Pages

Friday, November 2, 2012

Milan, Bunuh Diri Atau Melangkah Kedepan?



Awal musim 2012/2013 adalah yang terburuk bagi AC Milan sejak 82 tahun lalu. Serangkaian kekalahan yang terjadi atas tim yang diatas kertas lebih lemah, kesulitan dalam membongkar pertahanan lawan, kebingungan mereka di area final third sungguh diluar kebiasaan. Belum lagi, permainan Antonio Nocerino dan Kevin Prince Boateng, dua punggawa lini tengah musim lalu, kini berada jauh diluar harapan.

Tapi bagaimanapun juga, anda tidak bisa banyak berharap pada klub yang sedang mengalami overhaul, alias revolusi besar-besaran pada skuadnya. Bagi para milanisti, sambutlah hari-hari penuh cobaan dengan kesabaran.

Sebagai salah satu klub yang paling digembosi skuad musim ini, tentu menarik membahas penyebab itu semua. Apa lagi jika bukan kondisi finansialnya.


The Financial - Mengapa krisis itu datang?

Milan memang bukan klub terkaya. Pendapatan mereka selalu dibawah Real Madrid, Barcelona, maupun Manchester United dan Chelsea sejak 2006 seperti ditunjukkan pada tabel dibawah:

Pendapatan Klub-klub besar Eropa




Klub
Pendapatan (Juta Euro)
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Real Madrid
292
351
366
401
439
480
Barcelona
259
290
309
366
398
451
Manchester United
243
315
325
327
350
367
Bayern Muenchen
205
273
295
290
323
321
Arsenal
192
264
264
263
274
251
Chelsea
221
283
269
242
256
250
AC Milan
220
229
210
197
236
235
Internazionale
188
177
173
197
225
211
Liverpool
176
207
207
217
225
203
Juventus
231
141
168
203
205
154

Sumber: Deloitte football money league 2011 & 2012 ; www.deloitte.com

Dilihat dari tabel, pendapatan Milan memang selalu berada dibawah raksasa-raksasa Inggris maupun Spanyol tersebut. Real Madrid dan Barcelona adalah klub dengan pertumbuhan pendapatan terbesar yang nyaris 100% dalam lima tahun terakhir.

Peringkat Milan sebenarnya tidak buruk-buruk amat, namun jika melihat disparitas antara peringkat empat besar dengan yang dibawahnya, Milan perlu khawatir. Madrid dan Barcelona adalah klub dengan rataan penonton yang tinggi, sehingga pemasukan sektor gate receipt mereka juga tinggi (Madrid rata-rata 66 ribu di 2011 dan Barcelona 79 ribu di 2011)  hingga nyaris 100 juta euro. Kedua raksasa Spanyol ini juga memiliki pemasukan komersial yang sangat besar.

Milan mengalami krisis keuangan imbas dari krisis moneter yang dialami negara-negara Eropa. Ditambah sanksi yang diterima Fininvest, perusahaan milik Berlusconi akibat skandal suap, Milan memiliki hutang besar. Sudah hutang banyak, pendapatan sedikit, biaya besar, jadilah krisis keuangan.

Krisis semacam ini bukan pertama kali dihadapi Milan. Milan pernah harus menjual bintang utama mereka, Andriy Shevchenko tahun 2006 dan Ricardo Kaka tahun 2009.
Penjualan dua idola memang menolong kondisi finansial Milan di tahun tersebut.

Khusus  di penjualan Kaka, Milan memang tertolong dari sisi finansial, namun tidak dari prestasi. Milan yang semula wara-wiri di semifinal Liga Champions –liga yang mendatangkan banyak uang- malah sibuk bersaing memperebutkan posisi 3-4 seri a. Pemain high profile seperti Ronaldinho dan Klaas jan Huntelaar yang dibeli untuk menggantikan Kaka, nyatanya tidak mencapai kesuksesan besar di Milan.


Mengapa Penerimaan Tidak Bisa Sebesar Madrid Atau Barcelona?

