Juventus adalah sebuah perdebatan. Bagi mereka yang membenci, 31 gelar Seri A yang telah didapat (apalagi 33 seperti klaim Juventus)
bukanlah hasil dari sesuatu yang diperjuangkan dengan halal di lapangan. Tawa
akan semakin kencang, bagaimana dari 31 gelar domestik tersebut –yang membawa
mereka tampil di kejuaraan Champions Eropa – hanya dua trofi yang berhasil
diboyong. Bandingkanlah dengan Milan, misalnya, yang telah meraih 7 gelar Liga
Champions meski ‘baru’ mengoleksi 18 gelar scudetti.
Namun siapakah kita sehingga merasa berhak menghakimi
keabsahan gelar juara, yang bagaimanapun juga diperjuangkan dengan peluh dan
darah di lapangan, yang diwarnai permainan cantik dari pemain-pemain terbaik
yang pernah ada. Siapa tidak kenal Gianpiero Combi, Raimundo Orsi, Luis Monti,
Giovanni Ferrari, Umberto Caligaris, Virginio Rosetta, Dino Zoff, Antonio
Cabrini, Gaetano Scirea, Claudio Gentile, Marco Tardelli, Paolo Rossi, Alex Del
Piero, Fabio Cannavaro, Gianluca Zambrotta, Mauro Camoranesi hingga Gianluigi
Buffon? Nama-nama tulang punggung timnas Italia pemenang trofi Piala Dunia pada
masing-masing era mereka ini tentu saja tidak bisa dipisahkan dari Il
Bianconero.
Biarlah para pengkritik itu menghujat ketika palu
pengadilan diketuk untuk mengirim sang tim tersukses Italia ke Seri B tahun 2006, toh Si Nyonya tua telah
menjalani masa hukumannya dan telah bangkit dari masa kelam sekembalinya ke
Seri A di mana mereka menduduki posisi ke-7 dalam dua musim beruntun. Biarkanlah
juga para tifosi dari klub rival bernyanyi sekencang-kencangnya ketika tim
semenjana Inggris seperti Fulham pun mampu menundukkan mereka dengan skor telak
4-1 dalam babak 16 besar UEFA Europa League setengah dekade lalu.
Bahkan, masih segar dalam ingatan, bagaimana dalam tiga tahun terakhir Juve selalu gagal melewati babak perempat final Liga Champions meskipun pada saat bersamaan kembali merajai kompetisi Seri A Italia. Klub
jago kandang.
Kini, si jago kandang memutar balik segala hinaan. Di bawah
asuhan pelatih yang juga amat sering menjadi korban bully akibat akhir cerita tidak sedapnya bersama Milan, Massimiliano Allegri, mereka kini berada di final Liga
Champions. Tidak lupa, mereka telah memastikan diri sebagai juara Seri A saat
kompetisi masih menyisakan empat pertandingan, dan juga telah berada di babak final
Coppa Italia.
Lawan mereka di final Liga Champions, Barcelona, mungkin saja masih sulit
ditandingi. Saat Juve terjerembap di Seri B dan memberi pengalaman tak terlupakan bagi klub-klub seperti
Albinoleffe, Barcelona baru saja pulang setelah memenangi Liga Champions di
stadion Saint Denis setelah menundukkan Arsenal. Dalam rentang waktu tersebut, El Barca telah memenangi
tambahan dua trofi lagi, dengan kualitas skuat dan permainan yang tidak kunjung
menurun.
Barca jelas favorit. Dengan trio MSN (Messi, Suarez, Neymar)
yang telah mencetak 112 gol di seluruh kompetisi musim ini, mereka jelas bukan
tandingan kesebelasan manapun jika mereka bugar. Sementara Juventus diisi mayoritas pemain senior yang sudah lama merindukan kejayaan kontinental. Terakhir
kali mereka menapak babak final, itu terjadi 12 tahun lalu saat mereka
menghadapi Milan di stadion Old Trafford, Manchester.
Buffon, kiper veteran berusia 37 tahun, adalah satu-satunya
pemain yang tampil di final tersebut yang hingga kini masih membela Juventus. Kala
itu, Buffon harus merelakan trofi Si Kuping Besar terbang ke kota Milano saat
sepakan penentuan Andriy Shevchenko tak mampu dihadangnya. Sang kapten tentu
penasaran bagaimana rasanya memegang, mengangkat, memeluk lalu membawa lari
trofi besar ini keliling lapangan. Kesempatan langka ini, boleh jadi adalah yang
terakhir dimilikinya.
Tapi lagi-lagi, mereka dihadapkan pada klub yang sulit (diharap) berbuat kesalahan. Xavi, Iniesta, Sergio Busquets, Dani Alves,
Gerard Pique, Pedro dan Messi memang telah dua kali menggendong trofi Liga
Champions bersama Azulgrana, tapi mereka bukanlah pesepak bola yang cepat puas.
Mereka tidaklah memiliki mental seperti seorang pebalap Formula 1 bernama James
Hunt, yang berhasil merebut gelar juara dunia satu kali pada tahun 1976 namun
kemudian berpuas diri dan tidak pernah kembali meraih gelar. Xavi, Iniesta,
Messi, Pique, Sergio Busquets, Pedro dan Dani Alves tetaplah seorang atlet yang
senantiasa lapar gelar. Menularkan mentalitas ini kepada para pendatang baru
seperti Luis Suarez, Ivan Rakitic atau Marc-Andre Ter Stegen pun bukan hal sulit.
Meski Juventus tetaplah berbahaya dan berpotensi membuat
kejutan, menahan Barcelona jelas membutuhkan pekerjaan teknis dan taktis yang sempurna. Di samping
mengeluarkan kemampuan teknis terbaik, taktik dan motivasi dari Allegri, mereka
juga membutuhkan ketelatenan dalam mengeksploitasi kelemahan permainan Barca –hal
yang kini amat sulit dicari.
No comments:
Post a Comment