Mario Balotelli, meledak disaat yang tepat |
Beberapa jam sebelum pertandingan Jerman melawan
Italia, saya melakukan chat dengan
beberapa teman yang merupakan pendukung klub-klub seri a. Ada pendukung Milan
seperti saya, dan ada juga seorang Internisti. Mereka seperti sepakat untuk
tidak mendukung tim nasional Italia karena la
nazionale sekarang didominasi oleh pemain-pemain dari klub rival, Juventus.
Percakapan cheesy itu segera saya tinggalkan. Hal itu mengingatkan saya juga
akan tweet dari para MU-haters yang menjelek-jelekkan Wayne Rooney dan Danny
Welbeck di tim nasional Inggris. Tidaklah apple
to apple membandingkan klub dengan negara, dan tidaklah relevan membawa-bawa
fanatisme klub terlalu berlebihan untuk mendukung negaranya. Lagipula inipun negara
orang nun jauh disana dan pertandingan ini tidak akan memberi dampak apapun
kepada Indonesia. Ya, kitalah negeri para penonton yang rela ribut-ribut dan begadang
demi menyaksikan pertunjukan bangsa lain. Saya gak mau ambil bagian yang ribut-ribut
dan ribet-ribetnya, tapi saya rela begadang. Saya ingin begadang menyaksikan
tim nasional favorit nomor dua setelah tim nasional Indonesia dan ingin
menyaksikan pertandingan yang saya yakin akan berlangsung seru dan menarik. Mungkin
juga penuh drama.
Jerman sangat banyak diunggulkan karena
berbagai faktor. Namun italia memiliki keunggulan historis sebagai tim yang
tidak pernah mampu ditundukkan Jerman dalam 7 kali pertemuan, yang dua diantaranya
terjadi di Euro dengan hasil 1-1 pada tahun 1988 dan 0-0 pada tahun 1996. Dalam
hal produktivitas selama turnamen, Jerman boleh berbangga karena hingga
semifinal, mereka mampu mencetak 9 gol sementara Italia hanya 4, paling sedikit
diantara semifinalis. Italia juga tim yang sepanjang sejarah tidak mampu
mencetak gol ke gawang lawan di semifinal Euro.
Jerman menurunkan formasi dengan pakem
andalan mereka yaitu 4-2-3-1 fluid
dengan dua gelandang pivot Sami Khedira dan Bastian Schweinsteiger menopang
tiga gelandang serang Lukas Podolski, Mesut Ozil dan.. Wow Toni Kroos. Sebuah
kejutan kecil buat saya karena dengan dipasangnya Kroos yang lebih suka bermain
di sentral permainan, Situs Zonal
Marking juga ternyata sama terkejutnya. Jerman akan menumpuk gelandang
untuk menghambat kinerja Andrea Pirlo di jantung permainan Italia. Lalu di
depan, Mario Gomez yang berupaya mengejar gelar topskor dipasang sebagai ujung
tombak. Di belakang dan penjaga gawang, susunan mereka sama.
Cesare Prandelli, yang sebelum pertandingan
tim asuhannya dilanda masalah kebugaran sebenarnya agak membuat sedikit dahi
berkerut dengan menempatkan 3 pemain berposisi natural center-back dan menempatkan seorang pemain kidal di sisi kanan
pertahanannya. Hal ini karena Ignazio Abate dikabarkan tidak fit dan Cristian
Maggio terkena hukuman akumulasi kartu kuning. Dengan dipasangnya Federico
Balzaretti di posisi bek kanan, Prandelli memiliki seorang inverted full-back dalam timnya.
Pangeran Siahaan, seorang pecinta sepakbola, dalam
salah satu artikelnya
pernah menuliskan bahwa salah satu tujuan dipasangnya seorang inverted full-back adalah untuk
menanggulangi bahaya yang ditimbulkan oleh inverted
winger lawan. Saya tidak melihat seorang inverted winger di posisi head to
head Balzaretti, karena disitu berdiri Lukas Podolski, seorang kidal murni yang
hanya menggunakan kaki kanannya untuk berjalan. Namun melihat orang dibelakang
Podolski, saya baru paham karena disitu ada Philip Lahm, juga seorang inverted full-back yang sangat lihai
membantu serangan dan cukup produktif mencetak gol dan assist.
Di tengah hingga kedepan, Prandelli memasang
pemain yang persis seperti ketika mereka mengalahkan Inggris. Andrea Pirlo
dilindungi oleh dua gelandang pekerja yang pandai dalam menerapkan taktik,
Claudio Marchisio dan Daniele De Rossi. Sementara Riccardo Montolivo dipercaya
sebagai trequartista menopang duet maverick, Antonio Cassano dan Mario
Balotelli.
