Pages

Friday, May 15, 2015

Upaya Mengerek Si Kuping Besar Ke Turin

Juventus adalah sebuah perdebatan. Bagi mereka yang membenci, 31 gelar Seri A yang telah didapat (apalagi 33 seperti klaim Juventus) bukanlah hasil dari sesuatu yang diperjuangkan dengan halal di lapangan. Tawa akan semakin kencang, bagaimana dari 31 gelar domestik tersebut –yang membawa mereka tampil di kejuaraan Champions Eropa – hanya dua trofi yang berhasil diboyong. Bandingkanlah dengan Milan, misalnya, yang telah meraih 7 gelar Liga Champions meski ‘baru’ mengoleksi 18 gelar scudetti.

Namun siapakah kita sehingga merasa berhak menghakimi keabsahan gelar juara, yang bagaimanapun juga diperjuangkan dengan peluh dan darah di lapangan, yang diwarnai permainan cantik dari pemain-pemain terbaik yang pernah ada. Siapa tidak kenal Gianpiero Combi, Raimundo Orsi, Luis Monti, Giovanni Ferrari, Umberto Caligaris, Virginio Rosetta, Dino Zoff, Antonio Cabrini, Gaetano Scirea, Claudio Gentile, Marco Tardelli, Paolo Rossi, Alex Del Piero, Fabio Cannavaro, Gianluca Zambrotta, Mauro Camoranesi hingga Gianluigi Buffon? Nama-nama tulang punggung timnas Italia pemenang trofi Piala Dunia pada masing-masing era mereka ini tentu saja tidak bisa dipisahkan dari Il Bianconero.

Biarlah para pengkritik itu menghujat ketika palu pengadilan diketuk untuk mengirim sang tim tersukses Italia ke Seri B tahun 2006, toh Si Nyonya tua telah menjalani masa hukumannya dan telah bangkit dari masa kelam sekembalinya ke Seri A di mana mereka menduduki posisi ke-7 dalam dua musim beruntun. Biarkanlah juga para tifosi dari klub rival bernyanyi sekencang-kencangnya ketika tim semenjana Inggris seperti Fulham pun mampu menundukkan mereka dengan skor telak 4-1 dalam babak 16 besar UEFA Europa League setengah dekade lalu.

Bahkan, masih segar dalam ingatan, bagaimana dalam tiga tahun terakhir Juve selalu gagal melewati babak perempat final Liga Champions meskipun pada saat bersamaan kembali merajai kompetisi Seri A Italia. Klub jago kandang.

Kini, si jago kandang memutar balik segala hinaan. Di bawah asuhan pelatih yang juga amat sering menjadi korban bully akibat akhir cerita tidak sedapnya bersama Milan, Massimiliano Allegri, mereka kini berada di final Liga Champions. Tidak lupa, mereka telah memastikan diri sebagai juara Seri A saat kompetisi masih menyisakan empat pertandingan, dan juga telah berada di babak final Coppa Italia.

Lawan mereka di final Liga Champions, Barcelona, mungkin saja masih sulit ditandingi. Saat Juve terjerembap di Seri B dan memberi pengalaman tak terlupakan bagi klub-klub seperti Albinoleffe, Barcelona baru saja pulang setelah memenangi Liga Champions di stadion Saint Denis setelah menundukkan Arsenal. Dalam rentang waktu tersebut, El Barca telah memenangi tambahan dua trofi lagi, dengan kualitas skuat dan permainan yang tidak kunjung menurun.

Barca jelas favorit. Dengan trio MSN (Messi, Suarez, Neymar) yang telah mencetak 112 gol di seluruh kompetisi musim ini, mereka jelas bukan tandingan kesebelasan manapun jika mereka bugar. Sementara Juventus diisi mayoritas pemain senior yang sudah lama merindukan kejayaan kontinental. Terakhir kali mereka menapak babak final, itu terjadi 12 tahun lalu saat mereka menghadapi Milan di stadion Old Trafford, Manchester.

Buffon, kiper veteran berusia 37 tahun, adalah satu-satunya pemain yang tampil di final tersebut yang hingga kini masih membela Juventus. Kala itu, Buffon harus merelakan trofi Si Kuping Besar terbang ke kota Milano saat sepakan penentuan Andriy Shevchenko tak mampu dihadangnya. Sang kapten tentu penasaran bagaimana rasanya memegang, mengangkat, memeluk lalu membawa lari trofi besar ini keliling lapangan. Kesempatan langka ini, boleh jadi adalah yang terakhir dimilikinya.

Tapi lagi-lagi, mereka dihadapkan pada klub yang sulit (diharap) berbuat kesalahan. Xavi, Iniesta, Sergio Busquets, Dani Alves, Gerard Pique, Pedro dan Messi memang telah dua kali menggendong trofi Liga Champions bersama Azulgrana, tapi mereka bukanlah pesepak bola yang cepat puas. Mereka tidaklah memiliki mental seperti seorang pebalap Formula 1 bernama James Hunt, yang berhasil merebut gelar juara dunia satu kali pada tahun 1976 namun kemudian berpuas diri dan tidak pernah kembali meraih gelar. Xavi, Iniesta, Messi, Pique, Sergio Busquets, Pedro dan Dani Alves tetaplah seorang atlet yang senantiasa lapar gelar. Menularkan mentalitas ini kepada para pendatang baru seperti Luis Suarez, Ivan Rakitic atau Marc-Andre Ter Stegen pun bukan hal sulit.

Meski Juventus tetaplah berbahaya dan berpotensi membuat kejutan, menahan Barcelona jelas membutuhkan pekerjaan teknis dan taktis yang sempurna. Di samping mengeluarkan kemampuan teknis terbaik, taktik dan motivasi dari Allegri, mereka juga membutuhkan ketelatenan dalam mengeksploitasi kelemahan permainan Barca –hal yang kini amat sulit dicari.

Jika Barcelona telah berada pada level majestic, Juventus sendiri baru sebatas level pembuktian. Bukti bahwa mereka bisa bersaing di luar Italia, bukti bahwa kebangkitan sepak bola Italia bukanlah angan-angan belaka. Pertarungan antara dua tim ini mungkin saja akan didominasi Barca, namun dalam kompetisi penuh kejutan dan sulit diprediksi seperti Liga Champions, siapa tahu keuletan Si Nyonya Tua yang kerap diasosiasikan dengan kekuatan pertahanan dan kecepatan serangan balik ala timnas Italia, trofi Kuping Besar bisa diarak ke kota Turin. Sudah banyak cerita tim underdog berhasil membuat kejutan, bukan? Dan jangan lupa, motivasi merebut treble winners di antara kedua tim tentu akan membuat para penggawa Juventus bertarung dengan mentalitas layaknya gladiator yang mempertaruhkan nyawa.

No comments:

Post a Comment