Milan memang tidak memiliki potensi penerimaan sebesar Madrid atau Barcelona, karena kedua raksasa Spanyol itu mendominasi hak siar televisi. Di Italia, pengaturan hak siar berbeda dengan Spanyol. Hak siar yang dibagikan secara kolektif kepada para kontestan Seri a dan Seri b turut menurunkan pendapatan mereka dari sektor ini. Mengenai hal ini Giancarlo Abete, presiden FIGC mengatakan bahwa hal ini memang dilakukan demi menyelamatkan sebagian besar klub dari kebangkrutan. ”Klub-klub tidak menjalankan bisnis yang sustainable.” demikian ungkapnya.

Kebijakan ini dilematis. Di satu sisi, FIGC berkepentingan melindungi klub-klubnya dari krisis ekonomi. Namun, di lain sisi, kebijakan pemerataan hak siar televisi ini melemahkan klub-klub kuat. Dalam dunia sepak bola, kebijakan pro kepada klub kecil tidak selalu berdampak bagus. Inilah anomali kompetisi sepak bola. Klub-klub besar yang harus menerima jatah hak siar yang kecil harus rela penerimaannya berkurang.

Akibatnya, mereka kesulitan untuk menarik pemain-pemain bagus yang tentunya bergaji besar ke skuad mereka. Tentunya hal ini membuat liga menjadi kurang semarak dari sisi komersial, dan klub-klub besar yang semula bergantung pada pemain-pemain asing yang berharga mahal tidak mampu mengatasi kesulitan ini, terlihat dari buruknya performa di kejuaraan antar klub Eropa. Dampak paling besar, koefisien Seri a tergeser oleh Bundesliga.

Sisi komersial dan rataan jumlah penonton juga bukan sisi terbaik Milan. Image mereka yang begitu mendunia di era trio Belanda kini tergeser oleh Real Madrid, Barcelona maupun Manchester United. Hal ini tentu erat kaitannya dengan prestasi Milan yang memang dalam 5 tahun terakhir tidak sebaik para raksasa itu. Sementara untuk rataan penonton, 53 ribu dari kapasitas 80 ribu kursi di San Siro bukanlah angka yang bagus, ditambah lagi  stadion San Siro bukan milik mereka. Berbagai skandal yang terjadi di persepakbolaan Italia, fasilitas stadion yang kuno dan juga prestasi yang belakangan menurun memang menurunkan minat publik Italia pada umumnya untuk datang menonton langsung ke stadion. Apalagi untuk musim ini, penjualan para bintang tersebut membuat banyak tifosi Milan yang meminta pengembalian tiket.


Sedia Payung Sebelum Hujan

Tahap monitoring Financial Fair Play yang akan dimulai pada mulai musim kompetisi 2012/2013 akan menyaratkan klub untuk merugi agregat maksimal 45 juta euro saja. Melihat trend kerugian Milan di dua tahun terakhir yang mencapai lebih dari 60 juta euro dan hutang yang menumpuk, Milan jelas berada di lampu kuning. Menjual pemain lagi-lagi menjadi opsi yang diambil para petinggi klub guna menyelamatkan nasib mereka. Sedia payung sebelum hujan.

Semangat Michel Platini dalam Financial Fair Play mengharuskan klub tidak boleh mengeluarkan uang lebih banyak daripada apa yang mereka terima. Klub tidak boleh beroperasi dengan tumpukan utang dan kerugian selama bertahun-tahun. Krisis dunia yang tidak menyentuh dunia sepak bola merupakan fenomena yang harus dibereskan. Financial Fair Play adalah alatnya yang paling ampuh guna meredam segala bentuk pemborosan berlebih yang dilakukan klub sepakbola. Melihat trend kerugian yang selalu terjadi, klub sepakbola diminta untuk menjalankan kegiatannya secara profesional dan memperhitungkan aspek bisnis. Sepakbola kini bukanlah sekedar permainan. Dilematis, namun sang regulator telah menerapkan langkah yang logis demi menghindari kehancuran dalam pasar sepakbola.

