “Semarang”, “Solo”, “Medan” dan
lain-lain. Maka akan muncul tim favorit Persib, Persebaya, PSIS, Persis Solo,
PSMS Medan.
Lalu bagaimana dengan saya?
Melihat pada tempat kelahiran, saya tercatat lahir di Bogor,
sesuai akta kelahiran. Saya bisa saja menjadi pendukung Persikabo atau PSB.
Tapi faktanya, saya lahir di Jakarta. Tertulisnya kota Bogor di akta kelahiran
saya adalah cerita lainnya. Saya mungkin bisa mencoret kedua tim ini dari
kandidat tim lokal favorit.
Menengok pada domisili, saya sudah tinggal di Depok selama
20 tahun. Saya bisa menjadi pendukung Persikad.
Melihat pada keseharian, Jakarta adalah tempat saya bekerja
dan banyak teman dan saudara tinggal di ibukota Indonesia ini. Saya bisa
menjadi pendukung Persija.
Melihat pada asal usul, Ayah saya berasal dari Sidoarjo,
tapi dia lebih mengenal Persebaya daripada Deltras Sidoarjo. Untuk itu, saya
juga bisa menjadi pendukung Persebaya. Ibu saya lahir di Bandung, dan dengan
alasan itu saya bisa menjadi pendukung Persib.
Jadi, pilihan tersisa pada Persikad, Persija, Persebaya, dan
Persib. Jika memang faktanya demikian, saya tidak bisa memilih. Saya bersimpati
pada tim yang berada di dekat saya, Persikad dan Persija karena mereka memang
dekat di hati. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya lebih merasa menjadi menjadi
warga ibukota. Walaupun demikian, saya tidak bisa melupakan asal usul saya,
yang berasal dari orang tua. Kita tidak pernah bisa melupakan akar.
Lebih berat kemana? Well, saya memilih untuk seimbang.
No comments:
Post a Comment