Jerman sebenarnya memulai pertandingan dengan
baik. Mereka mengambil inisiatif serangan melalui permainan cepat yang mereka
kembangkan. Mesut Ozil lebih banyak bergerak ke kanan tempat Giorgio Chiellini
beroperasi. Chiellini yang sejatinya adalah seorang bek tengah tampil amat
disiplin menjaga daerahnya, meskipun beberapa kali Ozil dan Jerome Boateng mengancam
lewat posisinya.
Sementara Lukas Podolski sayangnya seperti
menghilang di lapangan. Hal ini memaksa Philip Lahm bekerja lebih keras
menyokong serangan dari sisi kiri. Cederanya Abate seperti blessing in disguise bagi anak asuh Prandelli karena keterbatasan
Balzaretti yang tidak nyaman menyerang melalui sisi kanan membuatnya lebih
banyak statis di posisinya yang justru membuat Lahm dan Podolski terhambat. Meski
demikian, Jerman sempat memperoleh kans bagus ketika sodokan Mario Gomez dari sebuah
sepak pojok mempu menaklukkan Gianluigi Buffon, namun Pirlo yang berdiri di
garis gawang mampu mengamankan bola dengan tenang.
Pirlo, seperti biasa, bagaikan seorang
dirigen yang handal mengalirkan bola ke segala arah dan merusak konsentrasi
pertahanan Jerman. Pirlo walaupun mengeluhkan waktu istirahat yang lebih cepat
dua hari ketimbang Jerman sebenarnya menyimpan keuntungan yang mungkin dia
tidak sadari. Dengan bermain di Juventus yang tidak mengikuti kompetisi eropa
musim 2011/2012, Pirlo hanya tampil di kisaran 30-40 pertandingan. Bandingkan dengan
Ozil yang tampil lebih dari 50 kali untuk Real Madrid. Ozil, seorang playmaker jempolan dan calon pemain
terbaik di masa depan menyaingi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, dalam
pertandingan semalam tampil di sisi kanan. Kekurangan Ozil yang kurang memiliki
awareness dalam membantu Boateng
bertahan, dimanfaatkan dengan baik oleh Chiellini yang sesekali naik membantu
serangan, juga Antonio Cassano yang memiliki tendensi menyerang dari sisi kiri
lalu mengeluarkan passing magis
ataupun crossingnya.
Dan salah satu gerakan cerdik sederhana yang
diakhiri crossing sempurna, fantanito
membuat Balotelli yang dengan keunggulan fisiknya mampu mengatasi duel udara
dengan Holger Badstuber. Gol ke 21 lewat sundulan di turnamen ini sekaligus gol
pertama Italia di babak semifinal. Ini juga menandai pertama kalinya Jerman
tertinggal terlebih dahulu di turnamen ini. Italia lebih menunggu serangan
lawan ketika unggul satu gol. Hal ini sempat membuat Jerman kembali tersengat
untuk menyerang pertahanan Italia. Para gelandang Italia yang bermain dengan
formasi diamond dan rapat kembali
menjadi perisai yang sangat kokoh bagi lini belakang. Kali ini setelah bola
mampu direbut, Riccardo Montolivo dengan kemampuan long pass yang eksepsional mampu membebaskan Balotelli dari
penjagaan duet Badstuber dan Mats Hummels yang tiba-tiba limbung seperti para bek lawan
era 90an ketika menghadapi Gabriel Batistuta.
Posisi mereka yang sejajar dan terlalu
terpaku pada bola menjadi makanan empuk Balotelli. Dengan ketangguhan dan
kecepatannya, Balotelli melepaskan tendangan sangat keras ke pojok kanan gawang
Manuel Neuer, yang selanjutnya tampak bertepuk tangan atas gol ala Kojiro Hyuga
dalam serial kartun Jepang, Kapten Tsubasa tersebut. Balotelli nampak seperti
mengumpulkan segala potensinya sebelum pertandingan ini, dan meledakkannya di
saat yang tepat. Ini adalah kali pertama Italia mampu mencetak dua gol di babak
pertama sejak pertandingan mereka melawan Rumania di Euro 2000.