Milan dihadapkan pada situasi dimana pemain bintang mereka harus dijual guna menyelamatkan nasib klub. Tidak ada uang, maka klub tidak bisa berkompetisi. Sesederhana itu. Penjualan Thiago Silva dan Zlatan Ibrahimovic ke klub kaya baru Paris St. Germain mengikuti gerbong kepindahan pemain-pemain senior adalah situasi yang mau tidak mau harus dihadapi Milan. Penjualan mereka tidak hanya membantu penerimaan, tapi juga menghemat biaya gaji, yang menurut perhitungan Berlusconi mencapai 150 juta euro.


The future - Visi Berlusconi

Tidak ada yang tahu pasti masa depan tim Milan kali ini. Namun dari sisi regenerasi, Milan kini berada di jalur tepat. Rataan usia pemain-pemain Milan kini mengecil menjadi 26,4 tahun dari semula 29,1. Milan kini memiliki rataan usia pemain yang lebih muda dibandingkan dengan pesaing-pesaing seperti Juventus (27,8) dan Napoli (28,7).

Hikmah dari hengkangnya para bintang dan pemain-pemain senior itu adalah terbukanya kesempatan bermain para youngster. Kini Stephan El Shaarawy dan Mattia De Sciglio menikmati hari-hari mereka di Milanello dengan kepastian menit bermain yang lebih banyak. Tidak heran kalau banyak pengamat yang bilang bahwa Milan bakal berbahaya 1-2 musim lagi.

Ini adalah salah satu era tersulit Silvio Berlusconi dalam menangani Milan. Beberapa media mengungkapkan bahwa sikap Milan yang melucuti kekuatan mereka sendiri di bursa transfer dan tidak menggantikan mereka yang pergi dengan pengganti berkualitas adalah salah satu langkah Berlusconi untuk melepas Milan.

Untuk menarik minat calon pembeli, Berlusconi harus memastikan bahwa kondisi finansial Milan berada pada kondisi sehat. Dengan kas yang melimpah, Milan dapat mengurangi hutang-hutang mereka yang besar sehingga calon pembeli tidak harus membayar lebih mahal.

Seperti banyak diberitakan, Berlusconi coba menawarkan Milan kepada Michele Ferrero, pengusaha makanan dan orang terkaya nomor 1 Italia saat ini. Pihak Ferrero membantah berita tersebut. Langkah pembantahan ini murni trik bisnis, karena jika tercium pers maka harga beli bisa menjadi berlipat-lipat.

Tidak ada yang meragukan visi Berlusconi. Ketika menyelamatkan Milan dari kebangkrutan tahun 1986, Berlusconi tidak hanya menyuntikkan uang, tapi juga memilih pelatih dengan baik. Tidak ada yang menyangkan pilihan itu jatuh pada Arrigo Sacchi. Sacchi adalah pelatih belum punya nama saat itu, namun insting tajam Berlusconi yang terpikat oleh permainan zone-press Sacchi saat ia menangani Parma dianggapnya mampu menaikkan level Milan.

Taktik zone-press dan menyerang saat itu seperti tabu di Italia, namun ditangan Sacchi, Milan menjelma menjadi The Dream Team yang memiliki serangan dahsyat sekaligus pertahanan super kokoh khas Italia. Strategi menyerang itulah yang disukai Berlusconi sehingga ia memang kerap mencampuri dapur teknis para pelatihnya yang ia anggap tidak menjadikan Milan bermain menyerang. Cerita mengenai fanatiknya dia pada skema dua penyerang kerap timbul.

Entah apa jadinya nanti jika Milan tidak lagi dipimpin Berlusconi. Namun kerugian demi kerugian yang dialami sang mantan Perdana Menteri akibat krisis maupun kasus, juga kasus-kasus pelecehan seksual yang menimpanya boleh jadi memang membuatnya harus melepas klub yang dicintainya ini, meskipun kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi apapun yang terjadi nantinya, yang jelas langkah Milan sekarang bukanlah langkah bunuh diri, tapi lebih kepada langkah kedepan.

Setiap tim tentu memiliki siklus kemenangan. Yang terpenting adalah bagaimana klub mampu survive disaat siklus kemenangan itu sedang tidak menyapa.

(Tulisan ini telah dimuat oleh @bolatotal www.bolatotal.com)

No comments:

Post a Comment