Joachim Loew membuat dua pergantian di awal
babak kedua. Miroslav Klose dan Marco Reus masuk menggantikan Mario Gomez yang
terisolasi dan Lukas Podolski yang menghilang. Penduduk Polandia yang mayoritas
mendukung Jerman karena faktor kedekatan dan keberadaan dua pemain asal mereka,
Podolski dan Klose terus meneriakkan dukungannya dengan meneriakkan “scheibe.. scheibe.. scheibe” dengan
mengagumkan. Pergantian yang sempat merepotkan barisan pertahanan Italia karena
pergerakan Reus mampu memecah konsentrasi Balzaretti dan sempat meloloskan
Philip Lahm. Pertahanan Italia yang super ketat kembali perlu mendapatkan
kredit. Belum lagi menyebut Gigi Buffon tampil dengan kelasnya yang sejajar
dengan Iker Casillas. Anak-anak muda Jerman frustasi karena tidak kunjung mampu
membongkar pertahanan Italia terlihat kehilangan semangat tempur, yang
sepertinya hilang dari tim Jerman yang biasanya dikenal mampu tampil pantang
menyerah hingga akhir.
Masuknya Antonio Di Natale, Alessandro
Diamanti dan Thiago Motta menjaga ritme serangan balik Italia yang berbahaya.
Andai penyelesaian akhir mereka lebih tenang, mereka bahkan bisa mencetak dua
atau tiga gol tambahan lewat dua kans Marchisio dan satu peluang Di Natale. Mereka
juga tidak perlu membiarkan Ozil mencetak gol penalti yang sempat menaikkan asa
para skuad Der Panzer, yang di akhir-akhir laga menjadikan Manuel Neuer sebagai
libero dengan formasi 1-3-2-3-2. Dalam tweetnya,
Opta menyebut statistik pertandingan yang sebenarnya cukup berimbang dengan
Jerman sedikit memegang kendali. Jerman melepaskan 20 tendangan, 8 diantaranya
tepat sasaran. Italia melepaskan 11 dengan 4 tepat sasaran. Ball possession dimenangi Jerman dengan
56 berbanding 44 persen, dan Jerman mampu memperoleh tendangan penjuru sebanyak
14 kali berbanding nihil untuk Italia.
Italia membuktikan diri sebagai tim yang
penuh tradisi hebat dan lekat dengan anomali sejarah seperti saya pernah
tuliskan di preview
pertandingan ini di tulisan sebelumnya. Kekuatan Jerman dengan segala progress mereka dalam beberapa tahun
terakhir mentah ditangan tim dengan sejarah unik. Italia seolah meneriakkan
slogan Jas Merah (Jangan melupakan sejarah). Jerman juga meneruskan catatan
antiklimaks mereka pada Piala Dunia 2002, 2006 dan 2010 serta Piala Eropa 2008.
Di kejuaraan itu, Jerman selalu tampil impresif di babak penyisihan namun kalah
di babak semifinal atau final.
Prediksi
saya bahwa Italia akan berbicara jauh hingga ke final dan mungkin menjadi juara
akhirnya menjadi kenyataan. Juga prediksi saya di babak penyisihan dalam post
match review
Italia melawan Spanyol dalam salah satu pertandingan paling seru yang pernah
saya saksikan. Prestasi final Italia ini seolah menyempurnakan siklus enam
tahunan mereka mampu melaju ke final turnamen besar sejak tahun 1994. Jika di
1994 dan 2000 mereka takluk di partai puncak, tahun 2006 mereka mampu menjadi
juara. Lalu apakah tahun 2012 ini saatnya Italia kembali juara? Well, who knows.
Apapun hasil di final nanti, pencapaian
Prandelli adalah sesuatu yang brilian. Prandelli mampu membawa Italia ke final
setelah dua tahun lalu Italia hancur-hancuran di Piala Dunia. Prandelli juga
tidak lagi memiliki pemain-pemain bermental juara dan berkharisma macam
Francesco Totti, Alex Del Piero, Fabio Cannavaro atau Paolo Maldini dalam
timnya. Sosok itu kini hanya dimiliki dalam diri Gianluigi Buffon, Daniele De
Rossi dan Andrea Pirlo.
Sementara jauh disana, dua orang lelaki paruh
baya turut berbahagia dengan kemenangan Italia, namun air muka mereka selalu
berubah setiap menyaksikan seorang pemain bernama Andrea Pirlo. Di sebuah kedai
kopi, dua orang bernama Max Allegri dan Adriano Galliani makin terdiam ketika
Andrea Pirlo diumumkan sebagai man of the
match. Espresso mereka yang
memang pahit akan terasa semakin pahit saja.
Allegri dengan aksen selatannya kemudian berseloroh, yang jika di twitter cocok dengan tagar #AwalnyaSederhana. "Kita sudah punya Cassano dan Montolivo. Mengapa tidak sekalian beli Balotelli?" Galliani menjawab "Tapi bagaimana dengan Ibra? Kamu kan 100 persen mengandalkannya dalam setiap serangan. Lagipula, Silvio tidak akan membiarkannya pergi." #kemudianhening